Kapitalisme dan Distribusi Kekayaan Segelintir Orang

Founder Ruangan Filsafat
Kapitalisme dan Distribusi Kekayaan Segelintir Orang 03/12/2023 515 view Ekonomi https://pin.it/5zelDXv

Jika berbicara tentang ekonomi atau ilmu ekonomi, sebagian orang merasa bahwa segala sesuatu harus menciptakan nilai yang kemudian akan mempercepat dirinya untuk menjadi kaya raya. Terdapat determinisme yang keliru karena ekonomi atau ilmu ekonomi tidak hanya bertujuan untuk menciptakan suatu kekayaan belaka, tetapi menciptakan analisa dan identifikasi secara menyuluruh di setiap lapisan masyarakat—utilitas, respon individu, psikologi, kognitif, atau pilihan inidividu—sehingga memungkinkan terciptanya kesejahteraan.

Jika semua dideterminasi sebagai upaya untuk menciptakan kekayaan, maka segala cara akan dilakukan untuk menjadi kaya, seperti yang terjadi di dalam sistem kapitalisme di mana banyak orang dieksploitasi, jam kerja berlebih, dan upah yang tidak layak. Maka hal ini akan menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin lebar sebagai akibat dari keserakahan sebagian orang atau korporasi yang tidak mempehatikan unsur normatif di dalam masyarakat.

Kekayaan pada segelintir orang—Jeff Bezos, Elon Musk, Bill Gates, atau Bernard Arnault—pada dasarnya sudah menjadi hal yang tidak asing untuk kita ketahui. Perlu kita pahami bahwa sirkulasi uang yang saat ini beredar di seluruh dunia meningkat begitu tajam dibandingkan dengan kondisi pada awal akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Uang yang semakin berlimpah tersebut menyebabkan nilai dari uang menjadi semakin murah, yang semakin diperparah dengan kebijakan dari bank sentral untuk terus mencetak uang agar dapat diedarkan ke siklus perekonomian dunia.

Jika kita lebih teliti, uang yang beredar di seluruh dunia pada dasarnya tidak dimiliki oleh siapapun, namun terdapat anggapan umum bahwa uang tersebut adalah “milik seseorang”, di mana anggapan ini menjadi bayangan yang semakin memperkuat kedudukan uang di dalam siklus pertukaran.

Hal tersebut didasari pada asumsi bahwa korporasi akan saling meminjamkan uang dalam jumlah besar di mana uang tersebut akan digunakan untuk menghasilkan uang dengan cara meminjamkannya kepada orang lain. Siklus ini akan bertahan secara bertahap di mana dapat kita lihat keuntungan yang timbul merupakan hasil dari siklus pinjam-meminjam dalam skala besar.

Beberapa kondisi tersebut semakin diperparah dengan rendahnya suku bunga khususnya khususnya buat pada pensiunan. Di mana mereka menyimpan dana pensiunnya di suatu bank akan terdampak karena bunga yang dihasilkan dari dana pensiun tersebut tidak mampu untuk mencukupi biaya hidup mereka. Akan tetapi, hal ini semakin mempermudah pergerakan korporasi dan monopoli kekayaan yang dilakukan oleh segelintir orang tersebut untuk meminjam sejumlah uang—dengan suku bunga rendah dan beban administrasi yang tidak berarti—agar dapat melakukan akuisisi terhadap korporasi yang menjual perusahaannya sehingga mereka dapat meningkatkan kekayaan yang mereka miliki.

Implikasinya adalah terjadi penumpukkan kekayaan pada kelas atas atau elit secara masif. Keberlimpahan uang yang dikuasai oleh segelintir orang tersebut menimbulkan ketidakadilan distributif di dalam masyarakat sehingga dapat memicu timbulnya pergolakan dan perlawanan, salah satunya melalui tindakan mogok kerja yang biasanya dilakukan oleh para buruh.

Korporasi dan segelintir orang tersebut pada dasarnya sangat memahami kondisi yang sedang terjadi di dalam siklus ekonomi, namun mereka dengan sembarangan dan dibalut keserakahan memanfaatkan kondisi tersebut untuk membuat ekspansi usaha ke berbagai bidang.

Apa yang kita pahami dan lihat hari ini bukanlah suatu tindakan berbasis kerja atau material, tetapi sesuatu yang cenderung sangat spekulatif. Kondisi tersebut menimbulkan penilaian berbasis abstrak di mana tidak ada nilai yang dapat dipegang sebagai jaminan, sehingga memungkinkan konsentrasi kekayaan yang tidak stabil. Misalnya, berkaca pada Pandemi Covid-19, banyak negara yang menerapkan kebijakan untuk memberikan keringanan pada pajak dan menyalurkan insentif kepada masyarakat, khususnya UMKM. Sehingga diharapkan mampu untuk meningkatkan perekonomian dan menstimulus konsumsi masyarakat. Hal ini dilakukan oleh bank sentral dengan memberikan pinjaman dengan syarat yang mudah kepada korporasi atau segelintir orang sehingga mereka dapat senantiasa berbelanja dengan mudah—untuk akuisisi atau gaya hidup hedon—yang memicu keadaan tidak stabil bagi orang yang memiliki keberlimpahan kapital dan yang tidak memilikinya sama sekali.

Uang yang berlimpah tersebut dimanfaatkan oleh korporasi atau segelintir orang untuk “melahirkan” banyak uang lainnya dan menumpuk pundi-pundi kekayaannya, di mana mereka dapat dengan mudah mengalokasikan uang yang mereka miliki ke dalam pasar keuangan sehingga banyak sektor yang secara langsung bekerja untuk mereka dan meningkatkan pendapatan mereka secara drastis, yang dipicu oleh lonjakan nilai saham, obligasi, dan instrumen keuangan derivatif lainnya. Akan tetapi, lonjakan tersebut tidak bersifat rill atau terjadi di lapangan, namun hanya terjadi di dalam data dan ruang spekulatif di pasar keuangan.

Hal tersebut terlihat dari banyaknya sektor perekonomian yang tidak meningkat, khususnya dalam aras produksi. Kegiatan tersebut tidak mendorong perubahan pada tingkat kekayaan masyarakat kelas menengah ke bawah, namun hanya berdampak pada orang kaya karena output yang dihasilkan tidak dapat memicu peningkatkan kesejahteraan kolektif, namun hanya sebuah skema hilirisasi keuangan minoritas.

Tentu saja, hal tersebut merupakan warisan dari anarchic capitalism hingga late capitalism di mana persaingan telah menjadi dominan dalam instrumen spekulatif yang mendorong adanya persaingan tidak wajar di berbagai korporasi untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas dengan mengorbankan kepentigan para pekerja.

Kondisi tersebut merupakan kemenangan bagi “neo-liberalisme” yang akan membalikkan kecenderungan pengelolaan berbagai instrumen kepada segelintir orang melalui privatisasi dan mendorong beberapa instrumen tersebut untuk menjadi “tidak kolektif”, seperti lembaga pendidikan yang mulai dibayangi oleh ancaman privatisasi dan industrialisasi—yang hanya mementingkan kuantitas—yang sangat berdampak bagi masyarakat kelas bawah.

Distribusi kekayaan yang tidak merata ini—padahal dunia memiliki sumber daya alam yang melimpah dan mampu memberikan kesejahteraan bagi semua orang—diperkokoh dengan tindakan-tindakan represif instrumen korporasi atau negara dengan diterbitkannya peraturan hukum yang lebih ketat dan banyak daripada sebelumnya. Misalnya, pada periode 1980-an para pekerja dan serikat buruh di Inggris semakin tertindas dengan adanya paksaan untuk menerima reformasi yang dilakukan oleh pemerintahan sayap kanan di Inggris untuk tunduk pada semua aturan yang berlaku agar mengurangi ketidakefisienan dan menghambat akumulasi kapital yang dilakukan oleh korporasi atau segelintir orang.

Salah satu aksi yang menjadi simbol kegagalan pembentukan ekonomi kolektif terjadi pada tahun 1984 hingga 1985 di Inggris, di mana para penambang yang mencoba mogok kerja digagalkan oleh aparatur negara setempat, bahkan menarik para anggota serikat pekerja tersebut ke depan pengadilan. Kondisi ini semakin terlihat jelas, khususnya bagi gerakan yang mengancam aktivitas korporasi untuk menumpuk kekayaan mereka.

Pada titik ini perlu kita sadari bahwa ekonomi tidak hanya berkaitan dengan pencipataan kekayaan semata, namun mencakup analisis yang lebih luas tentang masyarakat. Akibatnya, masyarakat pada umumnya harus menyadari bahwa gerakan dan kebijakan ekonomi yang dipengaruhi oleh segelintir orang—termasuk para oligarki—dapat direformasi melalui pergerakan kolektif untuk mengurangi potensi ketidakadilan.

Terjadinya pergeseran dari produksi riil ke spekulasi keuangan yang tidak selalu mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya atau peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hingga hari ini masalah ini masih terjadi, bahkan ketika sebagian orang di dunia sedang tidur. Kekayaan korporasi atau segelintir orang tersebut terus bertambah tanpa adanya kesadaran untuk membuka peluang bagi jutaan masyarakat untuk mendapatkan hidup yang lebih layak.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya