Dialog Antaragama dalam Perspektif Multikulturalisme

Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere
Dialog Antaragama dalam Perspektif Multikulturalisme 16/01/2020 4089 view Agama GreatEdu

Pluralisme dan multikulturalisme merupakan dua tema yang dominan dibicarkaan dalam diskursus filsafat politik dan kajian kebudayaan kontemporer. Pluralisme dan multikulturalisme memiliki kesamaan sekaligus perbedaan.

Dalam kenyataannya, baik pluralisme maupun multikulturalisme sama-sama merujuk pada soal keanekaragaman. Namun, perbedaan mendasar keduanya yaitu pluralisme hanya mengacu pada fakta antroplogis keanekaragaman dan perbedaan, sementara multikulturalisme bergerak lebih jauh pada sikap etis yang berintikan penghargaan terhadap kebudayaan dan pandangan hidup yang berbeda-beda sambil terus mendorong dialog dan kerja sama yang produktif antara elemen-elemen yang berbeda dan beraneka ragam tersebut.

Itulah sebabnya, kunjungan Paus Fransiskus ke Uni Emirat Arab (UEA) pada Minggu, 03 Februari 2019 lalu harus dimengerti dalam kerangka menjunjung tinggi multikulturalisme karena dalam kunjungan tersebut Paus Fransiskus berdialog dengan para pemuka Islam di Arab dan bersama dengan Imam Besar Al Azhar, Dr. Ahmed At Tayyeb, Paus Fransiskus menandatangani Deklarasi Abu Dhabi yaitu Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Berdampingan sebagai upaya untuk mendorong hubungan yang lebih harmonis antara umat manusia.

Multikulturalisme menjawabi kekurangan mendasar pluralisme yang hanya mengacu pada fakta antroplogis keanekaragaman atau perbedaan tanpa disertai penjelasan yang akurat tentang alasan mengapa perbedaan itu ada dan perbedaan itu mesti dihargai dan dirawat.

Pertama, penjelasan tentang alasan mengapa perbedaan itu mesti selalu eksis diberikan oleh prinsip otentisitas dalam multikulturalisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, otentisitas adalah sebuah kata benda yang berarti keaslian, kebenaran. Itu berarti, secara leksikal, otentisitas merujuk pada sesuatu yang asli, murni, dan bukan imitasi.

Charles Taylor, filsuf Kanada yang berbicara banyak tentang multikulturalisme, menjelaskan konsep otentisitas dalam hubungan dengan modalitas individu sesuai dengan kekhasan atau keasliannya. Otentisitas merupakan sebuah disposisi ketika individu jujur dengan diri sendiri dan berada secara khas sebagai seorang individu.

Konsekuensi logisnya adalah prinsip otentisitas melahirkan perbedaan di antara individu-individu dan budaya-budaya. Segenap warga negara Indonesia mesti membentengi diri terhadap “godaan Babel” (Kej. 11:1-9) yaitu godaan untuk menata komunitas secara sentralistik, otoriter, represif, dan anti pluralitas (berbicara dengan hanya menggunakan satu bahasa).

Menurut Taylor, otentisitas yang melahirkan perbedaan perlu memperoleh pengakuan sebab perealisasian diri seorang individu sangat bergantung pada pengakuan. Faktor pengakuan menjadi relevan untuk Taylor sebab refleksi diri hanya mungkin berjalan dalam interaksi dengan yang lain.

Konstruksi identitas tidak mungkin hanya berasal dari diri sendiri, tetapi membutuhkan komunikasi dialogal dengan yang lain. Jadi, pengakuan adalah sebuah keniscayaan dalam pencarian akan identitas yang otentik.

Kedua, multikulturalisme yang menggagas pentingnya peran dialog mengantarnya pada suatu afirmasi tentang pengakuan akan perbedaan dan juga kesamaan yang ada di dalam kehidupan bersama. Dialog sering terhambat karena para pelaku dialog hanya melihat perbedaan-perbedaan tanpa meninjau kesamaan-kesamaan yang ada.

Masalah utamanya ialah bahwa kalau para pelaku dialog hanya menekankan perbedaan tanpa sungguh-sungguh melihat kesamaan, mereka mendasarkan dialog di atas dasar yang rapuh dan besar kemungkinan tidak akan tercapai kesepakatan-kesepakatan yang berguna bagi penciptaan harmonisasi kehidupan bermasyarakat. Untuk itulah, penegasan tentang beberapa kesamaan fundamental di antara masyarakat menjadi sebuah kewajiban.

Pertama, secara religius, manusia adalah ciptaan Yang Absolut. Seluruh warga negara Indonesia mengakui keesaan Yang Absolut yang nyata dalam sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan sila pertama tersebut adalah sebuah rumusan yang netral dan terbuka ruang bagi agama-agama dan aliran kepercayaan untuk mengidentifikasikan diri dengan sila pertama ini.

Kata “Tuhan” (yang artinya sama dengan kata “Allah”, yang dibubuhi prefiks “ke” dan sufiks “an” menjadi sebuah konsep yang abstrak dan universal). Bagi kaum Kristen dan kaum Muslim, formulasi “Allah” tidak terlalu problematis, namun tidak demikian bagi umat Hindu dan Budha.

Sebaliknya, pengertian Ketuhanan telah mencakup nama-nama Allah yang lain seperti Sang Hyang Tunggal (dari Tradisi Hindu-Jawa kaum Abangan) atau Sang Hyang Whidi (dari tradisi Hindu-Bali) (Mathias Daven, 2016:108-109).

Kedua, secara nasional, kesatuan bangsa Indonesia tidak bersifat alami, tetapi bersifat historis. Yang mempersatukan masyarakat di Indonesia dengan berbagai latar belakang yang berbeda adalah sejarah yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia yaitu sejarah penderitaan, penindasan, dan pertumpahan darah demi memperjuangkan kemerdekaan.

Ketiga, segenap masyarakat Indonesia memiliki cita-cita yang satu dan sama yaitu memajukan kehidupan bangsa. Perealisasian cita-cita ini melampaui aneka perbedaan yang ada seperti perbedaan suku, agama, dan ras. Perbedaan-perbedaan yang ada tidak pernah boleh menjadi alasan untuk tidak membangun kerja sama sebagai saudara dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia.

Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip yan dipegang teguh oleh kaum muslim dalam Al-Ukhuwah (persaudaraan) yaitu ukhuwah insaniyah yang bermakna persaudaraan dengan semua manusia (Philipus Tule, 2003:107).

Keempat, sebagai manusia dan warga negara, semua memiliki martabat, hak dan kewajiban yang sama. Kepemilikan martabat yang sama sebagai manusia menjadi dasar utama untuk menumbuhkembangkan sikap saling menghargai satu sama lain.

Selain itu, semua warga negara diizinkan untuk menuntut kepada negara perlindungan terhadap hak-hak asasi sebagai manusia dan pemenuhan hak-hak sebagai warga negara serta juga melaksanakan kewajiban-kewajiban. Negara wajib melindungi hak-hak asasi warganya dan menyediakan kesempatan yang sama bagi semua warganya untuk bisa melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara efektif dan efisien.

Dialog antaragama dalam perspektif multikulturalisme juga mengharuskan setiap pemeluk agama untuk tampil otentik di hadapan pemeluk agama yang lain. Artinya, setiap pemeluk agama harus berani menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam hal keyakinan iman masing-masing atau dengan kata lain setiap pemeluk agama diajak untuk tidak menyembunyikan identitas khas dan unik di hadapan pemeluk agama yang lain.

Dialog antaragama sebagai sebuah proses menuju pemahaman timbal balik terselenggara ketika kesamaan dan perbedaan hadir dalam suatu keserantakan. Ada perbedaan fundamental yang selalu mesti dihidupi secara khas dan unik oleh setiap pemeluk agama yang tidak boleh disangkal dan disembunyikan dalam kesempatan dialog antaragama.

Gereja Katolik tidak bisa menyembunyikan keyakinan iman tentang keilahian Yesus Kristus hanya untuk membuat Yesus lebih dapat diterima oleh para penganut agama-agama lain. Bagi seorang Kristen, Yesus bukan hanya seorang nabi dan rasul, tetapi Yesus adalah Putra Allah yang menjadi jalan, kebenaran, dan hidup.

Begitu juga kaum muslim tidak boleh menyembunyikan keyakinan iman tentang Al Qur’an yang langsung diturunkan dari Allah melalui malaikat Jibrail kepada Nabi Muhammad yang menyampaikannya kepada para pengikut yang akhirnya menuliskannya.

Keikhlasan pelaksanaan sebuah dialog antaragama sangat mengandaikan tidak adanya usaha untuk menyembunyikan identitas iman masing-masing sekalipun hanya untuk sementara waktu. Sebuah dialog yang otentik dan murni tidak bisa menerima dan mengakomodir sikap serba kompromistis dan sikap tidak transparan.

Dialog yang ikhlas dan tulus juga tidak menghendaki adanya sinkretisme yang dalam proses pencarian unsur-unsur yang sama berusaha mengatasi perbedaan-perbedaan iman dan kepercayaan yang ada dalam agama-agama berbeda, dengan cara mengurangi atau menghilangkan sama sekali aspek-aspek religius tersebut. Pengalaman pluralitas menunjukkan bahwa untuk dapat menghidupi kemajemukan perlu ada kesadaran bersama akan pentingnya keberbedaan.

Dalam perspektif multikulturalisme harus ditanamkan kesadaran kolektif bahwa tidak mungkin dalam seluruh alam semesta dibangun sebuah keseragaman (uniformity) iman, tetapi bukan tidak mungkin dalam perbedaan itu diwujudkan aspek pembinaan kesatuan dan persatuan (unity).

Perbedaan dalam kehidupan beragama mesti ada dan mesti dihargai sehingga tidak boleh ada usaha pemaksaan penyeragaman iman atau kepercayaan. Allah berfirman dalam surat al-Kafirun/109:6: “Lakum diinukum wa liya diini” (bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku).

Ungkapan tersebut tidak hendak memproklamirkan sikap indiferentisme terhadap agama-agama lain, tetapi karena terdorong oleh kesadaran bahwa agama memang tidak dapat dipaksakan dan bahwa setiap orang, terlepas dari soal apa agamanya, tetap harus dihargai dan diakrabi dalam rangka melaksanakan dialog dan menjalin kerja sama.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya