Di Seputaran Demonstrasi UU KPK Dan RUU Kontroversial
"Saya mahfum jika pemerintah dan DPR mengubah UU", ucapnya. Mahasiswa teknik itu berambut panjang, celana tiga-perempat, dan kaosan oblong. Tak ada kesan lain yang bisa saya sebutkan dari sosoknya, selain anti kemapanan.
Kemarin (28/9) Indonesian Syndicate punya malam spesial. Kedatangan banyak kawan diskusi yang ingin bersuara tentang gerakan mahasiswa yang sedang terbangun. Kepala mereka seolah dipenuhi hidrogen. Siap meledak andai bertemu percikan api.
"Hukum itu berangkat dari realitas. Jika realitasnya berubah, maka regulasi juga harus berubah", sambung mahasiswa tadi. "Tapi saya juga paham jika mahasiswa demo, itu adalah fungsi kontrol. Meski saya tak yakin juga apakah semua mereka paham apa yang didemokannya itu".
Ah, terdengar sinis sekali. Tapi bukankah sebagian besar mahasiswa kritis memang sinis?
Ia menduga tak semua mahasiswa paham substansi UU maupun dinamika politik nasional. Kapitalisme telah memaksa institusi pendidikan untuk menekan kehidupan mahasiswa. Yang terpenting cepat lulus, punya pengetahuan dan skill seperti yang dibutuhkan pasar tenaga kerja. Itu sudah. Tak perlu susah-susah memikirkan urusan politik. Dengan situasi demikian, adalah sulit membayangkan mahasiswa paham urusan pelik politik.
Saya sangat yakin ia bukan seorang Marxist. Tapi pandangannya dipengaruhi Karl Marx. Pendidikan adalah institusi yang bisa memenuhi kebutuhan pemilik modal. Universitas tak lain dari sebuah mesin yang memproduksi buruh sesuai kebutuhan pabrik milik pemodal. Mahasiswa hanya wajib tahu bagaimana menjalankan mesin-mesin pabrik. Dan harus cepat lulus. Tak perlu berlama-lama belajar dan terjun politik.
Pernyataan tersebut disambar yang lain. Kali ini yang berkacamata. "Bung, jangan remehkan kaum millenials. Mereka punya kemampuan belajar cepat melalui medsos", sanggahnya. Googling dan browsing adalah cara cepat para millenials untuk paham agenda aksi.
Kemudian ada yang masuk dan bilang sesuatu. Tak cukup hanya 'apa', tapi juga 'ke mana'. Tak cukup hanya paham apa tuntutan aksi, tapi juga tahu mau ke mana agenda aksi tersebut menuju. Celakanya, pertanyaan 'ke mana' tak pernah bisa diketahui dari googling. Informasi seperti itu tak ada di udara. Adanya di bawah tanah. Dari mulut ke mulut, dalam bisik penuh hati-hati.
Maka posisi perdebatan kini jadi berubah. Bukan lagi tahu atau tidak tahu apa yang sedang dituntut. Tetapi mau ke mana. Jangan-jangan mereka yang demo itu tak tahu mau ke mana demonstrasi tersebut menyasar.
Tak diragukan lagi, yang satu ini sedang meminyaki bara api. Membuat lantai dansa semakin panas.
Bahan bertengkar kini ada lebih banyak. Bukan lagi soal pengetahuan si mahasiswa saja, namun juga kemungkinan mereka menjadi kuda tunggangan para elit.
Sepukul-dua pukul, perkelahian masih berkutat soal mahasiswa tahu apa. Sampai suatu momen sebuah komentar berani muncul. Menentang dan menantang asumsi pendukung pemerintah soal ditungganginya gerakan mahasiswa.
"Demonstrasi itu prosesnya panjang dan steril. Sebelum aksi dilakukan koordinasi. Pas di lapangan juga koordinasi. Ada pagar betis pula. Lalu di mananya yang ditunggangi itu?"
Retorika ini punya landasan kokoh. Seiring dengan semakin besarnya skala demonstrasi, tudingan gerakan mahasiswa ditunggangi semakin nyaring terdengar. Walaupun tuduhan itu tak terbukti. Karena data yang disediakan Drone Emprit bebasis percakapan twitter memperlihatkan, demonstrasi mahasiswa ini organik. Tak ada kaitannya dengan kelompok oposisi, khilafah, atau sejenisnya. Demonstrasi ini independen, punya agendanya sendiri.
Malam semakin lembab, hangat tanpa tiupan angin. Membuat pikiran mudah tetap fokus pada perkelahian malam itu.
Dan entah bagaimana-bagaimana, tiba-tiba percekcokan telah sampai saja pada soal mahasiswa dan koboi milik Soe Hok Gie.
Gie, si legenda itu, membagi mahasiswa aktivis menjadi dua. Yang pertama, mahasiswa adalah ibarat koboi idealis. Tugasnya menumpas kejahatan saja. Sedangkan menjalankan kekuasaan tak termasuk di dalamnya.
Sebuah kota dikuasai bandit. Lalu seorang koboi datang membunuh bandit itu. Bandit mati, ia pun pergi. Kehidupan kota lalu berjalan seperti semula.
Adapun tipe yang kedua, mahasiswa adalah ibarat koboi realistis. Si Koboi harus menjadi wali kota setelah si bandit mati. Jika tidak, bandit lain akan menguasai kota tersebut.
Mahasiswa yang betul itu tak ubahnya koboi yang pertama, kata Gie. Meninggalkan kekuasaan yang baru ditumbangkannya begitu saja. Bukannya masuk ke dalam kekuasaan. Bermobil mewah, jalan-jalan keluar negeri, dan berbini cantik.
Tapi mahasiswi yang satu ini memang demikian. Ia seorang realistis. Ia berseberangan dengan pandangan Gie. Mahasiswa si penyelamat harus menjadi pemimpin. Jangan tinggalkan kekuasaan, masuklah dan jagalah kota itu dari perbuatan onar politisi munafik.
Tapi masalahnya, apakah demokrasi memungkinkan seorang yang baik bisa memimpim tanpa diganggu oleh kekuatan-kekuatan buruk?
"Tak mungkin bisa. Mustahil!", kata yang duduk di tepi tikar. "Biaya politik mahal mbak.. Untuk kabupaten saja bisa habis 2 Miliar. Mau bayar pakai apa? Apalagi prosesnya harus melalui parpol dan ormas." Mau tak mau, suka tak suka, seseorang yang bersih harus berkolaborasi dengan kekuatan buruk.
Beberapa tersulut perdebatan baru ini. Ada yang bilang, "bukankah ada jalur independen..?"
"Faisal Basri kurang apa? Namun ia gagal di jalur independen Jakarta", celetuk yang lain. Ia gagal lantaran syarat jumlah suara untuk maju independen tak terpenuhi.
Pertengkaran semakin panas saja. Beriringan dengan lagu mahasiswa lokal yang sedang latihan menari.
"Ah, kalau saya mahasiswa teknik, jauh dari pusat kekuasaan, tak tahu apa-apa tentang politik", celetuk yang lain. Yang satu ini anak teknik mesin, lulusan kampus bergengsi di Jawa Timur sana.
Ia sedang membedah kondisi mahasiswa berbasis fakultas. Kalau mahasiswa sosial, itu mudah saja memahami isu politik. Tapi kalau mahasiswa teknik, atau bisa diperluas menjadi ilmu eksakta, sulit sekali. "Kami suka tawur. Kalau dijanjikan nanti ada tawur dengan fakultas lain, kami mau berangkat."
Kalau penyataan ini dibawa ke konteks yang lebih besar, pesannya menohok. Mahasiswa eksak dan anak-anak STM dasar keilmuannya ilmu pasti, sangat sukar memahami isu politik secara ideal. Kalaupun ikut turun aksi, mungkin ada faktor lain yang punya daya tarik lebih kuat. Tawuran misalnya.
Beberapa waktu terakhir beredar opini publik mengenai anak STM yang ikut demo, #stmmelawan. Foto-foto tokoh politik yang masih belia pernah terjun politik, semisal Semaoen, digunakan sebagai pembenar. Karena saat itu usianya masih 14 tahun.
Tapi mereka-mereka ini lupa konteksnya. Tokoh-tokoh politik masa itu punya konteks berbeda. Mereka amat sensitif dengan realitas penindasan, pembaca buku, berdiskusi, dan berdebat. Adapun anak-anak STM, mereka tak ditunjang oleh kurikulum pendidikan politik, tak banyak yang bergabung di organisasi gerakan ekstra sekolah dan dibesarkan di lingkungan tawuran.
Ini bukan soal usia atau strata pendidikan dan kaitannya dengan hak demonstrasi. Melainkan soal tujuan turun ke jalan. Amat sukar memahami seseorang yang tak punya konteks sosial politik yang cukup memahami realitas politik lalu turun ke jalan murni menyampaikan tuntutan politik.
Malam yang bergairah. Ada banyak pertanyaan kritis dan mistis yang muncul. Misalnya, dari mana asalnya chaos yang masif, durasi panjang, dan memakan korban jiwa ini berasal? Dan pertempuran ideologi seperti apa yang terjadi di balik layar?
Atau, bagaimana ceritanya demonstrasi berubah anarkis? Siapa penyusup itu? Bagaimana ideologinya? Lalu bagaimana peranan media sosial dalam mengekskalasi demonstrasi? Sampai dengan pertanyaan, "bagaimana bisa Jokowi menang wali kota, gubernur, dan bahkan jadi presiden?" Betul-betul pertanyaan yang genit.
Ada banyak pandangan sensitif bersliweran malam itu. Diiringi dengan perdebatan yang hampir mustahil habis. Namun tak semua yang kita dengar harus diceritakan, bukan?
Satu hal yang pasti. Pasca penundaan RUU dan (semoga) pembatalan UU KPK, bersiaplah. Kita akan memasuki pertempuran yang lain. Dan entah bagaimana detail pertempuran ini nanti. Yang jelas beberapa kontestan sudah membacanya. Mereka memilih menghemat energi. "Hemat energi bung! Pertempuran sebenarnya baru akan menjelang", ucap salah seorang dari kami.
Artikel Lainnya
-
70110/09/2024
-
61406/07/2024
-
53215/06/2023
-
Public Discourse: Djoko Tjandra Menggocek Negara
161821/07/2020 -
Omnibus Law, Oligarki, dan Krisis Ekologis
382714/02/2020 -
Merawat Demokrasi dengan Menentang Oligarki
427923/01/2020
