Catatan Redaksi: Selamat, Pak Menkes!

Admin The Columnist
Catatan Redaksi: Selamat, Pak Menkes! 08/11/2020 897 view Catatan Redaksi Fajar Ruddin

Setiap pekan The Columnist menyajikan tulisan dari meja redaksi dengan mengangkat isu publik yang tengah berkembang dan patut diperbincangkan.

Kali ini catatan redaksi ditulis oleh Bung Fajar Ruddin membahas mengenai sepak terjang Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dalam perang melawan Covid-19. Disampaikan secara satire, namun membawa pesan penting khususnya bagi para milenial.

Selamat membaca !

Hujan tak deras, angin pun tak kencang-kencang amat, tiba-tiba kabar mengejutkan menyambar isi kepala kita semua. Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, diberi kehormatan untuk menghadiri konferensi pers virtual bersama Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom. Menkes diminta berbagi pengalaman soal Covid-19 di Indonesia. 

Tentu tak salah kalau saya sebut kabar ini mengejutkan. Karena memang pemberitaan sepak terjang Menkes Terawan selama menanggulangi Covid-19 jauh dari kesan memuaskan. Alih-alih prestasi, berita yang beredar di media tentang Menkes lebih didominasi kontroversi. Menkes dinilai gagap dalam menghadapi amukan pandemi. 

Kegagapan itu bahkan sudah dimulai jauh sebelum kunjungan virus corona pertama di Indonesia. Waktu itu, di saat kepanikan sedang melanda dunia, Menkes bilang bahwa Covid-19 tidak akan masuk ke Indonesia karena kekuatan doa. Nyatanya virus masuk juga, bahkan menggila. Barangkali doa virus lebih kuat dibanding doa Menkes itu sendiri. 

Ketika virus sudah masuk, Menkes lagi-lagi mengeluarkan pernyataan kontroversi. Yang pertama, saat Menkes mengomentari keluhan meroketnya harga masker. “Salahmu sendiri, kok beli ya,” ucapnya enteng kala itu. Terawan menilai orang sehat tidak perlu memakai masker, sebagaimana anjuran WHO. Yang perlu pakai masker hanya orang sakit. Belakangan anjuran tersebut direvisi. 

Yang kedua, kontroversi muncul ketika Menkes menyebut bahwa Covid-19 adalah penyakit yang bisa sembuh dengan sendirinya. Hal itu disintesiskan dari tiga pasien Covid-19 yang telah dinyatakan sembuh. Namun ternyata banyak pasien lain yang justru kondisinya semakin memburuk bahkan meninggal, terutama mereka yang mengidap penyakit lain atau komorbid. 

Atas kontroversi tersebut, tak salah kiranya media meminta kejelasan dari Menkes. Berharap dengan begitu publik dapat memahami strategi apa sebenarnya yang diusung pemerintah dalam menanggulangi bencana ini. Masyarakat memang takut virus corona, tapi lebih takut lagi pada strategi pemerintah yang salah dalam menghadapinya.  

Meskipun undangan datang dari sejumlah media, namun sayang Menkes urung menghadiri undangan tersebut. Berangkat dari situ pula Najwa Shihab akhirnya mewawancarai kursi kosong Menkes sebagai bentuk sindiran, juga rasa “frustrasi” sebenarnya. 

Kabar diundangnya Menkes oleh WHO setidaknya menjawab keraguan publik akan kapasitas pemerintah, terutama Menkes, dalam menanggulangi pandemi. Tidak hanya membungkam oposisi pemerintah, wabil khusus haters Menkes Terawan, saya meyakini saat ini para pem-bully juga sedang kejang-kejang demi mendengar kabar tersebut.

Menkes Terawan begitu fasih mengejawantahkan slogan “kerja, kerja, kerja” yang sering digaungkan Presiden Jokowi di periode pertama kepemimpinannya. Menkes bekerja dalam senyap layaknya Pasukan Katak, kemudian muncul secara mengejutkan dengan prestasi. Dia seolah ingin mengatakan bahwa dirinya tak butuh panggung media. Cukup fokus bekerja, biar nanti publik yang menilai hasilnya. Rendah hati sekali.  

Dan kerendahan hati itu terbayar sudah. Sungguh tidak ada senjata yang paling ampuh untuk membungkam haters selain pengakuan internasional. Apalagi hanya ada Menkes dari tiga negara lain, selain Indonesia, yang diundang dalam konferensi pers tersebut. Patutlah kita memberi selamat kepada Menkes Terawan atas prestasi ini. 

Saya membayangkan, jika ini seperti panggung Oscar, maka pidato yang akan disampaikan Menkes kurang lebih akan seperti ini: “Penghargaan ini saya dedikasikan untuk rakyat Indonesia, terutama haters yang tidak lelah mem-bully saya. Semoga dengan begitu mereka terbuka hatinya.” Lalu hadirin berdiri serentak sambil tepuk tangan dengan riuhnya. Mengharukan sekali. 

Namun bukan haters namanya kalau bisa membedakan mana emas, mana cadas. Bagi haters, apapun prestasi Menkes, ada saja celah yang bisa dieksploitasi. Seperti invitasi WHO ini, banyak pihak mempertanyakan maksud undangan tersebut. Mengingat Covid-19 di Indonesia masih terlalu liar untuk dikendalikan. Apalagi angka kematian akibat Covid-19 masih berada pada angka 3,4 persen atau lebih tinggi dari rerata global yang “hanya” 2,5 persen (detik.com, 5/11).

Pun kalau Menkes dapat undangan dari WHO, haters menilai perannya tidak lebih dari sekadar berbagi pengalaman pelaksanaan IAR (Intra Action Review) nasional. IAR sendiri adalah suatu perencanaan kegiatan dalam penanggulangan Covid-19.  Artinya, yang ingin didengar WHO adalah perencanaannya. Adapun eksekusinya publik sudah sama-sama tau. 

Haters mungkin lupa petuah para orangtua yang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Dan orang yang bijak akan belajar dari berbagai pengalaman. Bukan hanya dari pengalaman berhasil orang lain, melainkan juga dari pengalaman gagalnya. Supaya dengan begitu ia tidak terjatuh di lubang yang sama. Saya yakin Menkes Terawan memiliki segudang pengalaman untuk diceritakan kepada WHO nanti. 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya