Stereotip, Kesetaraan, dan Kebebasan

Dalam ilmu psikologi, ihwal yang berhubungan dengan kesan pertama sering disebut dengan Hilo effect, yaitu kesan pertama yang muncul ketika menilai seseorang. Ajaibnya kesan pertama ini kadang susah untuk dijelaskan. Seperti perasaan “klik” atau momen yang menciptakan chemistry, sehingga kita tertarik pada hal tersebut.
Sama seperti saat kamu jatuh cinta pada pandangan pertama. Bagaimana kamu menjelaskan fenomena tersebut? Mungkin kita hanya bisa sedikit merabanya dengan pendekatan estetika bahwa hal tersebut sesuai dengan selera atau cita rasa personal kita.
Akibat getok tular mengenai hilo effect ini, maka kemudian lahirlah fenomena stereotip. Sebuah usaha untuk memberikan labelling dan stempel. Harapannya adalah untuk memudahkan penilaian.
Tapi, bukankah selalu ada unsur subjektivitas yang mempengaruhi penilaian. Dengan begitu cita rasa satu orang dengan orang lain tentu tidak sama. Bagi si A yang enak itu soto Lamongan, tapi bagi si B yang enak soto Betawi. Terlebih lagi penilaian berdasarkan stereotip tersebut hanya bersifat simplifikasi, bukan menjelaskan secara menyeluruh. Artinya ada presentase kementakannya (peluang untuk benar).
Kita ambil contoh lain, misalnya saja jika ada orang Jawa terkenal lembut dan sopan. Katakanlah presentase 90 persen dari total keseluruhan. Lalu tiba-tiba kamu bertemu orang Jawa tapi tidak sopan, maka presentasenya sekarang berbanding 90:1.
Artinya, informasi itu mungkin juga berubah dalam kurun waktu tertentu sehingga sudah tidak lagi relevan. Demikian pula sebuah pengetahuan, ia memiliki lefttime. Pada periode tertentu mungkin masih terbukti kebenarannya namun seiring berjalannya zaman, pengetahuan tersebut perlu kita kaji ulang. Apalagi penilaian tentang manusia, apa bisa semudah dan se-rigid itu?
Manusia selalu memproses dirinya dari waktu ke waktu. Kita bukanlah orang dengan kesadaran menit yang lalu, jam yang lalu, hari yang lalu dan seterusnya sampai masa yang kita lalui saat ini. Ada kalanya manusia tergelincir melakukan kesalahan. Kita pun mafhum.
Tapi, di lain waktu mungkin ia kembali menemukan dirinya kembali. Betul-betul penuh dengan kedinamisan. Maka, agak terburu-buru jika penilaian kita pada manusia sudah final, penilaian yang tidak bisa berubah, membiarkan labelling, stereotip itu terus menempel di dahinya.
Kita bisa ambil contoh masalah stereotip ini untuk masalah yang lebih krusial. Dari belahan bumi yang lain, di Amerika sampai saat ini masih ada stigma negatif mengenai orang kulit hitam. Mereka dianggap kurang pintar, sumber segala macam bentuk kriminalitas dan penyakit.
Akibat politik warna kulit tersebut, orang kulit putih begitu mendominasi dalam segala hal. Mulai dari urusan mencari pekerjaan sampai bersaing mengekspresikan diri. Bahkan beberapa tahun yang lalu sentimen dan strereotip mengenai orang kulit hitam jelas terpampang dan menjadi headline berita di seluruh media internasional.
Adalah George Floyd, seorang Afro-Amerika yang lehernya ditindih dengan lutut oleh polisi Amerika yang berkulit putih sampai meninggal dunia. Padahal, korban sudah memohon untuk dilepaskan indihannya dengan berkata, “ ..aku tidak bisa bernafas”. Namun, permintaan tersebut sama sekali tidak diindahkan.
Sungguh merupakan tindakan yang melanggar harkat kemanusiaan. Bagaimana mungkin hal itu terjadi di negeri kampiun demokrasi yang katanya menjunjung tinggi asas kesetaraan dan kebebasan? Pantas muncul slogan perlawanan oleh orang Afro-Amerika, “Black lives matter”
Maka di kawasan benua Afrika, masyarakat musisinya membuat musik Reggae sebagai perlawanan terhadap sistem kapitalisme. Mereka asyik-masyuk mencipta lagu-lagu yang tema pokoknya adalah tentang pembebasan dan kesetaraan. Alunan musik yang penuh dengan bunyi bass dan terompet membuat yang mendengarnya ikut menggerakkan kepala. Yo man!
Musik juga mencerminkan kebudayaan masyarakat tersebut. Ada yang mengalun keras ada yang lembut mendayu. Tapi jangan salah sangka juga bahwa masyarakat dengan musik yang keras masyarakatnya tidak kenal dengan kelembutan. Begitu pula untuk masyarakat dengan musik yang lembut jangan dikira tidak bisa bersikap keras. Manusia itu makhluk yang sempurna. Segala macam unsur ada di dalamnya.
Itu baru menyangkut hal musik. Contoh lain dalam hal makanan misalnya. Masakan Jawa dikenal manis bagi orang-orang di luar Jawa. Pandangan ini tidak sepenuhnya salah tapi kurang tepat. Apakah semua jenis makanan sudah pernah dicobanya? Yang dicoba itu kan hanya beberapa jenis makanan saja yang memang punya cita rasa manis. Padahal masih banyak makanan khas Jawa yang bercita rasa pedas. Inilah yang sering terjadi, orang suka menggeneralisasi suatu persoalan tanpa data dan bukti yang lengkap.
Hal ini mengindikasikan belum memadainya masyarakat kita melihat persoalan secara menyeluruh. Kecenderungan melihat segala sesuatu secara sekilas dan sepotong-potong dari tampilan citranya saja. Akibatnya, kita dengan mudah menarik kesimpulan yang prematur.
Akan tetapi masalah citra menjadi lain bagi seorang sales, baginya citra adalah sesuatu yang memang harus dijual. Citra adalah sesuatu yang harus digarap dengan baik agar pembeli tertarik dengan produk yang ditawarkan.
Banyak orang membeli sesuatu sebenarnya bukan karena fungsinya, tapi karena citra, value yang ditawarkan oleh seorang sales. Atau mungkin karena kita suka caranya berbicara (menawarkan produknya). Meskipun pada akhirnya, orang juga tidak akan mengelak dari fungsi atau manfaat dari barang yang dibelinya.
Untuk apa membeli barang mahal-mahal kalau fungsinya juga sama. Untuk apa membeli jam tangan Rolex kalau dengan jam tangan murah juga bisa menunjukkan waktu. Kau salah sangka dalam hal ini. Itulah yang dinamakan dengan value product, fungsi boleh sama tapi value, prestige-lah yang mendorong konsumen untuk membeli.
Seni memengaruhi dan menyenangkan orang lain adalah konsep marketing. Tapi bukan tidak mungkin kita harus mempelajarinya guna menghadapi dan menanggulangi stereotip ini. Berani membela diri dengan opini yang kuat sehingga kita tidak menjadi korban stereotip.
Lagi pula ada banyak angle untuk menilai seseorang. Mau pakai cara pandang yang sempit atau luas. Terlebih lagi kehidupan manusia tidaklah segamblang kelihatannya. Ia multidimensional. Untuk memahami seseorang mungkin tidak cukup hanya dengan hitungan jam, hari, minggu, bulan bahkan tahun. Mungkin dibutuhkan waktu seumur hidup kita. Toh dengan diri sendiri saja sudah seberapa kenalkah engkau?
Dus, sekian juta warna yang ada di dunia yang bisa ditangkap oleh indera penglihatan hanya beberapa. Namun, penilaian terhadap manusia apa bisa hanya berhenti pada satu atau dua warna saja?
Artikel Lainnya
-
211120/05/2020
-
33426/10/2024
-
37525/09/2023
-
Kinerja ASN dan Kualitas Birokrasi Kita
55730/03/2022 -
Perokok Anak: Titik Kritis Menurunkan Jumlah Perokok di Indonesia
140124/01/2021 -
World Book Day 2020, Perayaan di Tengah Pandemi
118124/04/2020