Dehumanisasi di Tengah Pandemi

Situasi pandemi covid-19 memberi pengaruh terhadap banyak bidang kehidupan. Salah satunya adalah etika. Etika pada dasarnya mengatur kehidupan manusia, terkait relasinya dengan yang lain. Etika secara langsung adalah produk dari relasionalitas. Tidak ada etika tanpa relasi.
Kasus yang terjadi baru-baru ini adalah seorang Youtuber berinisia FP yang membuat kehebohan dengan akun prank di akun YouTubenya. Prank yang dilakukan tersebut dalam kacamata filsafat etika, jelas tidak tepat. Halnya menyinggung langsung dimensi relasionalitas tersangka dan korban. Tindakan tersebut merupakan dehumanisasi tersangka terhadap korban, juga dehumanisasi tersangka terhadap dirinya sendiri.
Bagaimana hal ini dapat dijelaskan? Di bawah ini saya hendak menguraikan secara singkat tentang “Aku” dan Liyan (yang lain) yang merupakan subjek dari relasionalitas dan etika itu sendiri.
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Oleh karena kodrat sosial yang dibawanya, dapat dikatakan bahwa manusia pun adalah makhluk relasional. Kodrat sosial membawa di dalam dirinya serta relasionalitas, sebab sosial tanpa relasi adalah tidak mungkin.
Pada dasarnya eksistensiku dalam dunia ini menyatakan bahwa aku adalah makhluk relasional. Halnya dapat dijelaskan demikian. Kehadiranku di dunia ini dari sendirinya sudah merupakan hasil relasi dari kedua orang tuaku. Relasi kasih dari kedua orang tuaku membawa kelahiranku di dunia ini. Apabila tidak ada relasi dari antara mereka, maka aku tidak akan berada di dunia ini. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara kodrati kodrat dari manusia adalah makhluk relasional.
Hal ini mau menunjukan bahwa manusia selalu bergantung pada relasi. Manusia membutuhkan relasi untuk mengada. Ketergantungan manusia dengan relasi adalah ketergantungan yang mutlak. Sudah sejak mulanya manusia ada dalam relasi, bahkan manusia pun lahir oleh sebab relasi. Relasi adalah itu yang mengadakan manusia. Tentu hal ini dipandang dalam konsep di atas, bahwa manusia lahir dari relasi.
Manusia adalah “ada-belum-penuh”. Hal ini mau menunjukan bahwa manusia secara konkret menginginkan sesuatu, merindukan seseorang. Dengan kata lain halnya mau mengatakan bahwa sebenarnya manusia itu seolah-oleh kekurangan sesuatu atau seseorang. Ada yang memandang bahwa hal ini sebenarnya adalah hal yang biasa, normal. Akan tetapi secara lebih mendalam halnya menunjukan bahwa manusia itu sebenarnya adalah ada-belum-penuh. Hal yang demikian menunjukan sebenarnya ada kekosongan dalam diri manusia. Kekosongan ini dengan sendirinya harus diisi oleh manusia itu sendiri. Dan hal ini memungkinkan orang lain untuk mengisinya. Dari sini, menunjukan bahwa manusia yang ada-belum-penuh ini menampilkan dan menjelaskan kodrat manusia yang relasional.
Liyan dalam gramatika bahasa dimengerti sebagai dia yang lain, yang berari orang ketiga. Dalam sejarah dunia yang dimulai sejak zaman Yunani kuno hingga saat ini, Liyan tidak mendapat tempat yang baik. Liyan selalu identik dengan dia atau mereka yang tersisih, tersingkir, menderita, terlantar, anak-anak dan wanita.
Misalnya saja dalam pemikiran ideologi, pemahaman tentang Liyan menunjukkan bahwa halnya dipandang secara tidak manusiawi. Contohnya saja dalam revolusi industri, di sini Liyan disimak sebagai kelompok masyarakat yang tersisih, tertindih oleh beban kehidupan di satu pihak terpojok oleh kemiskinan telak. Liyan dikenakan tindakan ketidakadilan. Demikian pula yang terjadi dalam ideologi kapitalis, Liyan adalah mereka yang terkena kemiskinan, kaum buruh, masyarakat proletar yang sama sekali berbeda dengan mereka sang pemilik modal. Liyan menjadi tertindas oleh karena perilaku para pemilik modal.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa Liyan sesungguhnya tidak diperlakukan sebagai seorang subjek yang sama dengan “Aku”, dia lain sama sekali dalam keberlainannya. Keberlainan dari Liyan inilah yang membuat pada contoh-contoh di atas Liyan tidak dipandang dengan semestinya.
Pandangan yang timpang tentang Liyan ini secara gamblang dikritisi oleh seorang filsuf Perancis, Emmanuel Levinas. Levinas berpendapat bahwa cara pandang subjek Aku terhadap Liyan haruslah diubah. Dasar kodrat manusia sebagai makhluk relasional mendasari hal ini. Liyan bagaimana pun tetaplah harus dihargai eksistensinya. Dalam eksistensinya di hadapanku, ia membawa realitas tak berhingga di dalam dirinya saat berelasi denganku.
Ketidakberhinggaan Liyan ini didasarkan Levinas pada fakta bahwa Liyan itu sama sekali lain. Ia berada dalam keberlainannya, dan keberlainannya itu tidak berhingga, karena Liyan memiliki konteks yang berbeda daripadaku. Konteks diri Liyan yang berbeda itu sama sekali tidak berhingga karena Aku sampai kapan pun tidak bisa mengetahui konteks diri Liyan. Lebih dari itu karena Liyan juga pada dasarnya memiliki ke-Aku-annya sendiri. Hal ini sama sekali tidak boleh dilanggar olehku. Pelanggaran akan hal ini adalah dehumanisasi terhadap Liyan. Dehumanisasi itu berlawanan dengan etika.
Etika pada dasarnya adalah tindakan manusiawi yang hanya bisa dilakukan oleh manusia. Tidak ada selain manusia yang memiliki etika. Dengan etika manusia memanusiakan manusia lain, sehingga dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk beretika. Etika lekat dengan eksistensi manusia.
Dengan perspektif etika yang telah diuraikan di atas, saya melihat apa yang dilakukan oleh FP dalam konten prank di akun YouTubenya sebagai tindakan dehumanisasi. Halnya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, tindakan FP yang memberi “bantuan” kepada transpuan atas pengakuannya lewat salah satu stasiun berita dilakukan agar para transpuan tidak berkeliaran selama bulan ramadhan adalah tidak tepat. Halnya tidak tepat karena bantuan yang dikemas dalam satu dus mie instan itu berisi batu dan sampah. Batu dan sampah bukanlah makanan bagi manusia.
Kedua, dari berita yang tertulis dalam salah satu media online dikatakan bahwa kegiatan ini adalah kegiatan terencana. Pelaku dan teman-temannya berkumpul untuk membicarakan proyek konten YouTube untuk mengisi akun dari FP. Perencanaan akan tindakan amoral ini pada dasarnya sudah salah.
Oleh dua hal ini, tindakan FP dan teman-temannya termasuk dalam tindakan dehumanisasi. Dehumanisasi tersebut terjadi dalam dua sisi. Pertama adalah tindakan FP terhadap transpuan tersebut dapat dikatakan sebagai dehumanisasi yang melanggar kemanusiaan dari korban. Kedua adalah dehumanisasi terhadap diri sendiri. Dengan melakukan hal demikian, FP pada dasarnya melakukan tindakan dehumanisasi terhadap dirinya sendiri.
Seperti uraian di atas bahwa kodrat manusia adalah sosial-relasional dan makhluk beretika. Dengan tindakannya terhadap transpuan, ia melanggar kodrat sosial-relasionalnya. Demikian pada dirinya sendiri, ia mengingkari bahwa dirinya merupakan makhluk beretika, yang secara langsung merupakan dehumanisasi terhadap dirinya sendiri.
Situasi pandemi yang tak kunjung usai memang memberi tekanan bagi manusia, karena secara langsung mempengaruhi berbagai macam bidang kehidupan. Akan tetapi dalam hal ini, sosial-relasional dan etika adalah hal yang niscaya merupakan fundamental dalam hidup manusia. Manusia harus tetap berpegang pada prinsip ini. Keduanya merupakan prinsip dasar yang menjadikan manusia tetap manusia. Keduanya adalah hal yang tidak bisa dilepaskan dari eksistensi manusia sebagai makhluk yang berada di dunia bersama dia yang lain.
Artikel Lainnya
-
35303/05/2024
-
32622/11/2024
-
166118/10/2019
-
Memahami Hukum dalam Kehidupan
68518/09/2022 -
Merindukan Keadilan dan Kesejahteraan di Indonesia
106001/10/2022 -
137907/04/2021