Dear Negara, Yang Kalian Lakukan Itu Jahat!

Pegiat HAM
Dear Negara, Yang Kalian Lakukan Itu Jahat! 31/10/2020 1738 view Politik Unsplash

Judul diatas diambil dari siaran pers Aliansi Rakyat Bergerak pada tanggal 15 Agustus lalu. Pernyataan tersebut keluar sebagai respon atas pembubaran disertai kekerasan pada aksi sehari sebelumnya.

Sejak aksi-aksi mulai memanas, serangkaian teror terus dilakukan. Negara memusuhi rakyatnya. Sepertinya itu yang saat ini dirasakan oleh sebagian masyarakat sipil. Mahasiswa, sebagai bagian dari masyarakat sipil melakukan aksi protes sebagai reaksi atas pelanggaran hak-hak sipil dan perampasan lahan.

Teror bukan hanya di kalangan aktivis mahasiswa dan buruh saja. Di sebaran wilayah konflik, rakyat dihadapkan dengan aparatus negara dan senjata. Aksi-aksi masyarakat sipil pun di respon dengan kekerasan oleh aparatus negara, penangkapan serta teror melalui media massa sosial menggunakan tangan-tangan para buzzer.

Negara sebagai organisasi kekuasaan yang salah satu fungsinya adalah menjamin kesejahteraan, memberi rasa aman dan keadilan, justru menjadi pihak yang memusuhi rakyatnya, yang notabene merupakan syarat adanya pengakuan sebagai sebuah negara.

Kehadiran negara tampak semakin jauh dari mengupayakan kesejahteraan dan keadilan. "The state-or apparatus of government appears to be everywhere, regulating the conditions of our lives from birth registration to death certification. Yet, the nature of the state is hard to grasp. This may seem peculiar for something so pervasive in public and private life, but it is precisely this pervasiveness which makes it difficult to understand. There is nothing more central to political and social theory than the nature of the state, and nothing more contested" (Held 1983:I).

Negara justru terlalu disibukkan dengan pertarungan antar kekuatan politik untuk mendapat kedudukan dalam kekuasaan. Masing-masing berlomba meraih dukungan rakyat. Pertarungan yang terasa jauh dari pertarungan yang dihadapi oleh warga Kulonprogo, Pubabu, Kinipan, Desa Pakel dan sederet wilayah konflik lainnya. Rakyat berjibaku menghadapi pertarungannya sendiri. Secara sederhana bagaimana menjalani dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang itupun terampas oleh hegemoni kekuatan yang lebih besar dengan dukungan negara dan aparatusnya.

Negara menutup telinga terhadap jeritan rakyat Urut Sewu, jeritan Bu Wagirah di Kulonprogo, teriakan para ibu di Kendeng, Pubabu, Pakel dan lain-lain. Serta mengabaikan pelibatan suara masyarakat sipil dalam pengambilan kebijakan pembangunan, investasi, kesehatan dan rancangan undang-undang.

Saran dan hasil penelitian para pakar pun dimentahkan, tak kurang dari akademisi, Lembaga penelitian dan rakyat yang menjalani langsung realita serta dampak dari sebuah kebijakan. Negara bersama aparatusnya tetap bersikeras bahkan menggaungkan narasinya melalui kanal-kanal media mainstream maupun media sosial. Termasuk yang baru-baru ini terjadi, aksi massa menolak pengesahan UU Cipta Kerja Omnibus Law di berbagai daerah dikecam serta dilabeli perusuh dan anarkis.

Massa dihadapi dengan gas airmata, kekerasan dan penangkapan. Label 'perusuh' menjadi pembenaran atas serangkaian penanganan melalui kekerasan. Hegemoni menjadikan negara tampil memusuhi rakyatnya.

Para aktivis demonstran juga dibenturkan dengan organisasi massa reaksioner yang mengatasnamakan warga. Ditambah dengan serangan di media sosial oleh para buzzer. Sebagian aktivis juga mengalami doxing, peretasan no hp dan pemalsuan akun. Negara mengambil langkah-langkah yang tidak simpatik.

Penggunaan jasa buzzer, influencer dan organisasi massa reaksioner justru menunjukkan betapa jahatnya, mengadu domba antar rakyat. Jika aksi massa yang melakukan kajian kritis atas kebijakan negara diberi label perusuh, bagaimana dengan keributan antar pendukung yang terbawa sejak pemilihan Presiden 2014 lalu? Rakyat justru belajar dari bagaimana negara membangun narasi antar dua kubu serta bagaimana negara beserta aparatusnya bersikap dalam menangani konflik agraria.

Perdebatan mengenai Omnibus Law masih terus berlangsung. Pemerintah dan masyarakat sipil memiliki argumen yang berbeda. Perbedaan ini bukan tentang salah dan benar. Tiap argumen memiliki klaim kebenarannya masing-masing. Kini masyarakat harus menunggu keputusan akhir mengenai Omnibus Law.

Pada satu sisi kita memiliki imajinasi mengenai Indonesia ke depannya sementara di sisi lain masyarakat sipil bicara mengenai hak kebebasan sipil, pelanggaran HAM dan eksploitasi alam. Disini tampaknya terjadi missing link antara pemerintah dan masyarakat sipil. Mengutip pandangan kaum muda " Ini tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan kita bukan bagaimana negara memenuhi tuntutan kita".

Tapi menilik dari narasi besar tentang Indonesia ke depannya, pembangunan yang ditujukan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa, mimpi besar itu terasa menjadi naif jika direfleksikan dengan kondisi riil saat ini. Ketika sikap kritis dibungkam dan ruang publik dibatasi. Juga bukan sekedar karena ekonomi yang terpuruk akibat pandemi COVID-19, bagaimana mungkin menjalani kehidupan yang sejahtera, ketika eksploitasi sumber daya alam terjadi secara besar-besaran saat ini dan merusak lingkungan hidup kita.

Benar kita membutuhkan pembangunan, tehnologi dan investasi namun juga kesejahteraan untuk semua. Saat ini yang terjadi adalah kesejahteraan hanya dimiliki oleh segelintir orang akibat adanya ketimpangan dalam distribusi kesejahteraan.

25 tahun yang akan datang, apa yang tersisa ketika investasi mengeruk sumber daya alam dan memeratakan kemiskinan. Sementara semua penggagas kesejahteraan sudah berada pada kisaran usia 70-80 an. Yang tersisa adalah mereka yang saat ini tergilas kalah dan generasi muda yang semoga bisa menang melawan pertarungan saat ini.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya