Covid-19, Optimisme dan Pertarungan yang Belum Usai

Covid-19, Optimisme dan Pertarungan yang Belum Usai 24/03/2021 1014 view Lainnya news.detik.com

Hampir satu tahun kita dihimpit pandemi Covid-19. Perjuangan tidak kenal lelah. Ada yang harus direlakan pergi. Ada yang masih berjuang. Kita sama-sama bertarung di hadapan virus yang sangat ganas.

Namun perlu dicatat bahwa di atas semua itu, kita tidak pernah kalah. Kita adalah pemenang yang bertarung tanpa takut. Pemenang sejati tidak pernah menyerah saat masih bertarung, apalagi mundur sebelum berjuang.

Pembuktian paling baik ialah ketika kita menunjukkan bahwa kita percaya ada jalan. Jalan terang yang akan menuntun kita dan membentuk sikap kita untuk konsisten dengan apa yang sedang dihadapi. Tidak ada yang pantas untuk disalahkan dari situasi ini. Semua salah, semua benar, bergantung pada kita memaknai bagaimana sikap kita yang paling pantas dalam situasi sulit seperti ini. Tapi perlu dicatat bahwa tidak ada yang abadi, tidak ada yang paling kuat yang bisa bertahan. Kita adalah makhluk lemah, dengan tingkat risiko yang paling rentan.

Pandemi Covid-19 tentu tidak pernah diinginkan ada. Di saat kita masih bercengkrama dengan keluarga, saudara, teman dan kenalan, kita harus menerima kenyataan untuk terkungkung di rumah. Menutup diri seolah kita mengawasi dan berjaga-jaga dari serangan virus yang kita sebut corona itu.

Semua terasa jauh, gelap, bahkan kita harus merelakan orang-orang terdekat pergi. Semua rencana yang sudah kita susun dan akan kita kerjakan bersama, serentak tidak berguna. Menjadi rencana kosong, nir makna.

Kita tidak percaya dengan kondisi ini, tidak pernah berpikir bahwa kita akan bertarung dengan situasi sesulit ini. Tapi kita dipaksa harus memercayai situasi dimana kita tidak pernah menginginkannya.

Di sini, semua diuji, bukan soal apakah kita bisa bertahan. Bukan soal siapa yang paling superior dan inferior. Ini tidak penting, tidak masuk dalam logika kemanusiaan. Hal yang terpenting adalah rasa solider dan kemanusiaan yang lahir dan terbentuk dalam situasi sulit. Melihat orang lain sebagai kita yang lain. Menempatkan kemanusiaan sebagai nilai (value) paling tinggi dengan derajat tanpa batas. Itulah yang paling ditunggu dari situasi hari ini.

Di hadapan Covid-19, kita adalah manusia paling rentan. Rentan dihinggapi berbagai persoalan. Para buruh yang bekerja di berbagai perusahaan harus dirumahkan, Tenaga Harian Lepas (THL) di berbagai instansi pemerintah sebagian juga dirumahkan.

Anak-anak yang seharusnya membutuhkan bimbingan belajar dari para guru di sekolah, harus terkurung di rumah. Mereka bertarung dengan keadaan. Tuntutan sekolah online memaksa sebagian anak-anak untuk mendapatkan gadget dan kuota. Belum lagi persoalan koneksi internet di daerah pedalaman, yang juga menambah beban belajar bagi anak-anak.

Para petani mengalami kondisi tertekan akibat harga-harga komoditas, seperti cengkeh, kakao, kemiri, vanili dan komoditas lain, mengalami penurunan harga yang sangat drastis. Bahkan, kita tidak pernah terpikir untuk beribadah di rumah. Gereja, Masjid, Pura dan tempat-tempat ibadah lain ditutup sementara waktu. Kita telah mengalaminya, dengan kondisi paling sulit, tetapi dengan rasa optimisme bahwa ini akan lekas membaik.

Harapan dan Optimisme

Kita bisa bertahan karena harapan dan optimisme. Manusia yang ragu, adalah mereka yang kurang terlatih, mudah menyerah, atau memilih pasrah sebagai jalan paling singkat. Tipe manusia demikian tidak terbebani karena tertular pandemi Covid-19, mereka terbebani pikiran mereka sendiri. Selalu mempersalahkan yang lain, mudah tersulut emosi, dan menerima keadaan sebagai takdir. Kita mestinya tidak menjadi manusia demikian.

Nietzche pernah mengatakan, "Amor fati". Artinya, kita tidak hanya harus menanggung apa yang tidak dapat diubah, kita harus mencintainya. Tidak menyerah pada nasib, tetapi menanggungnya. Ini adalah sikap hidup yang luhur (Setyo Wibowo, 2017).

Kondisi hari ini justru menuntun kita untuk belajar tentang apa itu kebersamaan, apa itu tanggung jawab, dan tentu mempertanyakan siapa kita di tengah situasi yang demikian sulit. Pertanyaan tentang siapa kita membutuhkan jawaban yang tidak mudah. Sebab, kita harus bergulat dengan pikiran, hati dan sikap kita. Apakah kita konsisten dengan apa yang kita hadapi.

Di sana kita sampai pada sikap refleksi kritis sekaligus radikal tentang kondisi yang tengah kita hadapi hari ini. Refleksi kritis dan radikal, berangkat dari situasi dimana kita menghadapi situasi sulit, seraya mempertanyakan siapa saya dan apa yang harus saya lakukan bagi yang lain.

Semua tahu, bahwa pandemi Covid-19 telah meluluhlantakkan semua rencana kerja baik. Kita percaya bahwa hari ini akan lekas membaik di esok hari. Waktu terbaik hari ini, adalah waktu paling baik untuk kita membangun harapan, optimisme dan kerjasama mencari solusi.

Kerjasama adalah penting. Tidak saja mengisyaratkan bahwa kondisi sulit ini mendorong kita untuk bahu-membahu menyelesaikan problem ini bersama, tetapi juga kerjasama atau lebih tepatnya budaya gotong royong adalah bentuk budaya dan identitas kita sebagai manusia Indonesia yang telah lama memudar digerus perkembangan zaman.

Kita harus mengkampanyekan kembali budaya gotong royong, karena itu merupakan budaya yang menjadi identitas kita. Di tengah masa krisis dan sulit ini, sepatutnya kita mengaktifkan kembali budaya gotong royong. Berusaha bersama untuk menyelesaikan ini secara tuntas.

Pemerintah tidak bekerja sendiri, masyarakat harus membantu mempercepat pemulihan. Itulah kesadaran yang tumbuh untuk memperjuangkan kehidupan dan bangsa yang lebih baik.

Di tengah kompleksitas yang tengah kita hadapi bersama saat ini, kesadaran kolektif-kolegial sebagai bangsa harus tumbuh. Kita harus selalu yakin bahwa segala sulit yang kita hadapi, bukan berarti menghilangkan segala semangat kita untuk membangun Indonesia.

Masa depan Indonesia dan generasinya diuji di tengah kondisi sulit ini. Kita telah dan sementara bertarung, apapun hasilnya, itulah kemenangan bangsa ini. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki jiwa altruisme dalam dirinya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya