Jomblo dan Perkawinan Yang Tertunda

PNS BKKBN
Jomblo dan Perkawinan Yang Tertunda 27/12/2019 2157 view Budaya pixabay.com

Pernahkah anda di-bully karena status anda yang menjomblo dan tak kawin-kawin hingga usia berkepala tiga atau lebih? Lalu bagaimana perasaan anda yang mungkin di-bully oleh teman dekat atau saudara sendiri?

Kejadian tersebut pernah penulis alami beberapa tahun yang lalu. Tiap kali kumpul dengan teman-teman kampung atau kawan sekolah semasa SD-SMP dan SMA pertanyaannya selalu sama “kapan kawin?”. Tentu pertanyaan tersebut sedikit menyayat hati, namun juga tak perlu dimasukan hati karena kanyataannya hingga pertanyaan tersebut dilontarkan kepada penulis, saat itu penulis memang belum kawin.

Ada juga kawan yang menasehati penulis untuk segera mengakhiri masa lajang dan tak perlu lama-lama menjomblo. Kata beliau semakin panjang menjomblo, usia akan semakin tua dan itu akan mempengaruhi kelak ketika memiliki anak.

Bisa jadi nanti ketika anda punya anak maka anak tersebut akan memanggil anda dengan sebutan “kakek” katanya. Ini dikarenakan usia anda dan anak anda terbilang cukup jauh, lanjutnya. Mendengar hal tersebut saya hanya tersenyum.

Lama menjomblo hingga mengakibatkan perkawinan yang tertunda baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan, memang sering kali menjadi buah bibir di lingkungan keluarga sendiri, di lingkungan pertemanan maupun di lingkungan kerja.

Sering kali kata menjadi “bujangan lapuk” atau pun “perawan tua” hinggap di telinga kita-kita ini yang masih menjomblo dikarenakan oleh pilihan hidup atau masih menjomblo karena keadaan serta berbagai sebab dan alasan.

Menjomblo bagi laki-laki maupun perempuan terkadang bukan persoalan tidak mau segera menikah. Namun disebabkan memang belum ketemu jodoh saja. Biasanya keluarga atau teman yang merasa iba kepada para jomblowan dan jomblowati mencoba memfasilitasi untuk menjadi jembatan perjodohan para jomblowan dan jomblowati tersebut. Tapi memang nasib baik belum ada maka usaha-usaha tersebut pun belum bisa sampai kepada jenjang perkawinan.

Ada juga inisiatif jemput bola dari sang jomblowan dan jomblowati ini untuk segera mendapat jodoh dengan cari mengikuti program acara di televisi mengenai perjodohan, namun pastinya tidak semua berhasil. Ada juga yang memanfaatkan jasa biro jodoh baik melalui media elektronik maupun cetak, namun hasilnya masih kosong. Intinya berbagai usaha telah dicoba namun memang belum ketemu jodohnya, sehingga harus kembali menjomblo dengan batas waktu tidak ditentukan atau memang tidak bisa kita ketahui.

Ada juga para jomblowan dan jomblowati belum menikah-menikah karena alasan traumatik. Traumatik bisa diakibatkan oleh kegagalan menjalin hubungan dengan mantan pacar yang dulu dan kemudian tiba-tiba putus, lalu mereka tidak bisa segera move on untuk segera memilih pasangan hidup.

Traumatik juga bisa disebabkan oleh pengalaman pribadi para jomblowan dan jomblowati dalam kasus-kasus kekerasan di dalam rumah tangga. Bisa jadi mereka merupakan saksi hidup terhadap kejadian kekerasan yang terjadi pada ibu atau anggota keluarga yang lainnya, yang dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi pelindung keluarga.

Peristiwa itu membuat trauma para jomblowan dan jomblowati untuk tidak segera melakukan pernikahan sebab gambaran kekerasan dalam rumah tangga itu membayang di dalam ingatan mereka, sehingga ketika hendak melakukan pernikahan mereka takut hal tersebut juga akan terjadi dalam biduk rumah tangga mereka kelak. Untuk itu mereka memutuskan untuk tetap menjadi jomblowan dan jomblowati sehingga terjadi perkawinan yang tertunda.

Pada kasus-kasus perkosaan dan kekerasan seksual yang terjadi pada jomblowan dan jomblowati dimasa lalu juga bisa membuat mereka traumatik dan takut kepada lawan jenis. Hal ini membuat mereka memutuskan untuk selalu menunda-nunda perkawinan.

Keluarga yang berantakan, broken home maupun pada keluarga yang mengalami perceraian juga bisa mengakibatkan trauma pada anak-anak mereka. Ini bisa terjadi karena anak yang terlahir dari keluarga tersebut takut untuk membangun rumah tangga, karena takut dalam keluarga mereka kelak akan terjadi sesuatu yang sama, seperti yang menimpa pada rumah tangga orang tua mereka yang tidak harmonis.

Keinginan meraih pendidikan setinggi-tingginya terkadang juga menjadi penyebab para jomblowan dan jomblowati mengalami perkawinan yang tertunda. Ini kebanyakan dikarenakan mereka ingin fokus dalam menuntut ilmu sehingga mereka bisa sesegara mungkin lulus dari studi.

Setelah lulus dari studi maka mereka akan segera menikah. Namun ternyata ketika sudah lulus, jodoh tak datang-datang sehingga mereka memutuskan untuk sekolah pada jenjang yang lebih tinggi lagi. Jadilah perkawinan yang tertunda dan tetap menjadi jomblowan dan jombowati.

Faktor lain yang sering meghambat para jomblowan dan jomblowati untuk tidak segera menikah ini adalah faktor ekonomi. Sering kali mereka sang jomblowan dan jomblowati adalah para pahlawan keluarga. Merekalah tulang punggung keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Karena faktor inilah kemudian mereka menyibukkan diri untuk bekerja, sehingga lupa pada urusan berkeluarga.

Namun yang menarik adalah alasan para jomblowan dan jomblowati untuk menunda perkawinan karena tidak mau menikah dan tidak mau punya anak. Bagi mereka punya anak adalah merupakan beban serta membuat repot. Lagi pula kalau ingin punya anak, mereka bisa melakukan adopsi. Cerita seorang kawan yang sedang sekolah doktoral di Taiwan membenarkan alasan ini. Bagi sebagian jomblowan dan jomblowati di negara tersebut memelihara hewan lebih menarik dari pada menikah dan mengurus anak.

Banyaknya jomblo yang mengalami penundaan perkawinan ini, terutama di negara-negara maju seperti Singapura sudah menjadi persoalan. Di negara singa tersebut ada semacam kebijakan bahwa bagi para jomblowan dan jomblowati yang mau menikah dan punya anak maka mereka akan mendapat reward dari negara. Ini merupakan rayuan agar para jomblowan dan jomblowati segera mengakhiri masa lajang.

Selain hal tersebut, negara juga takut kalau para generasi mudanya tidak mau menikah dan punya anak serta memilih menjadi jomblowan dan jomblowati, maka lama-kelamaan negara tersebut bisa kekurangan penduduk produktif bahkan dalam jangka panjang bisa kehilangan generasi penerus.

Lalu bagaimana di Indonesia? Di Indonesia sepertinya banyaknya jomblowan dan jomblowati yang mengalami perkawinan yang tertunda menjadi sarana politik untuk meraih suara di saat hajatan pilkada atau pilpres lima tahunan. Pernah tersiar kabar ada calon pemimpin kepada daerah yang akan membuat semacam taman jomblo, di mana di taman tersebut para jomblowan dan jomblowati bisa bertemu dan saling berbagi. Sebuah ide yang menarik terlepas dari implementasinya yang sepertinya kurang berjalan.

Akhirnya kepada para jomblowan dan jomblowati yang sudah saatnya menikah namun belum juga menikah, saya berdoa semoga cepat dapat jodoh dan dapat momongan. Aamiin.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya