Dampak Corona: Nasib Masyarakat Urban dan Pedalaman

Divisi Riset dan Kajian JC.Institute
Dampak Corona: Nasib Masyarakat Urban dan Pedalaman 20/04/2020 1831 view Ekonomi Mello.id

Mengurung diri dalam rumah atau mati oleh virus tidak kasat mata. Begitu gaungan pemerintah untuk masyarakat supaya di rumah saja. Sebagai bukti bahwa pemerintah sudah pernah mengingatkan rakyatnya. Rima dari arahan yang sarat dengan nada naik tersebut, seharusnya bisa dipahami oleh masyarakat kota di tengah kesibukan keseharian mereka dengan mudah.

Berbanding terbalik dengan masyarakat pedalaman, yang tinggalnya jauh di pelosok negeri tentang informasi itu. Sulit membayangkan mereka segera menjalankan isolasi diri (social distancing) dalam langkah menaati arahan penanganan penyebaran Covid-19. Lagi pula, dari mana pula mereka akan mendapatkan arahan tersebut? Dari internet? Memperoleh cahaya terang saat malam hari saja sudah menjadi barang langka bagi kehidupan mereka.

Sah saja, dugaan kita bahwa hidup dan tinggal di pelosok negeri membuat masyarakat pedalaman tidak pernah tahu tentang perkembangaan pemberitaan penyebaran Covid-19 di media massa. Padahal setiap hari laporan jumlah korban meninggal dan pasien sembuh selalu disampaikan oleh Achmad Yurianto sebagai Juru Bicara pemerintah dalam penanganan Corona.

Pun, jika berita ini sampai ke telinga masyarakat, mereka juga tidak akan paham maksud dan tujuan pemerintah akan hal itu. Soalnya sistem dan pola hidup masyarakat pedalaman jauh berbeda dengan orang-orang di perkotaan yang dalam keseharian diikat oleh uang. Karena di pedalaman, mereka lebih cenderung memanfaatkan alam sebagai media bertahan hidup.

Bergantung dari sumber kehidupan yang disediakan alam merupakan cara bertahan paling ampuh bagi manusia, dalam sejarah dan khazanah antropologi telah membuktikan dan menjelaskan hal tersebut, apalagi hutan Indonesia yang maha kaya dengan segala hasilnya. Sebab, kehidupan yang selalu berkaitan dengan dunia digital nan serba canggih, tidak akan pernah bisa mengalahkan dunia primitif yang masih bisa kita saksikan hingga sekarang, malahan banyak dari pakar sudah mulai mengingatkan bahaya makanan cepat saji ala kota.

Bahkan orang kota pun, hingga detik ini membutuhkan hasil alam dari masyarakat pedalaman. Bohong jika tidak. Oleh karena itu, jangan pernah membayangkan hal yang sangat berpengaruh bagi masyarakat kota akan berdampak juga bagi masyarakat pedalaman.

Sarana transportasi menjadi bagian vital dalam setiap mobilitas masyarakat kota saban hari. Akan tetapi semua aktivitas publik yang padat pada saat biasanya seakan lumpuh oleh dampak pandemi global Corona Virus Disease (Covid-19) hari ini. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah Indonesia diminta memperhatikan seluruh aktivitas masyarakat, seakan-akan selama ini terlihat tidak pernah “serius” melakukan pengawasan di bidang kesehatan.

Toh pemerintah Indonesia sudah lebih awal melakukan persiapan dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) yang bertanggung jawab langsung kepada presiden dan memiliki tugas untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan nasional bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pertanyaannya apakah masyarakat yang tinggal di pedalaman paham dengan kondisi yang melanda Indonesia saat ini? Ketika salah satu anggota kelompok mereka meninggal yang disebabkan entah itu oleh Corona atau karena ajalnya yang sudah sampai diambang batas.

Menyiasati Segala Kemungkinan Terburuk

Hingga menjelang pertengahan tahun virus ini tidak kunjung mereda, malahan semakin gesit dan lincah saja pergerakannya. Sungguh melawan makhluk yang tak kasat mata menjadi tidak bisa diatasi dengan senjata nuklir paling canggih pun.

Memang penyebaran virus Corona terjadi begitu cepat, memiliki dampak yang sangat berbahaya. Bahkan negara-negara Eropa dan Amerika yang bisa dikatakan memiliki pertahanan sangat kuat-pun dapat ditembus oleh Corona. Apalagi Indonesia yang masih berada dibawah Amerika dan Eropa dari segala hal, kecuali kemampuan meramu fenomona sains untuk kepentingan mistis, sebagai mana yang pernah dipraktikan oleh seorang dukun perempuan tersohor di Indonesia, yaitu Ningsih Tinampi.

Masyarakat pedalaman biasanya lebih percaya dengan segala hal yang berbau mistis, sebagaimana yang dikomersialkan oleh Ningsih Tinampi. Masyarakat pedalaman biasanya akan segera mengaitkan segalanya pada hukum alam. Jika bisa dikaitkan dengan takdir, maka Corona bagi masyarakat pedalaman, adalah bahaya yang datang dari sosok setan yang membenci mereka.

Namun, karena sampai hari ini kita tidak mengetahui apakah wilayah pedalaman Sumatera, Kalimantan, dan wilayah timur Indonesia telah terpapar wabah ini, maka mereka akan terus hidup sebagaimana biasanya, karena alam menyediakan segala kebutuhan mereka untuk bertahan hidup. Mereka tidak sepanik masyarakat kota yang harus menunggu bantuan sembako.

Semakin hari masalah dan dampak Corona kian jelas dengan minimnya penanggulangan yang ada. Apabila masalah ini kian berlanjut mungkin saja korban akan semakin berjatuhan. Sekarang ini butuh sebuah langkah dan peran besar serta cepat untuk mengatasi hal ini.

Pemerintah telah membentuk sebuah gerakan baru-baru ini, yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 pada hari selasa 31 Maret 2020. Pertanyaannya apakah metode ini mampu menaggulangi penyebaran Covid-19 dengan segala peraturan dan sanksinya? Mungkin juga hanya cara pemerintah menutupi kegagapan menangani Corona dengan segala keterbatasannya.

Kebijakan ini diharapkan dapat membantu rakyat yang sudah menderita karena Corona, jangan sampai karena PSBB yang tidak jelas sistem kerjanya, banyak dari masyarakat kota yang bergantung pada modernitas mati kelaparan. Untuk itu pemerintah mesti segera mencari jalan keluar dari seluruh persoalan ini, dengan langkah yang matang.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya