Menakar Pragmatisme Koalisi Partai Politik

Pembentukan koalisi partai politik dalam sistem multi partai merupakan suatu keniscayaan dan menjadi pilihan yang tak terelakan. Dalam sistem multi partai seperti Indonesai, tidak terdapat satupun partai politik yang memperoleh suara mayoritas, sehingga setiap partai harus membangun kerja sama atau koalisi dengan partai politik lain.
Selain karena minimnya kekuatan politik, koalisi niscaya dilakukan juga karena mandat Undang-Undang. Dalam konteks pemilihan presiden, dalam UUD 1945 (Pasal 6A ayat 2) menyatakan bahwa “pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Pasal tersebut kemudian dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden (pasal 9), bahwa “pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”.
Begitupun dalam konteks Pilkada, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada, juga menyebutkan bahwa, partai politik yang memiliki paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membentuk koalisi.
Dengan demikian, sistem perundang-undangan memberi ruang bagi partai-partai politik untuk mengadakan koalisi partai politik sebagai peserta pemilu. Hal ini berarti bahwa, bagi partai-partai yang memperoleh suara minoritas dapat memobilisasi kekuatan dan negosisasi politik untuk membentuk koalisi, agar dapat mengusung kandidat dalam kontestasi politik.
Orientasi Pragmatis dan Kerjasama Antagonis
Dalam teori politik kepartaian, pilihan dalam pembentukan koalisi tentunya didasari oleh beragam perimbangan. Terdapat dua kecenderungan pilihan koalisi partai politik yakni koalisi office-seeking dan koalisi policy-seeking (Riker, 1962; Axelrod, 1970).
Model koalisi office-seeking merupakan gabungan beberapa partai politik yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan atau menduduki posisi strategis dalam struktur pemerintahan.
Sedangkam koalisi model policy-seeking mendasarkan pertimbangan penggabungan beberapa partai politik karena mempertimbangkan keselarasan kebijakan partai, kesamaan ideologi dan program kegiatan partai politik (Riker, 1962; Axelrod, 1970).
Di Indonesia, berdasarkan studi para sarjana menunjukan bahwa dalam praktik politik kepartaian, model koalisi partai-partai politik cenderung bersifat office-seeking. Bahwasannya partai-partai politik membentuk koalisi berdasarkan pertimbangan pragmatis seperti memburu jabatan, uang dan kekuasaan, tidak memperhatikan kesamaan ideologi ataupun platform partai (Ekawati, 2019; Hendrawan et al., 2021; Nadir, 2013; Romli, 2017; Tjahjoko, 2015).
Sealin itu, koalisi model office-seeking cenderung bersifat incidental (adh occoalition) serta bersifat jangka pendek, yang pembentukannya terikat pada suatu agenda politik tertentu. Koalisi model ini dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama jika terdapat keselarasan kepentingan di antara anggotanya. Namun, jika terjadi perbedaan kepentingan, koalisi tersebut bisa cepat berakhir (Nadir, 2013; Suryani & Hanafi, 2018).
Model koalisi office-seeking kemudian membentuk partai-partai politik berada dalam relasi kerjasama antagonistis. Artinya partai politik senantiasa berusaha untuk mengakhiri rivalitas (konflik) dan menciptakan konsensus jika memiliki persamaan kepentingan, begitupun sebaliknya partai politik akan menciptakan konsensus melalui kerja sama meskipun telah melalui rivalitas (konflik) di antara partai yang bersinggungan.
Misalnya pada pemilu 2019, Partai Gerindra dan PAN yang mengambil posisi oposisi pada pemerintahan periode 2014-2019, kemudian merapat ke pemerintahan dan mendapat jatah dua Menteri untuk Gerindra (Menteri Pertahanan Prabowo Subianto serta Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ) dan satu Menteri untuk PAN (Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan) (https://nasional.kompas.com, 2019).
Budaya politik dan sistem politik semacam ini kemudian menegaskan adagium klasik bahwa di dalam politik tidak ada lawan dan kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan.
Menimbang Koalisi Pragmatis Pasca Pilpres 2024
Sejumlah pengamat menilai tendesi ini dimungkinankan akan terulang lagi pemilu 2024. Dalam konteks saat ini misalnya, dalam koalisi untuk pilpres 2024, meskipun hari ini mereka bersebrangan dan berbeda kubu, namun pasca pilpres partai-partai tersebut bisa masuk menjadi bagian dari pemerintahan. Kemudian Presiden terpilih akan mengonsolidasikan kekuasaannya dengan partai-partai tersebut untuk membentuk pemerintahan dan secara alami akan memperoleh kendali atas mayoritas DPR.
Jika partai politik seperti PKB dan Nasdem misalnya yang saat ini memiliki orientasi politik yang berbeda dengan partai yang mendukung Prabowo Subianto, apabila kemudian Prabowo memenangkan pilpres, partai-partai tersebut bisa saja bergabung dalam kabinet pemerintahan, sementara PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) mungkin saja berada di luar pemerintahan.
Atau sebaliknya jika Ganjar Pranowo memenangkan pilpres, mereka yang awalnya berseberangan bisa saja bergabung dalam pemerintahan. Bahkan ada kemungkinan posisi Presiden Jokowi yang masih menjadi bagian dari PDI-P, bisa saja nanti PDI-P menggandeng partai Gerindra dan partai lain ke dalam pemerintahan.
Sulit memang untuk memprediksi dinamika partai-partai yang sangat beragam orientasi politiknya. Karena mayoritas partai politik di Indonesia cenderung memiliki ideologi dan karakternya yang moderat serta bersifat pragmatis, sehingga perbedaan antara satu partai dengan yang lain hampir tidak terlihat.
Demikian pun hubungan antara partai politik cenderung tidak konsisten dan terus berubah. Hal ini menimbulkan ketidakpastian mengenai siapa yang merupakan lawan atau sekutu politik yang konstan dalam jangka panjang (Wahid Abdulrahman, 2023).
Kendati demikian, sebagaimana adagium klasik di atas, hanyalah kesamaan kepentingan yang dapat mempersatukan partai-partai dalam blok politik.
Kita tentu dapat memprediksi bahwa, dengan watak dan karakter dari partai-partai politik semacam ini maka implikasinya adalah sulitnya kehadiran oposisi yang konsisten dalam mengkritik dan mengawasi pemerintahan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat berdampak negatif pada stabilitas politik dan demokrasi di Indonesia.
Artikel Lainnya
-
127314/09/2021
-
115319/08/2020
-
27031/01/2024
-
Politik Patronase Calon Petahana dalam Pemilu Legislatif
24301/02/2024 -
Antara “Si Putih”, Wanita, dan Lingkungan
149331/01/2021 -
Menjadi Raksasa Energi Terbarukan
50208/12/2022