Catatan Redaksi: Presiden Jokowi, Memihaklah

Admin The Columnist
Catatan Redaksi: Presiden Jokowi, Memihaklah 19/06/2020 1214 view Catatan Redaksi commons.wikimedia.org

Setiap pekan, di hari Jumat, The Columnist menyajikan tulisan dari meja redaksi dengan mengangkat isu publik yang tengah berkembang dan patut diperbincangkan.

Kali ini catatan redaksi ditulis oleh Bung Yuli Isnadi mengangkat isu berkaitan dengan tata kelola pemerintah saat ini. Disampaikan secara ringan, namun membawa pesan penting khususnya bagi para pembaca milenial.

Selamat membaca!

Semakin publik merasa tidak puas terhadap penuntasan kasus penyerangan Novel Baswedan, semakin terjepit posisi politik Pemerintahan Jokowi.

Amat sulit menemukan prestasi pemerintah dalam menyelesaikan kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan. Waktu yang dihabiskan untuk menangkap pelaku amat panjang. Dua tahun lebih. Itupun berliku dan berkelok tak menentu.

Telahpun ditangkap, ada banyak yang ragu kalau mereka memang pelaku sebetulnya. Para saksi menyebutkan bahwa wajah pelaku penyerangan Novel Baswedan dan para tersangka tidaklah sama. Pelaku penyerangan Novel Baswedan bukanlah tersangka yang sedang disidang tersebut.

Belum lagi dalang kejahatan yang sampai saat ini masih gelap. Mustahil bila dua aparat menyerang aparat lainnya, terlebih jika mereka tak punya hubungan langsung apapun.

Proses persidangan juga mengecewakan (untuk tidak mengatakan menggelikan). Terdakwa adalah polisi aktif yang ditangkap oleh polisi, dan polisi pula yang menjadi pembela di persidangan. Bagaimana mungkin penegak hukum membela tersangka yang ditangkapnya sendiri.

Jaksa melengkapinya dengan tuntutan yang cuma 1 tahun saja, lantaran air aki (bukan air keras) #gaksengaja mengenai mata Novel Baswedan. Sebuah tuntutan yang membuat Indonesia tertawa.

Pendeknya, kasus ini menjadi buah bibir rakyat Indonesia. Tokoh dan aktivis hukum dan HAM melontarkan kritik pedas. Efek kritikan itu bertambah besar ketika bertemu dengan kekecewaan khalayak. Drone Emprit, sebagai contoh, mencatat bahwa netizen memperbincangkan Novel Baswedan dalam 44 ribu mention di twitter pada 12 Juni lalu. Lalu sehari setelahnya sebanyak 67 ribu tweet menggunakan kata kunci "gak sengaja". Kemudian pada tanggal 15 Juni sebanyak 234 ribu tweet teridentifikasi terkait kata "emon", merujuk pada Bintang Emon yang mengkritik sidang Novel Baswedan.

Apa yang menjadi penting dari kasus ini, bagi saya pribadi, bukanlah belum tuntasnya kasus penyerangan terhadap aparat negara. Bukan pula Bintang Emon yang suara kritisnya hendak dibungkam. Melainkan bertambah riskannya Pemerintahan Jokowi beberapa tahun ke depan.

Pemerintahan Jokowi tidak dalam sehat bugar sejak mula dilantik tahun 2019 lalu. Sebagian publik merasa pesimis terhadap kemampuan pemerintahan periode ini mengelola negara dengan demokratis.

Pada mula dilantik, rencana pemindahan ibu kota yang terkesan diam-diam menjadi polemik. Seiring dengan itu, bencana asap yang tak terkendali terjadi di Sumatera dan Kalimantan mengecewakan banyak pihak. Pengesahan ruu-ruu kontroversial turut pula membuat rakyat kesal. Semua menjelma menjadi demonstrasi besar #reformasidikorupsi. Mereka tidak puas dengan cara pemerintahan Jokowi mengelola persoalan itu.

Lewat #reformasidikorupsi, pemerintah digugat oleh lintas kalangan. Mulai dari kamu muda, tua, profesional, aktivis, hingga seniman dan artis. Kepercayaan publik terhadap pemerintah menurun.

Belum selesai di sana, Indonesia dihadapkan dengan pandemi Covid-19. Pemerintahan Jokowi kembali diragukan banyak pihak akan mampu menenanggulangi isu ini. Diawalli dengan dagelan para menteri tentang Covid-19, lalu diisi oleh kebijakan amburadul pusat dan daerah, dan disusul oleh kebijakan New Normal yang mengherankan sebagian publik luas.

Di samping dua persoalan utama itu, pemerintah juga terbebani oleh isu BBM dunia yang turun tapi harga jual di Indonesia tak berubah, dua stafsus Presiden yang berulah, buruknya komunikasi pemerintah terkait 'kenaikkan' iuran BPJS, hingga harga setrum PLN yang diam-diam melejit.

Seperti saya katakan tadi, Pemerintah Jokowi saat ini tidak sedang baik-baik saja. Beban politik yang diemban sudah terlalu berat. Namun sialnya pemerintah yang sedang berjuang mengembalikan kepercayaan rakyat itu justru dibebani oleh dagelan kasus Novel Baswedan.

Dalam situasi demikian, respon tepat pemerintah untuk kasus ini sangat menentukan.

Pemerintah harus mampu memenuhi ekspektasi publik. Dan tidak tepat jika Presiden Jokowi lepas tangan, dengan mengatakan tak bisa mengintervensi kasus tersebut.

Pertama, secara politik ekspektasi publik amat tinggi terhadap terpenuhinya rasa keadilan pada kasus ini. Pernyataan presiden secara langsung yang mendukung Novel Baswedan untuk menemukan keadilan sangat berguna dalam memenuhi ekspektasi itu. Dengan demikian publik mengetahui bahwa Presiden Jokowi ada di sisi "kita", bukan "mereka".

Kedua, walaubagaimanapun institusi kepolisian berada di bawah komando Presiden Jokowi. Kekuasaan sebagai presiden dapat digunakan untuk memastikan tidak adanya kepentingan orang-perorang yang menyusup di proses peradilan. Jadi bukan mengintervensi proses peradilannya, melainkan memastikan jajarannya tak ditunggangi kepentingan pihak tertentu. Dan ada banyak lagi yang bisa dilakukan Presiden Jokowi dalam mendukung penuntasan kasus Novel Baswedan dengan adil.

Apa dan bagaimanapun itu, Pemerintah Jokowi hendaknya berupaya seiring dan sejalan dengan ekspektasi rakyat. Ini harus dilakukan karena ongkos politik yang harus Presiden Jokowi amat besar jika mengabaikan harapan publik.

Entah kepentingan siapa yang menyusup ke dalam kasus Novel Baswedan, namun Presiden Jokowi yang harus membayarnya. Sebuah transaksi yang sangat tak menguntungkan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya