Pembangunan Yang Tak Membebaskan

Mahasiswa
Pembangunan Yang Tak Membebaskan 12/09/2019 2827 view Ekonomi Pixabay.com

"Opo salah tanduranku. Iso leren po ora (apa salah tanamanku. Bisa berhenti tidak)” sebuah gugatan Yu Wagirah, seorang petani Kulonprogo yang mengiba bersimpuh di depan mesin excavator yang hendak menghancurkan rumah dan lahan pertaniannya. Di tempat lain, petani bertaruh nyawa nekat memanjat pohon kelapa. Sementara disaat yang sama buldoser kiriman pemerintah tengah merobohkan satu persatu pohon kelapa di perkebunannya.

Cerita pilu masih berlanjut. Petani cabe berguling-guling dan memeluk pohon-pohon cabenya yang telah siap panen. Sambil gemetar memekikkan takbir berharap memperoleh keadilan dari langit karena telah putus harapan dari keadilan yang ditawarkan manusia-manusia berseragam dihadapannya.

Atas nama pembangunan, tanah sumber penghidupan dan tempat dimana mereka hidup diambil paksa melalui tindakan represif oleh institusi yang seharusnya menjamin keberlangsungan kehidupan ekonomi dan melindungi keamanan mereka.

Petani-petani ini adalah mereka yang dikorbankan atas nama pembangunan New Yogyakarta International Airport. Cerita ini masih lekat diingatan. Setahun lalu, sebelum akhirnya bandara tersebut diresmikan pertengahan tahun ini.

Bagi sebagian orang, cerita nonfiksi di atas sangat memilukan. Namun barangkali bagi sebagian yang lain, ada anggapan yang berbeda. Melihat para petani tersebut sebagai duri pembangunan, orang tradisional yang menentang kemajuan dan modernitas.

Mengapa ada anggapan demikian? Tidak lain, karena sadar atau tidak, kita telah menjadi salah kaprah dalam memahami pembangunan.

Amartya Sen dalam tesis nya "Development as Freedom" memberi arti pembangunan sebagai proses memperluas kebebasan (freedom) riil yang dinikmati individu dan memperkecil penderitaan (unfreedom) seperti kelaparan, kemiskinan, rasa takut yang menyebabkan kemerdekaan itu sulit dirasakan. Titik tekannya adalah manusia sebagai obyek esensial.

Untuk mewujudkan itu, menurut Sen, negara mestinya menciptakan institusi yang menjamin sustainability dan security bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonominya, terbebas dari tindakan represif, dapat berpartisipasi dalam perumusan kebijakan yang berkaitan dengan hajatnya, tidak lain karena adanya pemerintahan yang transparan, serta memiliki akses pada berbagai fasilitas sosial seperti sarana kesehatan yang dapat menghapus deritanya, dalam situasi yang aman dan damai.

Dari sini jelas bahwa pembangunan yang membebaskan adalah pembangunan yang berorientasi pada terjaminnya pemenuhan kebutuhan dasar manusia, menghapuskan penderitaan dan terjamin keberlanjutannya.

Realitasnya, pembangunan pemerintah saat ini lebih banyak berorientasi pada infrastruktur yang direpresentasikan melalui phenomena fisik dalam bentuk jalan tol, bandara, reklamasi, termasuk berbagai perijinan pendirian permukiman eksklusif.

Masyarakat jamak pun memiliki anggapan yang serupa, bahwa pembangunan ada manakala pemerintah telah menghadirkan berbagai mega proyek infrastruktur tersebut.

Hal ini tidak terlepas dari dianutnya indikator keberhasilan pembangunan ala lembaga international seperti World Bank dan IMF. Kalkulasi yang disandarkan pada angka-angka GDP (Gross Domestic Product) atau GNP (Gross National Product) yang mensyaratkan tingginya konsumsi dan produksi masyarakat serta iklim investasi yang baik. Tak heran kiranya, berbagai proyek infrastruktur terus digenjot dengan tujuan terdongkraknya angka-angka semu itu.

Sialnya, capaian GDP sering kali tak mampu menangkap gambaran riil ekonomi masyarakat bahkan tak jarang mengaburkan realita kesenjangan yang tajam diantara warga negara. Indonesia menjadi salah satu negara yang paling timpang di dunia, dimana 75 persen kekayaan Indonesia hanya dinikmati 10 persen penduduk saja (independent, 2016)

Bagi masyarakat awam; semisal petani di sawah, nelayan di tengah lautan, pedagang di pasar, ibu rumah tangga, dan pelaku riil ekonomi lainnya; pembangunan dimaknai dengan cara sederhana. Sepanjang lahan dapat digarap dan dipanen, bisa melaut dan ikan dapat dijaring, pasokan barang melimpah dan harga stabil, dan dengannya kesejahteraan dapat dirasakan, maka dapat dikatakan mereka tengah menikmati pembangunan.

Infrastruktur adalah sarana menuju pembangunan, bukan pembangunan itu sendiri. Mencari sarana tidak semestinya menghancurkan yang menjadi esensinya. Infrastruktur menjadi bagian dari pembangunan selama kehadirannya memperluas kebebasan (freedom) rakyat. Namun sebaliknya infrastrukur dapat menjadi petaka jika keberadaannya mendatangkan derita baru (unfreedom) bagi warga negaranya.

Sayang, realita hari ini menguatkan asumsi premis terakhir tersebut. Banyak pembangunan infrastruktur dengan alasan mengejar pertumbuhan ekonomi makro, telah mencerabut masyarakat dari tanahnya, lautnya, atau sumber penghidupan rakyat di akar rumput.

Sudah saatnya masyarakat diberi kebebasan untuk menentukan jalan kesejahteraannya sendiri sesuai dengan kearifan lokal yang telah dianutnya. Sudah saatnya pula dengan bijak, kita luruskan kesalahkaprahan kita dalam memaknai hakikat pembangunan. Begitu pula negara, sudah saatnya tak mendominasi wacana tunggal pembangunan yang hanya menitikberatkan pada infrastruktur, investasi, dan bilangan GDP/ GNP sehingga menggadaikan kebebasan riil yang telah dirasakan oleh rakyat.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya