Hijab, Identitas, dan Nasionalisme: Paskibraka di Persimpangan Kebijakan

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik & HAM, Aktivis Amnesty International Indonesia
Hijab, Identitas, dan Nasionalisme: Paskibraka di Persimpangan Kebijakan 16/08/2024 1143 view Politik Medcom.id

Polemik tentang pelepasan hijab yang dikenakan oleh 18 petugas Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) Nasional 2024 putri saat pengukuhan di Ibu Kota Nusantara (IKN) benar-benar menggugah pikiran saya. Bukan hanya sebagai warga negara yang peduli dengan identitas dan kebebasan beragama, tetapi juga sebagai seseorang yang mencoba memahami bagaimana nasionalisme diartikan dalam konteks keberagaman Indonesia.

Dalam pandangan saya, identitas pribadi adalah sesuatu yang sangat berharga. Hijab, bagi banyak perempuan muslim, bukan sekadar penutup kepala. Ia adalah simbol keyakinan, komitmen, dan identitas yang telah terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Ketika BPIP meminta para anggota Paskibraka melepas hijab dengan alasan "keseragaman," saya merasa ada sesuatu yang perlu dikritisi.

Keseragaman, pada dasarnya, memang penting dalam membangun kohesi nasional. Tetapi apakah keseragaman berarti menghapus identitas personal? Saya teringat kata-kata John Stuart Mill dalam bukunya "On Liberty" yang menyebutkan bahwa "Keanekaragaman dalam cara hidup adalah bagian integral dari kebebasan individu." Pandangan ini mengingatkan kita bahwa kebebasan individu, termasuk dalam berpakaian, adalah sesuatu yang tidak boleh dikompromikan hanya demi kepentingan keseragaman yang superfisial.

Saya mulai bertanya-tanya, apakah kebijakan BPIP ini benar-benar tentang nasionalisme, ataukah lebih kepada upaya untuk memaksakan definisi tunggal tentang bagaimana seorang "nasionalis" seharusnya tampil? Sebagai bangsa yang majemuk, kita tentu memahami bahwa nasionalisme bukanlah tentang homogenitas. Justru, kekuatan Indonesia terletak pada kemampuannya merangkul perbedaan—bahasa, budaya, agama, bahkan cara berpakaian—sebagai bagian dari identitas nasional yang kaya.

Saya tidak bisa membayangkan betapa sulitnya bagi para perempuan ini untuk memilih antara keyakinan pribadi dan kewajiban nasional. Pilihan untuk melepas hijab, meski dilakukan di bawah tekanan "keseragaman," adalah cerminan dari kompleksitas hubungan antara identitas pribadi dan tuntutan negara. Saya membayangkan diri saya dalam posisi mereka, dihadapkan pada dilema yang tidak hanya menyangkut penampilan, tetapi juga prinsip hidup. Apakah kita adil memaksakan keseragaman dengan mengorbankan kebebasan beragama?

Kebijakan BPIP yang menekankan keseragaman tanpa mempertimbangkan keragaman ini, menurut saya, terlalu dipaksakan. Nasionalisme tidak semestinya diukur dari seragam yang kita kenakan, tetapi dari bagaimana kita mencintai, menghormati, dan melindungi sesama warga negara, terlepas dari perbedaan yang ada. Saya yakin, tidak ada seorang pun yang meragukan nasionalisme para perempuan Paskibraka ini hanya karena mereka memilih untuk mengenakan hijab.

Di tengah kemajuan zaman, kebijakan seperti ini tampak sebagai langkah mundur. Indonesia seharusnya menjadi contoh bagaimana sebuah negara bisa merangkul keberagaman tanpa mengorbankan identitas personal warganya. Saya pikir, ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk merefleksikan kembali apa arti nasionalisme yang sesungguhnya. Nasionalisme yang tidak meminggirkan, tetapi merangkul; yang tidak memaksakan, tetapi mengakomodasi; yang tidak hanya melihat dari segi penampilan, tetapi juga menghargai keyakinan.

Dalam perspektif hak asasi manusia, kebebasan beragama adalah salah satu pilar yang harus dijaga. Indonesia, sebagai negara yang menjunjung tinggi Pancasila, memiliki kewajiban moral untuk melindungi hak-hak ini, bukan justru mereduksinya atas nama keseragaman. Dalam konteks ini, saya teringat ucapan Nelson Mandela yang mengatakan bahwa “Untuk bebas tidak hanya membuang rantai seseorang, tetapi hidup dengan cara yang menghargai dan meningkatkan kebebasan orang lain.” Pandangan ini relevan untuk diingat ketika kita membicarakan tentang kebebasan beragama dan nasionalisme di Indonesia.

Mungkin, sudah saatnya kita berpikir ulang tentang bagaimana kebijakan seperti ini diterapkan. Alih-alih memaksakan keseragaman, mungkin lebih baik jika kita merayakan keragaman yang ada.

Saya berharap bahwa ke depan, kebijakan-kebijakan yang diterapkan tidak hanya melihat keseragaman sebagai tujuan akhir, tetapi juga mempertimbangkan bagaimana kebijakan tersebut berdampak pada kebebasan dan identitas individu. Nasionalisme yang kuat adalah nasionalisme yang mampu mengakomodasi perbedaan, bukan yang menekannya. Dengan demikian, kita bisa membangun Indonesia yang benar-benar merdeka—merdeka dalam arti setiap warganya bebas untuk menjadi diri mereka sendiri, tanpa rasa takut atau tekanan.

Inilah esensi dari Pancasila yang saya yakini: sebuah panduan moral yang mengajarkan kita untuk merangkul perbedaan, menghormati kebebasan, dan membangun persatuan yang kuat melalui keberagaman. Panduan ini seharusnya menjadi dasar dalam setiap kebijakan yang kita ambil, termasuk dalam hal-hal yang tampak sederhana seperti pemakaian hijab dalam Paskibraka. Hanya dengan menghargai identitas dan kebebasan individu, kita bisa mencapai nasionalisme yang sejati dan bertahan lama. Selain itu, ini bisa menjadi panduan kita dalam mengambil kebijakan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya