Catatan Redaksi: Ketika Para Elite Berdangdut Koplo

Admin The Columnist
Catatan Redaksi: Ketika Para Elite Berdangdut Koplo 22/11/2020 1636 view Catatan Redaksi Yuli Isnadi

Setiap pekan The Columnist menyajikan tulisan dari meja redaksi dengan mengangkat isu publik yang tengah berkembang dan patut diperbincangkan.

Kali ini catatan redaksi ditulis oleh Bung Yuli Isnadi, pengamat Internet Politics dan Ekonomi Politik Pembangunan, membahas mengenai kegaduhan politik akhir-akhir ini melalui analogi Dagdut Koplo. Disampaikan secara ringan, namun membawa pesan penting khususnya bagi para milenial.

Selamat membaca !

Sebagian elite politik Indonesia itu tak ubahnya seperti beberapa penonton konser Dangdut Koplo. Mabuk, saling baku hantam berebut biduanita.

Dulu sekali pas jaman mahasiswa akhir, sekitar tahun 2008, saya pernah ke konser Dangdut Koplo.

"Si anu itu hampir tiap malam ke sana", ucap teman saya. Ia bercerita tentang teman kami yang lain yang kerap bertandang ke konser dangdut.
 
"Lha, kok gitu?", heran saya.

Lawan bicara saya itu bilang, teman kami tersebut mau lihat goyangan biduanitanya. Goyangan, serr..  

"Tapi kamu jangan ke sana, gak cocok. Orang kayak kamu kok ke sana", katanya kepada saya. Barangkali karena citra saya waktu itu. Anak musholla (meski gak sepenuhnya benar) manalah cocok berdangdut koplo.

Tapi karena penasaran, saya tetap pergi ke sana. Sendirian saja. Sekedar ingin tahu tempat yang membuat saya dinilai gak pas datang ke sana.
 
Dan benar adanya. Suasana yang saya temui memang lain dari pada yang lain. Begitu melewati pintu karcis, aroma miras yang menyengat hidung segera menyambut. 

Malam masih sore, tapi penonton setengah mabuk sudah berserakan. Berbaur dengan PSK setengah baya yang menunggu pelanggan di warung remang. Sebagian yang lain berjoget setengah mabuk di bawah bayang-bayang goyangan erotis biduanita.

Saya bersyukur malam itu tak ada yang baku hantam. Karena sisi buruk konser semacam ini biasanya ada dua. Kalau tidak mabuk, ya berkelahi. Atau bisa dua-duanya. Mabuk sekaligus tawur gara-gara rebutan biduanita. Coba cek saja di medsos, ada banyak video yang bercerita tentang ini.
 
Dan entah mengapa pengalaman perdangdut-koploan ini berputar-putar di kepala saya beberapa hari terakhir. Melihat sebagian perilaku elite di negeri ini, saya berkata dalam hati, “… kok ya mirip-mirip segelintir penonton di konser Dangdut Koplo yaa…?”. Maksud saya, semacam ada kegilaan yang sama. 

Seolah ada konser Dangdut Koplo Politik. Tentu saja konser ini menampilkan biduanita yang aduhai, mampu menaikkan birahi siapapun. Nama biduanita itu: kekuasaan. Penonton manapun berani bertaruh nyawa untuk bisa berjoget dengannya. 

Penonton konser politik ini rata-rata sudah dalam kondisi mabuk. Iya mabuk agama, iya jabatan, pujian atau mabuk sayang anak-menantu. 

Lalu berjogetlah mereka, sesama penonton konser yang sudah mabuk itu. Tentu saja semua berusaha untuk bisa berjoget dengan biduanita. Lantas bersenggolanlah mereka. Dan terjadilah tawuran yang tak karu-karuan.

Dan namanya orang mabuk, dipenuhi birahi pula, pastinya banyak hal yang tak masuk akal. Itulah yang terjadi dengan sebagian para elite penonton konser Dangdut Koplo Politik tersebut.

Misalnya, di tengah pandemi yang terus mengganas, kepulangan seorang tokoh disambut ribuan orang tanpa memperhatikan protokol kesehatan. Seolah ada keyakinan, Tuhan tak akan berani menyuruh Covid-19 menulari orang-orang yang memuliakan pengikut tokoh mereka.

Dirangsang oleh birahi politik, maka elite lain yang merasa tersenggol membalas. Bagi mereka, kerumunan penyambutan tokoh itu salah. Sedangkan kerumunan yang sama saat pilkada tidak apa-apa. Mengapa begitu? Ya karena kerumunan pilkada itu sudah dilindungi undang-undang, katanya. Jadi bagi mereka, Covid-19 itu taat hukum. Virus ini bisa membedakan mana-mana kerumunan yang dilindungi UU dan mana yang tidak. 

Baku hantampun memanas. Perkelahian antar penonton mabuk tak hanya antara satu dua orang, tapi melibatkan massa masing-masing pihak. 

Maka seorang Gubernur dipanggil Polda. Ia diinterogasi selama berjam-jam. Sebuah laku yang dicemooh sejumlah pengamat. Karena seharusnya yang ada itu justru Polda yang harus sowan ke Gubernur. Bukan sebaliknya, Gubernur yang diinterogasi Polda.

Kemudian lagi, seorang menteri ikutan mengancam akan mencopot Gubernur dengan hanya menjentikan jarinya di atas surat Intruksi Menteri. Yang secara tidak langsung melecehkan rakyat yang telah memilih Gubernur tersebut secara langsung di Pilkada.

Yang lebih menggelikan itu, satuan tempur diturunkan untuk mencopot baliho. Pasukan khusus gabungan darat, laut dan udara dilepas untuk sekedar menakut-nakuti masyarakat sipil.  Sulit dibayangkan bagaimana perasaan seorang prajurit terlatih untuk medan tempur yang ganas harus menerima misi demikian.

Itu baru di dunia nyata. Baku hantam di dunia ghaib juga luar biasa melawan akal sehatnya. Ambil contoh di Twitter. Tagar bulliying tak bernalar berserakan menyerang siapa saja. 

Sampai hari ini, #dudungbaliho jadi trending nasional. Isinya mencemooh dan mem-bully Mayor Jenderal Dudung Abdurrachman yang tanpa sengaja tersilap lidah mengutip ayat Al-Qur’an. Ia diserang membabi buta lantaran dianggap sebagai musuh oleh kelompok lainnya.

Di sisi lain, #nikitaforpresident juga ikut menjadi trending beberapa hari lalu. Isinya juga kurang lebih sama, mendukung Nikita Mirzani mengatai tokoh kelompok lainnya sebagai tukang obat. 

Di platform medsos lainnya juga kurang lebih sama. Saling serang. Baku hantam.

Demikianlah sebagian elite politik di negeri ini. Gila sudah. Mirip-mirip segelintir penonton Dangdut Koplo. Datang konser dengan setengah mabuk. Lalu bersenggolan, menggila dan baku hantam. Tak karu-karuan.

Entah sampai kapan baku hantam sebagian elite politik ini akan berakhir. Karena sampai tulisan ini dibuat, gelagat baku hantam masih terus berlanjut. 

Biasanya kalau di konser Dangdut Koplo benaran, baku hantam antar penonton mabuk akan berhenti kalau biduanitanya berhenti bernyanyi. Mau baku hantam bagaimana kalau yang diperebutkan sudah tidak ada.

Atau perkelahian di luar nalar ini berhenti bila aparat hadir melerai. Syaratnya tentulah aparat itu harus netral. Bukan kontestan baku hantam memperebutkan biduanita. 

Tapi terlepas dari bagaimana dan kapan ini akan berakhir, yang jelas mereka-mereka ini untuk sementara tidak bisa memikirkan nasib kita. Lha mereka saja sedang teler. Dan baku hantamnya saja juga demi berjoget dengan biduanita yang bahenol. 

Jadi… ya itu sudah. Yang biasa berdoa, ya silahkan berdoa supaya ini berakhir. Tapi harap maklum. Doa-doa itu tidak akan terkabul cepat. Karena Tuhan sebetulnya juga sedang pusing mengurusi elite politik yang sedang teler dan baku hantam memperebutkan biduanita.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya