Bukuku Sayang, Bukuku Malang
Indonesia dalam berbagai survei tentang minat baca sungguh memprihatinkan karena selalu menempati posisi buntut. Sebagaimana hasil yang dirilis Program for International Students Assessment tahun 2018, skor kemampuan membaca siswa Indonesia adalah 371 dari skor rata-rata 487. Skor yang jauh berada di bawah rata-rata ini menempatkan Indonesia pada urutan ke 72 dari 78 negara yang di survei.
Sebelumnya, pada tahun 2012, UNESCO melaporkan bahwa kemampuan membaca anak-anak Eropa dalam setahun rata-rata menghabiskan 25 buku, sedangkan Indonesia mencapai titik terendah: 0 persen. Tepatnya 0,001 persen. Artinya, dari seribu anak Indonesia, hanya satu yang mampu menghabiskan 1 buku dalam setahun (kompas.com.7/2/2017). Hal ini menunjukkan bahwa literasi baca tulis masyarakat Indonesia memang memprihatinkan.
Ketika hasil survei dipaparkan, muncul pertanyaan tentang penyebab rendahnya budaya membaca bangsa. Perdebatan tentangnya selalu menarik semua pihak.
Semua pihak menyatakan keprihatinan dan urun rembuk mencari sumber kemalasan bangsa dalam membaca. Sayangnya, perdebatan tersebut hanya sebatas retorika tanpa disertai solusi konkret.
Ya, setelah mengetahui faktor penyebab rendahnya budaya membaca, tidak ada gerakan untuk mendongkrak semangat membaca.
Umum disepakati bahwa penyebab rendahnya budaya membaca masyarakat Indonesia karena tidak adanya minat membaca dan tidak tersedianya buku bacaan.
Dalam pengalaman menggerakkan literasi di sekolah tempat saya mengajar, kedua fakor ini memang sungguh dialami. Anak-anak memang malas membaca, tetapi ketika diberikan buku bacaan, mereka sangat antusias dan semangat membaca.
Di sini saya menyimpulkan bahwa buku sangat mempengaruhi tinggi rendahnya minat membaca seseorang. Artinya ketersediaan bahan bacaan berupa buku merupakan faktor penting dalam upaya membangun budaya membaca masyarakat. Ketersediaan buku bacaan adalah conditio sine qua non, sebuah prasyarat mutlak dalam menghidupkan budaya membaca.
Ya, buku. Kata ini sudah tidak asing lagi bagi kita. Dan umum diketahui sebagai benda berupa kertas-kertas berisi pengetahuan tertulis.
Kamus Bahasa Indonesia mendefinisikan buku sebagai lembaran kertas yang berjilid, berisi tulisan atau kosong; kitab. Dalam UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan dijelaskan bahwa buku adalah karya tulis dan/atau karya gambar yang diterbitkan berupa cetakan berjilid atau berupa publikasi elektronik yang diterbitkan secara tidak berkala (pasal 1 ayat 2).
Wikipedia mengartikan buku adalah kumpulan kertas atau bahan lainnya yang dijilid menjadi satu pada salah satu ujungnya dan berisi tulisan, gambar atau tempelan. Setiap sisi dari sebuah lembaran kertas pada buku disebut sebuah halaman. Seiring dengan perkembangan dalam bidang informatika, kini dikenal pula istilah e-book atau buku-e (buku elektronik) yang mengandalkan perangkat seperti komputer meja, komputer jinjing, komputer tablet, telepon seluler dan lainnya serta menggunakan perangkat lunak tertentu untuk membacanya.
Menurut Magdalena Sukartono (2001:113-116), buku setidaknya memiliki empat fungsi berikut, pertama, sebagai media atau perantara. Maksudnya buku dapat mendorong orang melakukan sesuatu. Buku dapat mengajak, mendorong, mengarahkan, dan memberi pandangan serta penilaian terhadap suatu hal.
Kedua, buku sebagai properti, dimana buku merupakan kekayaan yang sangat berharga, yang tidak ternilai, karena merupakan sumber pengetahuan.
Ketiga, buku sebagai pencipta suasana, dimana buku dapat menjadi teman kita dalam situasi apa pun, dan suasana akrab yang tercipta dapat mempengaruhi perkembangan dan karakter seseorang menjadi baik.
Keempat, buku sebagai sumber untuk memperkaya diri karena membaca memberi kita informasi yang bisa diolah menjadi pengetahuan yang menjadi dasar untuk dinamisasi kehidupan, memperlihatkan eksistensi, berjuang mempertahankan hidup, dan mengembangkannya dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kebutuhan hidup manusia.
Memiliki buku adalah kewajiban. Mengoleksi buku adalah suatu keharusan. Dengan menambah jumlah buku berarti kita memperluas cakrawala pengetahuan. Buku harus menjadi teman bagi setiap kita. Sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “Aku rela dipenjara, asal dengan buku. Karena bersama buku aku bebas.”
Namun perlu diingat bahwa tujuan utama mengoleksi buku adalah untuk dibaca bukan untuk dipamerkan demi menaikkan gengsi intelektual dan status sosial.
Jaya Suprana (2001:48) mewanti hal demikian dengan menulis, “Kadang-kadang buku memang terlalu dikultuskan menjadi semacam berhala. Padahal buku sama sekali bukan suatu benda tujuan akhir, melainkan sekedar suatu media demi menunaikan fungsi yang lebih utama, yaitu menyampaikan informasi bagi para pembaca.”
Pembicaraan tentang buku selalu menarik dan tidak akan pernah habis dibahas. Menarik karena buku sangat bermanfaat bagi manusia.
Selain itu dunia perbukuan di tanah air juga menghadapi persoalan yang tidak tuntas diulas. Setidaknya ada dua problem terkait dunia perbukuan tanah air. Pertama, jumlah penerbitan buku di Indonesia masih kurang. Percetakan buku tidak terlalu menggembirakan. Jumlah terbitan buku di Indonesia tergolong rendah, tidak sampai 18.000 judul buku per tahun. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Jepang yang mencapai 40.000 judul buku per tahun, India 60.000, dan China sekitar 140.000 judul buku per tahun.
Berdasarkan buku Industri Perbukuan Indonesia dalam Angka dan Fakta 2015 yang diterbitkan Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia), Indonesia memiliki sekitar 1.328 penerbit buku anggota Ikapi dan sekitar 109 penerbit non-Ikapi.
Dari seribuan lebih penerbit, hanya sekitar 711 penerbit yang aktif dalam memproduksi buku baru. Kategori penerbit aktif adalah penerbit yang secara rutin menerbitkan sekurangnya 10 judul buku dalam satu tahun.
Dari jumlah penerbit tersebut, 80 persen penerbit aktif menerbitkan 10-50 judul buku setiap tahunnya, 17 persen lainnya menerbitkan 50-200 judul buku per tahun. Hanya sekitar 3 persen penerbit mampu menerbitkan lebih dari 200 judul buku per tahun. Rata-rata oplah buku sekitar 3.000 eksemplar per judul.
Kedua, pembajakan buku. Penjualan buku-buku bajakan di tanah air semakin marak akhir-akhir ini. Di pasar-pasar buku begitu mudah ditemukan buku-buku bajakan. Buku bajakan tersebut tidak lagi dipasarkan secara gelap tetapi dijual secara terang-terangan.
UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menjelaskan bahwa pembajakan adalah Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi (pasal 1 ayat 23).
Pembajakan terhadap sebuah karya buku adalah tindakan kriminal. Karena secara tidak langsung membunuh penulis yang hidup dari “keringat” menulis.
Selain itu membajak karya orang adalah pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual. Tindakan ini bisa dipidana sesuai UU Hak Cipta pasal 113 ayat 4, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).”
Aksi pembajakan buku yang meresahkan harus dihentikan. Upaya menghentikan pembajakan yang kian marak harus terus digalakkan. Pembajakan yang semakin liar ini terjadi karena kurang tegasnya penegakan hukum terhadap pelaku pembajakan. Aturan hukum sudah ada, karena aparat penegak hukum harus terus didorong untuk berani dan tegas menindak para pelaku.
Selain penindakan terhadap pelaku pembajakan, perlu dilakukan edukasi terhadap distributor dan konsumen buku. Para penjual harus diberi pemahaman untuk tidak memperdagangkan buku-buku bajakan. Tindakan ini masuk kategori pidana. Bila penjual dan pembajak buku merupakan satu lingkaran kejahatan, maka pembeli adalah benteng terakhir menangkal tindakan kejahatan tersebut.
Pengalaman saya dalam mengoleksi buku, ketika di Malang saya selalu mencari buku di pasar loak. Tetapi buku yang saya beli adalah buku asli walau buku tersebut bekas pakai.
Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, saya kadang kecolongan ketika membeli melalui online. Para penjual yang “kurang ajar” tersebut langsung saya blacklist. Pesan saya: jangan membeli buku-buku bajakan.
Referensi:
Sukartono, Magdalena. 2001. Buku sebagai Sarana Pengembangan Kualitas Sumber Daya Manusia dalam Buku Membangun Kualitas Bangsa Bunga Rampai sekitar Perbukuan di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Suprana, Jaya. 2001. Buku: Sebuah Kontemplasi dalam Buku Membangun Kualitas Bangsa Bunga Rampai sekitar Perbukuan di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Kamus Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa.
UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan
UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
https://edukasi.kompas.com/read/2012/06/25/08121853/Jumlah.Terbitan.Buku.di.Indonesia.Rendah.
https://edukasi.kompas.com/read/2019/12/07/09141971/daftar-lengkap-skor-pisa-2018-kemampuan-baca-berapa-skor-indonesia
https://kumparan.com/kumparannews/industri-buku-di-indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/Buku
Artikel Lainnya
-
116322/11/2023
-
375915/07/2020
-
24129/08/2024
-
Kebebasan Akademik dan Dosa Dosen yang Tak Menelusuri Kebenaran
72611/05/2025 -
Kurikulum Merdeka, Memerdekakan Semua?
249120/02/2022 -
Interupsi Iman Setelah Wabah Covid-19
1560115/04/2020
