Budaya Seksualitas Digital dan Kudeta Diri

Asesor SDM Aparatur Ditjen Pendidikan Islam Kemenag
Budaya Seksualitas Digital dan Kudeta Diri 25/11/2025 120 view Budaya detiknews.com

Manusia modern kerap mendefiniskan diri sebagai individu dengan kebebasan penuh untuk menentukan hasrat dan keinginan. Namun demikian, hal demikian tidak berlaku pada beberapa ranah, misalnya seksualitas. Seksualitas berada di bawah kuasa modernitas yang tidak lagi hanya beroperasi melalui institusi negara tradisional, melainkan melalui mekanisme halus yang membentuk perilaku individu dan entitas (baca netizen) secara sukarela, sering kali di bawah norma kebebasan dan efisiensi.

Dalam era digital, ini berarti algoritma, platform, dan data menjadi alat utama untuk mengatur perilaku (conduct of conduct), di mana pengguna tidak dipaksa dalam arti sesunguhnya, tapi justru diajak untuk mengatur diri sendiri melalui interaksi sehari-hari dengan teknologi. Paradoksnya menjadi jelas, bahwa apa yang tampak sebagai pembebasan, seperti akses bebas ke informasi atau personalisasi konten, justru memperkuat tekanan dan normalisasi yang tak terlihat yang mengikat dan membatasi.

Di era di mana kecerdasan buatan (AI) telah meresap ke setiap sudut kehidupan, seksualitas manusia yang selama ini menjadi ranah paling intim dan misterius kini menghadapi transformasi radikal. Dari chatbot yang menjawab pertanyaan tentang kesehatan seksual hingga deepfake pornografi yang memanipulasi citra tanpa persetujuan, AI tidak hanya memperluas akses terhadap hasrat, tetapi juga mengubah fondasi bagaimana kita memahami, mengalami, dan mengontrol dorongan seksual.

Alat Pembebasan

Sebuah tinjauan literatur lima tahun terbaru (2020–2024) yang diterbitkan di Current Sexual Health Reports menganalisis 88 publikasi ilmiah dan menemukan bahwa AI digunakan dalam empat bidang utama, yakni pencarian informasi seksual, terapi hubungan, interaksi romantis dengan AI, serta produksi konten erotis.

Temuan ini mengonfirmasi potensi AI sebagai alat pembebasan, sekaligus pemicu ketergantungan emosional dan pelanggaran etis. Namun, di balik kemajuan teknologi ini, muncul pertanyaan mendalam, yakni apakah AI benar-benar membebaskan libido manusia, atau justru memperkuat mekanisme pengawasan dan represi yang pernah dikritik oleh pemikir seperti Michel Foucault dan Sigmund Freud?

Pertanyaan itu relevan, terutama karena manusia modern sesungguhnya tidak memiliki kebebasan yang diharapkan mereka justru di saat penguasaan dan kemerdekaan penggunaan akses ke ranah digital diraih. Di ranah seksualitas digital manusia tunduk pada kuasa algoritma.

Bentuknya pun jelas meski tidak terbuka. Masing-masing dari kita bisa jadi memiliki akses ke budaya seksualitas digital dalam rupa-rupa bentuknya yang sekarang begitu mudah didapat di ujung jari melalui layar gawai. Kita mengaksesnya dengan dalih kebebasan diri dan kuasa sepenuhnya terhadap peralatan yang memungkinkannya.

Meski peralatan dan perangkatnya, sebutlah beragam media sosial terkini, adalah hal baru sebagai bentuk keunggulan peradaban, perangai yang mendasari bukan merupakan hal baru.

Sekitar empat dekade lalu, Michel Foucault, pemikir kondang Prancis, memberikan kuliahnya di Collège de France dengan judul Sécurité, Territoire, Population. Kelak kemudian hari, materi kuliah ini menjadi perbincangan luas dan memiliki pengaruh kuat hingga kini. Sebelumnya, dalam the History of Sexuality (1976) ia sudah mewanti-wanti kecenderungan ini.

Di tengah derasnya arus digital yang tak pernah tidur, seksualitas kini bukan lagi wilayah pribadi yang tersembunyi di balik tirai kamar, melainkan komoditas yang beredar bebas di layar gawai. Pornografi berkualitas tinggi tersedia dalam hitungan detik, OnlyFans menjadikan tubuh sebagai mata uang, aplikasi kencan menyederhanakan hasrat menjadi geser kanan, dan deepfake pornografi menawarkan fantasi tanpa batas.

Yang dulunya dianggap tabu kini menjadi konsumsi harian. Yang dulunya direpresi, kini justru diproduksi secara masif. Inilah paradoks yang pernah diungkapkan Michel Foucault bahwa kita mengira kita sedang membebaskan seksualitas, padahal kita sedang terjebak dalam proliferasi diskursus seksualitas yang justru semakin mengikat kita.

Ledakan Seksualitas Digital

Foucault dengan tajam menolak hipotesis represi yang selama ini kita warisi dari tradisi Freudian. Kita sering berpikir bahwa masyarakat Victorian menekan seks, lalu era 1960-an membebaskannya. Foucault berkata sebaliknya. Yang terjadi bukan represi, melainkan ledakan wacana tentang seks dalam ranah medis, psikiatri, pedagogis, dan demografis yang justru menjadikan seks sebagai pusat pengendalian.

Hari ini, algoritma media sosial dan platform pornografi melakukan dengan kecerdasan yang mengeksploitasi ruang privat dan kebebasan manusia dengan tidak melarang, mendorong kita untuk terus berbicara, menonton, mengklik, menggeser, lalu mengulang.

Setiap “like” pada konten vulgar, setiap detik yang kita habiskan di situs dewasa, adalah pengakuan (confession) digital yang direkam, dianalisis, lalu disodorkan lagi dalam bentuk yang lebih personal. Kita diawasi bukan oleh larangan, melainkan oleh ajakan yang tak henti-hentinya. Panoptikon seksualitas dengan efektif kini ada di saku kita, membersamai kita, dan pada akhirnya menjadi dark side kita.

Yang sering luput diungkap adalah sikap Foucault dalam menyikapi berbagai kecenderungan negatif tersebut. Ia justru terkesan asketik saat menawarkan konsep untuk “mengkudeta diri” dari kecenderungan subversif terhadap seksualitas tersebut. Dalam konteks tersebut, ia berbicara tentang teknologi diri (technologies of the self), sebagaimana kuliahnya di Universitas Vermont pada 1982.

Ia menegaskan bahwa di Yunani-Romawi kuno, para filsuf melakukan askesik, yakni latihan keras untuk membentuk diri menjadi subjek yang bebas. Mereka menulis jurnal harian (hupomnemata), bermeditasi, berpuasa, dan menahan hasrat. Mereka melakukan itu bukan karena hasrat itu jahat, tapi agar mereka tidak diperbudak olehnya.

Foucault mengajak kita melakukan hal serupa. Bukan menyangkal seksualitas digital, tapi merebut kembali kekuasaan atasnya. “Kudeta” terhadap diri sendiri dimulai dari langkah kecil yang radikal dengan menyadari bahwa setiap klik adalah pengakuan yang direkam oleh kekuasaan algoritmik. Langkah ini bisa diperkuat dengan penggunaan tools pembatas (Freedom, Cold Turkey, ScreenTime) yang dipakai bukan sebagai alat represi ala Victorian, tapi sebagai latihan asketis modern.

Setelahnya, dari Foucault, kita belajar bahwa ada kalanya menulis jurnal hasrat setiap malam. “Jurnal hasrat” ditulis bukan untuk menyesali, tapi untuk mengenali pola dan merebut kembali narasi diri dari genggaman platform digital.

Jangan lupa, menciptakan “ruang sunyi digital” secara rutin bisa jadi alternatif yang juga positif. Dengan mematikan gawai total selama beberapa jam setiap hari, langkah ini dapat dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap panoptikon seksualitas yang tak pernah tidur.

Di era ketika seks digital begitu murah dan mudah sekaligus, satu-satunya revolusi yang masih mungkin adalah revolusi terhadap diri sendiri. Kudeta itu tidak dilakukan dengan senjata, tapi dengan kesadaran, disiplin, dan keberanian untuk menolak godaan yang terlalu mudah. Dan murah.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya