Benarkah Kedatangan Habib di Nusantara Bagian dari Politik Kolonial ?

Dosen PMI Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi
Benarkah Kedatangan Habib di Nusantara Bagian dari Politik Kolonial ? 17/01/2025 51 view Agama hidayatullah.com

Kedatangan kelompok Habib (keturunan Arab Hadrami) di Nusantara sering kali dipandang dalam konteks sejarah kolonial, dengan sebagian pihak mengaitkannya dengan politik kolonial. Dalam pandangan ini, ada anggapan bahwa kedatangan mereka difasilitasi oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mengendalikan umat Islam, yang saat itu tengah aktif dalam perlawanan terhadap penjajahan.

Sementara beberapa tokoh Habib dianggap berkolaborasi dengan kolonial, sejumlah besar mereka juga terlibat dalam gerakan perlawanan. Hal ini mengundang perdebatan tentang sejauh mana kedatangan mereka didorong oleh faktor politik atau lebih kepada alasan sosial dan agama.

Sebagian pihak menilai kedatangan Habib di Nusantara sebagai bagian dari strategi politik kolonial Belanda untuk mengendalikan masyarakat Islam yang memiliki pengaruh besar dalam perlawanan terhadap penjajah. Sebagai contoh, pada 2 September 1898, Mufti Betawi, Habib Usman bin Yahya, mendoakan Ratu Wilhelmina agar panjang umur dan berharap kerajaan Belanda tetap bersinar terang. Meskipun banyak pihak dari kalangan Habib yang mengkritik pernyataan ini, beberapa berpendapat bahwa kolaborasi tersebut digunakan oleh pemerintah kolonial untuk memecah belah umat Islam dan memanfaatkan tokoh agama untuk mengendalikan masyarakat.

Namun, pandangan ini tidak dapat diterima begitu saja tanpa mempertimbangkan aspek sejarah yang lebih mendalam. Meskipun hidup di bawah kekuasaan kolonial, banyak Habib lebih dikenal karena peran mereka dalam dakwah Islam dan penguatan agama di masyarakat. Sebagian besar dari mereka tidak hanya mengedepankan aspek agama, tetapi juga terlibat dalam perjuangan melawan penjajahan. Salah satu contohnya adalah Habib Abdurahman Zahir, yang terlibat aktif dalam Perang Aceh meskipun sebagian orang menganggapnya sebagai pengkhianat. Penelitian dari Anthony Reid mengungkapkan keterkaitan Habib Abdurahman dengan jaringan Sayid Hadrami, yang turut memberikan dukungan logistik untuk kebutuhan perang Aceh.

Sejarah mencatat, kedatangan Habib di Nusantara pada abad ke-17 hingga awal abad ke-19 tidak bisa dipisahkan dari latar belakang sosial, politik, dan agama mereka. Salah satu faktor utama yang mendorong migrasi mereka adalah kondisi sosial-politik di Hadramaut (Yaman) yang tidak stabil pada masa itu. Kondisi ini mendorong banyak bangsa Hadrami untuk mencari tempat yang lebih aman dan stabil, salah satunya di Nusantara. Berdasarkan karya Berg dalam bukunya Le Hadramout et les Colonies arabes dans l'archipel indien, perdagangan menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi migrasi orang-orang Hadrami ke Nusantara. Selain itu, dibukanya Terusan Suez pada abad ke-19 mempermudah jalur perdagangan dan memberikan akses yang lebih baik ke sumber daya ekonomi penting.

Peneliti lain seperti Abdalla S. Bujra, Sumit Kumar Mandal, dan Huub De Jonge, mengungkapkan bahwa migrasi orang Hadrami, terutama pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dipengaruhi oleh perkembangan jalur perdagangan yang semakin lancar dan akses ke sumber daya yang semakin terbuka. Selain faktor ekonomi, hubungan intelektual orang Hadrami dengan ulama-ulama di wilayah Samudera Hindia juga memperkuat posisi mereka di tengah masyarakat. Dengan penguasaan bahasa dan sastra Arab serta kedudukan mereka sebagai ulama, mereka mendapatkan penghormatan tinggi dari penguasa lokal. Hal ini menjadikan mereka bagian dari komunitas internasional dan mendapat pengakuan atas keulamaan mereka, terutama dalam ranah keagamaan.

Pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan diskriminatif terhadap orang asing, termasuk orang Hadrami. Dalam pandangan kolonial, orang Arab dianggap sebagai ancaman sosial dan politik. Bahkan, Pijnappel merekomendasikan agar aksara Arab Melayu diganti dengan aksara Latin atau Belanda, karena khawatir akan pengaruh ideologi Arab terhadap masyarakat pribumi. Di sisi lain, ulama-ulama di Nusantara turut menggunakan simbol-simbol Arab sebagai bagian dari perlawanan terhadap penjajahan, yang semakin memperburuk stigma negatif terhadap orang Arab, termasuk kelompok Habib. Kebijakan segregasi rasial yang diberlakukan pemerintah kolonial semakin mempersulit integrasi orang Hadrami dengan masyarakat lokal.

Pada saat itu, muncul pula ideologi Pan-Islamisme yang mengkhawatirkan pemerintah kolonial Belanda, yang banyak dibawa oleh imigran Arab. Hal ini menyebabkan pemerintah Belanda memperlakukan orang Arab dengan cara diskriminatif, baik dalam kebijakan sosial maupun dalam kehidupan ekonomi. Dalam konteks ini, kolonialisme menghalangi proses asimilasi orang Hadrami dengan masyarakat lokal, dengan menerapkan kebijakan segregasi yang dikenal dengan nama wijkenstelsel atau sistem pemisahan kampung. Kebijakan ini, menurut Huub de Jonge, memperlambat dan menghalangi proses pembauran orang Arab dengan penduduk lokal.

Meskipun diskriminasi dan segregasi semakin mendalam, kelompok Habib dan orang Hadrami lainnya tidak tinggal diam. Mereka melakukan perlawanan terhadap kebijakan kolonial melalui berbagai cara, seperti membuat publikasi yang mengkritik kebijakan pemerintah, serta mendirikan majalah yang memperjuangkan hak-hak masyarakat Hadrami dan pribumi. Bahkan, mereka meminta bantuan dari kekuatan politik Islam di luar Nusantara, seperti Kekaisaran Ottoman, untuk menghentikan kebijakan segregasi yang merugikan mereka.

Namun, stigma negatif terhadap orang Arab, khususnya Habib, sebagai "pembuat masalah" atau ancaman sosial dan politik, tetap melekat dalam masyarakat. Polarisasi yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh kebijakan kolonial, tetapi juga oleh ketidakpahaman dan ketidakcocokan antara kelompok-kelompok Arab sendiri, seperti perbedaan antara kelompok Sayyid (keturunan Nabi Muhammad) dan Non-Sayyid. Ketegangan internal ini memperburuk posisi mereka dalam masyarakat yang lebih luas, yang sudah dipengaruhi oleh kebijakan kolonial dan stereotip negatif yang berkembang.

Dari perspektif sejarah yang lebih mendalam, kita dapat melihat bahwa kedatangan Habib di Nusantara lebih dipengaruhi oleh faktor sosial dan agama ketimbang semata-mata strategi politik kolonial. Meskipun ada kemungkinan bahwa beberapa tokoh Habib bekerja sama dengan pemerintah kolonial, peran mereka dalam memperkuat dakwah Islam dan melawan penjajahan harus diakui. Bahkan, kontribusi mereka dalam memperjuangkan keadilan sosial dan agama memberikan dampak positif yang jauh lebih besar bagi masyarakat Nusantara.

Sejarah mencatat bahwa kedatangan mereka tidak hanya terkait dengan politik kolonial, tetapi juga dengan upaya dakwah, perdagangan, dan hubungan sosial yang lebih luas. Fakta bahwa banyak dari mereka juga terlibat dalam perlawanan terhadap penjajahan menunjukkan bahwa kedatangan mereka lebih kompleks daripada sekadar pengaruh kolonial.

Akhirnya, perdebatan tentang apakah kedatangan Habib di Nusantara bagian dari politik kolonial tidak dapat dijawab secara sepihak. Kedatangan mereka melibatkan berbagai faktor yang kompleks, baik dari segi politik, agama, maupun sosial. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa kedatangan mereka di Nusantara juga berkontribusi pada pembentukan sejarah yang lebih kaya, yang mencakup peran mereka dalam dakwah Islam, perlawanan terhadap penjajahan, dan kontribusi terhadap pembentukan masyarakat Nusantara yang lebih beragam.

Di sisi lain, warisan politik kolonial yang mempengaruhi hubungan sosial antara kelompok Habib dan masyarakat lokal harus menjadi bahan refleksi bagi generasi sekarang. Menghapuskan stigma negatif dan memperbaiki hubungan antar kelompok yang telah terpolarisasi menjadi tantangan besar dalam menciptakan masyarakat yang lebih harmonis. Upaya untuk menyembuhkan luka sejarah dan memperkuat solidaritas sosial di tengah keragaman adalah langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan damai.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya