Kapan RUU Perampasan Aset Akan Disahkan? Rakyat Perlu Jawaban

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik & HAM, Aktivis Amnesty International Indonesia
Kapan RUU Perampasan Aset Akan Disahkan? Rakyat Perlu Jawaban 30/06/2024 235 view Hukum Regionalnews

Sejak tahun 2008 Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang diusulkan oleh PPATK dimulai dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga memasuki akhir jabatan Presiden Jokowi. RUU Perampasan Aset masih mengendap di DPR tanpa kejelasan, sebuah kebijakan yang seharusnya menjadi senjata ampuh dalam pemberantasan korupsi justru terjebak dalam proses legislasi yang berlarut-larut. Rakyat Indonesia berhak untuk bertanya: Kapan RUU Perampasan Aset ini akan disahkan? Mengapa DPR begitu lamban dalam menyelesaikan tugas ini?

RUU Perampasan Aset dirancang untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi dengan memberikan kewenangan kepada negara untuk merampas aset-aset hasil kejahatan yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya. Dengan RUU ini, pemerintah berharap dapat menutup celah yang sering dimanfaatkan oleh koruptor untuk menyembunyikan kekayaan hasil korupsi. Namun, lebih dari satu dekade berlalu, RUU ini masih saja terkatung-katung di DPR.

Lambannya pengesahan RUU Perampasan Aset ini bukan hanya mengecewakan, tetapi juga merugikan. Korupsi di Indonesia adalah masalah yang sudah sangat mengakar. Data dari Transparency International pada tahun 2023 menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada di skor 34 dari 100, menempatkan negara kita di peringkat 115 dari 180 negara. Angka ini menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi isu serius yang perlu penanganan yang lebih efektif dan komprehensif. Angka ini mencerminkan betapa seriusnya masalah korupsi di negeri ini dan dalam konteks ini, RUU Perampasan Aset sebenarnya bisa menjadi salah satu instrumen penting dalam menekan angka korupsi dengan memastikan bahwa aset-aset hasil kejahatan korupsi dapat disita dan dikembalikan kepada negara.

Mengapa DPR begitu lamban dalam mengesahkan RUU Perampasan Aset? Ada beberapa faktor yang bisa diidentifikasi dari kacamata pribadi saya. Yang pertama, adanya tarik menarik kepentingan di antara anggota DPR. RUU ini menyentuh langsung pada kepentingan banyak pihak, termasuk politisi dan pengusaha yang mungkin terlibat dalam korupsi. Hal ini menimbulkan resistensi dari beberapa kelompok yang merasa terancam.

Kedua, kurangnya komitmen politik dari sebagian besar anggota DPR. Padahal, dalam bukunya "The Price of Inequality," Joseph Stiglitz menekankan bahwa ketidaksetaraan dalam kekuasaan politik sering kali memperburuk ketidaksetaraan ekonomi. Ketika DPR tidak serius dalam mengesahkan kebijakan penting seperti RUU Perampasan Aset, hal ini menunjukkan bahwa ketidaksetaraan politik masih menjadi masalah besar di Indonesia.

Kasus korupsi di Indonesia telah merusak berbagai sektor kehidupan masyarakat. Menurut data dari ICW, pada tahun 2023 terdapat lebih dari 791 kasus korupsi yang ditangani, dengan kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Korupsi menghambat pembangunan, memperburuk kualitas layanan publik, dan menambah beban rakyat miskin. Dengan RUU Perampasan Aset, seharusnya ada harapan bahwa aset-aset hasil korupsi bisa dikembalikan kepada negara dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Namun, tanpa dasar hukum yang kuat, upaya untuk merampas aset-aset koruptor sering kali terhambat. Akibatnya, uang yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun infrastruktur, memperbaiki sistem pendidikan, dan meningkatkan layanan kesehatan, justru tertahan atau hilang di tangan para koruptor.

Mengutip pendapat ahli hukum Richard Posner dalam bukunya "Economic Analysis of Law", ia menyatakan bahwa "Hukum tanpa penegakan hanyalah selembar kertas". Hal ini sangat relevan dengan situasi saat ini. Tanpa adanya Undang-Undang yang tegas dan mekanisme yang jelas untuk menyita aset hasil kejahatan korupsi, maka perjuangan melawan korupsi akan selalu pincang dan tidak maksimal.

Selain itu, kita juga bisa belajar dari negara-negara lain yang telah sukses dalam implementasi undang-undang perampasan aset. Misalnya, di Inggris, Proceeds of Crime Act 2002 telah terbukti efektif dalam menekan angka kejahatan keuangan dan korupsi. Undang-Undang ini memungkinkan pihak berwenang untuk menyita aset yang diduga berasal dari aktivitas kriminal tanpa harus menunggu proses pidana yang panjang. Hal ini dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia untuk merumuskan kebijakan serupa yang sesuai dengan konteks hukum dan sosial di tanah air.

Dalam satu dekade terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berhasil menyelamatkan aset negara senilai triliunan rupiah dari berbagai kasus korupsi. Namun, kerja keras ini tidak akan optimal tanpa dukungan kebijakan yang kuat dari DPR. Data dari KPK menunjukkan bahwa pada tahun 2023 saja, lembaga ini berhasil mengembalikan aset negara senilai lebih dari Rp 525 miliar. Bayangkan berapa banyak lagi aset yang bisa diselamatkan jika RUU Perampasan Aset disahkan dan diimplementasikan dengan baik.

Kita juga perlu mempertimbangkan dampak ekonomi dari ketidakjelasan pengesahan RUU ini. Tanpa mekanisme yang jelas untuk perampasan aset, investor asing mungkin ragu untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Kepercayaan publik terhadap pemerintah juga akan menurun jika tidak ada tindakan nyata dalam memerangi korupsi. Pada akhirnya, yang dirugikan adalah rakyat yang terus menerus merasakan dampak buruk dari korupsi.

Oleh karena itu, sudah saatnya DPR menjawab pertanyaan besar dari masyarakat: Kapan RUU Perampasan Aset akan disahkan? Rakyat Indonesia membutuhkan jawaban yang pasti dan tindakan nyata. Penundaan pengesahan RUU ini hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat akibat korupsi yang merajalela. Sebagai negara yang sedang berjuang menuju pemerintahan yang bersih dan transparan, Indonesia tidak boleh lagi berkompromi dalam hal ini.

Sebagai penutup, mari kita ingat kata-kata dari ahli hukum terkemuka, Robert Klitgaard, yang pernah mengatakan, "Korupsi adalah kejahatan hitungan. Hal ini akan berkembang ketika manfaat yang diharapkan dari korupsi melebihi biaya yang diharapkan." Dengan mengesahkan RUU Perampasan Aset, kita dapat meningkatkan biaya yang harus ditanggung oleh para koruptor dan mengurangi manfaat yang mereka peroleh dari tindakan kriminal mereka.

Sekali lagi, pengesahan RUU Perampasan Aset bukan hanya soal komitmen hukum, tetapi juga soal keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. DPR harus segera bertindak dan memastikan bahwa hukum tidak hanya menjadi hiasan di atas kertas, tetapi benar-benar dapat ditegakkan untuk melindungi hak-hak rakyat dan menyelamatkan aset negara dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya