Bela Negara: Siapa Takut?
Bahasan “bela negara” merupakan bahasan yang sekurang-kurangnya berbau nasionalisme dan patriotisme. “Bela negara” menjadi sebuah ungkapan yang pastinya senantiasa terus dikumandangkan serta dituntut (kewajiban) untuk dihayati dalam keseharian hidup sebagai warga, masyarakat sebuah negara.
Penghayatannya tentu saja mengarah pada sikap dan tindakan yang bersubstansi nasionalisme dan patriotisme itu sendiri. Apalagi kalau sebuah negara itu menghidupi spirit “masyarakat sipil atau masyarakat madani (civil society); yang pastinya tak lupa pula untuk menggandeng semangat bela negara tersebut.
Bangsa Indonesia sendiri dalam perjalanan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegaranya, senantiasa ada pada lajur perjuangan guna menghidupi masyarakat sipil / masyarakat madani (civil society). Perjuangan tersebut tentu ingin menghidupi komunitas politik yang beradab, berkode hukum, dan memiliki kewargaan, sosial budaya; sebagaimana yang dikemukakan oleh Cicero, Sang Orator Yunani Kuno (106-43SM).
Tata-laku hidup masyarakat sipil / masyarakat madani sebagaimana yang diutarakan oleh Cicero tersebut; tentu haruslah tetap mengingat keberadaannya yang hidup di sebuah negara (Indonesia), yang mampu dan telah menciptakan kenyamanan baginya untuk bertata-laku sebagai civil society. Tindak “mengingat” yang dimaksud, dapatlah tampil dengan hadirnya semangat “bela negara” (nasionalisme dan patriotisme) yang pastinya dijalankan secara layak dan pantas. Ibaratnya, seseorang yang telah diberi hadiah kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan; tentu mesti memiliki “rasa balas jasa” kepada orang yang telah menghadirkan kebahagiaan dan kenyamanan baginya itu.
Ihwal “bela negara” di negeri kita Indonesia ini, sesungguhnya telah menjadi sebuah pemahaman yang termaktub sejak masa-masa awal perjuangan, tatkala segenap rakyat Indonesia mengalami penjajahan serta berjibaku merebut kemerdekaan. Pada masa itulah mulai lahir sikap dan tindakan yang bersubstansi nasionalisme dan patriotisme (bela negara). Sehingga semestinya publik Indonesia benar-benar memahami apa dan bagaimana tata-cara menghidupi sekaligus mengkonkretkan bahasan “bela negara”. Karena sudah sejak lama terpatri dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia sendiri.
Beberapa hari terakhir publik Indonesia cukup dihebohkan dengan perdebatan “perlu atau tidak perlu”, diberlakukan pendidikan militer melalui program bela negara dalam jenjang pendidikan. Hal ini berawal dari inisiatif Kementrian Pertahanan yang berencana menggandeng Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk membuka program tersebut.
Sebagai sebuah masyarakat sipil (civil society) daya pertimbangan-kritis (setuju atau tidak setuju) terhadap sebuah pencanangan program bukanlah menjadi sebuah persoalan yang fatal. Hal ini diperlukan untuk membuahkan praktek pelaksanaan program yang sesuai dengan kehendak dan kepentingan bersama. Apalagi secara historis, publik Indonesia secara kognitif telah lama mengalami spirit “bela negara”. Namun, cukup menjadi sebuah soal yang rumit, bila program bela negara yang tengah dicanangkan atau pun yang dihasilkan nantinya, tak sesuai secara kontekstual serta tak sesuai dengan kehendak masyarakat Indonesia (civil society) yang menjadi andil dari kehidupan negara yang demokratis.
Sebagai sebuah masyarakat madani (civil society), tindak bela negara bagi publik Indonesia haruslah menjadi sebuah kewajiban. Menukil ungkapan Pemerhati Pendidikan Ina Liem pada Kompas.com (Jumat, 21/8/2020), bahwa setelah zaman penjajahan, kita sibuk memperjuangkan hak, tetapi kita lupa bahwa kita adalah bagian dari masyarakat, punya tanggung jawab sosial. Pendidikan militer yang mengajarkan kepekaan sosial dan tanggung jawab boleh melengkapi kewajiban yang kosong tersebut.
Ungkapan Ina Liem dapat mendukung diberlakukan program bela negara. Namun, bagi penulis satu hal yang mesti diperhatikan ialah, perlu adanya pertimbangan serta pengkajian secara lebih jauh berkenaan dengan situasi kontekstual dan kehidupan masyarakat Indonesia, yang tentunya sebagai civil society ada pula pada ranah kebebasan berkehendak.
Bahwasannya, pertama, kewajiban publik Indonesia (civil society) untuk turut berpartisipasi dalam pendidikan bela negara bukan merupakan kewajiban yang buta. Kewajiban ini mesti dinaungi pula oleh asas kebebasan untuk bergabung atau tidak (join or not). Sehingga, term-term semisal “wajib militer” semestinya ditiadakan, guna menghilangkan kesan “militerisasi yang memaksa”.
Kedua, program bela negara yang telah dimasukan pada ranah pendidikan haruslah didominasi oleh penanaman kultur nilai-nilai yang membangun, semisal nasionalisme dan patriotisme yang dapat dipecah lagi dengan beragam nilai-nilai kehidupan yang menggantung di balik keduanya. Karena, tindak mendidik berarti menata dan menciptakan pemahaman akan nilai-nilai kehidupan bagi orang-orang yang dididik. Sehingga tujuan pendidikan bela negara bukan hanya sebatas mempersiapkan komponen cadangan (Komcad).
Akhirnya, pendidikan bela negara akan mampu menjadi sebuah program yang kredibilitas di hadapan masyarakat Indonesia, bila terlaksana sesuai dengan situasi kontekstual zaman ini dan harapan kenyamanan hidup masyarakat Indonesia sendiri. Kehadiran pendidikan bela negara haruslah pula mengayomi sekaligus mengangkat kewibawaan publik Indonesia sebagai masyarkat sipil / masyarakat madani (civil society), yang pastinya secara psikis tak mau ditekan oleh kultur militer serta adanya iming-iming perang.
Artikel Lainnya
-
96419/08/2020
-
129528/06/2020
-
159023/09/2019
-
Semi Lockdown dan Perlunya Indonesia Mencontoh Negara Tetangga
99523/03/2020 -
Self Healing: Bukan Sekedar Status Medsos
118016/03/2022 -
Manipulasi Emosi Gegara Media Sosial
188911/12/2020