Pendekatan Militer untuk Siswa Bermasalah: Sebuah Solusi atau Ancaman Hak Anak?

Kenakalan remaja merupakan sebuah permasalahan yang telah menjadi perhatian, khususnya di lingkungan sekolah. Adapun beberapa macam tindakan seperti bolos sekolah, perundungan, tawuran, dan pelanggaran tata tertib kerap kali menjadi sorotan berbagai media dan menimbulkan rasa cemas dan kekhawatiran di tengah masyarakat. Untuk menghadapi situasi masalah ini, pemerintah, sekolah, dan orang tua telah melakukan berbagai macam cara pendekatan untuk menanggulangi masalah ini.
Namun, sebuah pendekatan yang tidak biasa muncul dari Dedi Mulyadi, yang menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, yang memutuskan untuk memasukan siswa bermasalah ke dalam barak militer. Tujuannya agar siswa mendapatkan pelatihan kedisiplinan, pembinaan karakter, dan efek jera. Kebijakan ini tentu saja mengundang reaksi yang beragam dari publik, ada yang mendukung karena dinilai sebagai bentuk ketegasan yang diperlukan, namun tidak sedikit yang mengecam dan dianggap teralu keras serta dapat berdampak buruk terhadap psikolog anak.
Secara pribadi, melihat dan memahami niat baik dari kebijakan ini. Dedi Mulyadi sepertinya berusaha untuk mencari sebuah cara dan solusi terhadap kenakalan remaja yang terus terjadi. Beberapa pihak masyarakat merasa jika cara pembinaan yang ada di sekolah tidak lagi efektif kepada siswa. Maka, pendekatan dengan sistem pelatihan ala milter ini muncul sebagai alternatif demi menanamkan disiplin secara langsung.
Namun, di sisi lain, kita tidak bisa mengabaikan begitu saja bahwa siswa yang dimasukan ke barak militer merupakan anak-anak atau remaja yang dalam masa pertumbuhan emosional dan mental. Pada usia ini, pendekatan secara keras tanpa didampingi psikolog justru dapat memunculkan trauma, ketakutan, atau sikap pembangkangan.
Yang menjadi sebuah masalah bukan hanya keras atau tidaknya pendekatan ini, tetapi apakah kebijakan ini mempertimbangkan aspek psikologis, sosial, dan legal dari sisi anak. Apalagi, lembaga Yayasan PKPA dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti bahwa pendekatan militeristik dapat berpotensi melanggar hak-hak anak dan bertentangan dengan prinsip pendidikan yang humanis.
Melihat dari Dua Sisi
Penting bagi kita untuk tidak selalu serta merta mengecam dan mengagungkan kebijakan ini. Pendekatan militer bisa saja dapat berhasil bagi beberapa siswa yang membutuhkan pengalaman shock therapy untuk dapat berubah. Namun, perlu diingat keberhasilan tersebut bukan berati cocok diterapkan secara massal atau bahkan menjadikannya standar penanganan masalah perilaku bagi siswa. Setiap anak mempunyai latar belakang kondisi keluarga, dan kondisi psikolog yang berbeda, ada anak yang tumbuh di keluarga yang baik-baik saja, harmonis, dan banyak dukungan, sehingga anak itu mudah menerima bimbingan dan nasihat. Sedangkan ada juga anak yang tumbuh besar di lingkungan keras, baik dikeluarga atau pergaulan sehari-hari yang penuh dengan tekanan. Anak yang tumbuh besar dilingkungan seperti ini mungkin dengan melanggar di sekolah atau diluar sekolah bukan karena ingin terlihat nakal, tetapi bisa saja sedang mencari perhatiaan yang tidak didapati di lingkungannya, dan melampiaskan rasa emosionalnya.
Dari kondisi psikolog anak pun memiliki kondisi mental yang berbeda-beda. Ada beberapa anak yang dapat menerima teguran keras dan langsung dapat berubah, namun ada juga anak yang malah takut dan merasa tertekan ketika dapat teguran keras secara langsung. Maka dari itu, kita tidak bisa langsung menyamaratakan perlakuan kepada semua siswa, seakan semua siswa mempunyai latar belakang yang sama.
Perlu diketahui dan di ingat bahwa setiap anak memiliki hak, tidak hanya hak untuk sekolah, tapi juga hak untuk diperlakukan dengan baik, dan hak untuk menyuarakan pendapatnya. Ketika siswa dikirim ke dalam barak militer dikhawatirkan berpotensi melanggar hak-hak anak tersebut seperti tidak memiliki ruang untuk menyuarakan pendapat, tidak diperlakukan dengan baik, dan lainnya. Di dalam barak militer, siswa bisa saja untuk patuh dan tunduk pada aturan yang ketat, dan mereka bisa saja mengalami atau mendapatkan kekerasan secara fisik ataupun secara mental, baik dalam bentuk hukuman atau psikologis. Selain melanggar hak milik anak, pendekatan militeristik ini juga bertentangan dengan prinsip pendidikan yang humanis. Pendidikan itu seharusnya membuat anak menjadi mampu berpikir, mandiri, kreatif, dan bertanggung jawab. Pendidikan humanis itu bagaimana kita melihat anak sebagai individu unik dan berpotensi. Setiap anak punya latar belakang dan masalahnya sendiri, sehingga barak militer bukan menjadi tempat atau solusi untuk mendidik anak menjadi lebih baik.
Solusinya, bukan menolak secara mentah atau sepenuhnya menerima begitu saja, melainkan mencari titik tengah. Pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan beberapa psikolog, guru, dan konselor untuk merancang sebuah sistem pembinaan yang tegas namun tetap memperhatikan hak siswa. Misalnya, pusat rehabilitasi sekolah, keterlibatan keluarga, dan pendekatan dalam pendidikan yang mengedepankan dialog dan pemulihan. Sehingga, siswa bukannya hanya menerima hukuman atas kesalahan, tapi diajak berdialog atau berdiskusi untuk memahami dampak apa yang diperbuatnya, dan bertangjung jawab serta memperbaiki diri dengan cara yang positif.
Dari apa yang dibahas di atas, bahwa tidak semua siswa dapat diperlakukan dengan cara yang sama karena latar belakang keluarga dan psikolog yang berbeda. Maka dari itu, metode pendekatan yang dipakai harus disesuaikan dengan kondisi anak. Oleh karena itu, solusi terbaiknya tidak sekedar menolak atau menerima kebijakan ini sepenuhnya, tetapi mencari solusi jalan tengah dengan cara menerapkan pendekatan disiplin yang didampingi psikolog, konselor, dan keterlibatan orang tua. Dengan solusi tersebut, siswa tidak hanya mendapatkan efek jera, tetapi dapat memahami kesalahan yang mereka buat dan memiliki motivasi untuk menjadi lebih baik. Karena seharusnya pendidikan menjadi tempat tumbuh, bukan tempat untuk menghukum.
Artikel Lainnya
-
93501/01/2021
-
203819/04/2020
-
106608/01/2022
-
Parenting dan Tantangan Orang Tua Masa Kini
85812/10/2023 -
Pemberdayaan UMKM di Tengah Pandemi
358211/06/2020 -
Pengakuan Dosa Seorang Konsumen Buku Bajakan
212002/03/2020