Hidup dengan Prinsip Filsafat Stoicisme

Pembelajar
Hidup dengan Prinsip Filsafat Stoicisme 23/06/2024 256 view Budaya Misekta

Sesuatu yang kuat memang lebih disukai daripada yang lemah. Bayangkanlah sebuah bangunan. Betapa sangat bahaya jika pondasi dan tiang penyangganya tidak kuat. Apa yang dibangun di atasnya tidak akan bisa bertahan lama. Analogi itu juga bisa kita tarik ke dalam sifat manusia. Apa yang paling berharga dari diri manusia jika bukan dari kebijakan yang dijalankannya. Mindset, mental model, attitude, integritas, dan karakternya. Dengan kata lain: software yang menghidupi seluruh tindak-tanduknya.

Berkaitan dengan software kepribadian pada manusia. Beberapa tahun belakangan, aliran filsafat stoicisme banyak digandrungi orang. Stoicisme berasal dari kata stoa yang berarti beranda. Dinamai Filsafat Stoa karena para filsuf Yunani kuno dulu sering diskusi, mengutarakan ide mereka, di beranda. Sangatlah anekdotal membandingkan gaya hidup orang stoa dengan orang modern zaman sekarang. Bagi orang stoa, dengan adanya waktu luang (hidup santai) mereka bisa merumuskan gagasan filosofis. Berkebalikan dengan zaman sekarang, bagi orang modern, untuk mencapai hidup yang santai diperlukan wawasan filosofis.

Aliran filsafat ini mulai populer kembali di saat orang memang membutuhkan “obat” akibat ekses negatif dari kehidupan modern. Kita perlu ketahanan mental dalam menghadapi berbagai macam ketidakmenentuan hidup dan cepatnya arus perubahan. Kita harus sudah siap sedari awal untuk kemungkinan terburuknya. Misalnya: PHK massal (yang terbaru kasus Tokopedia), persaingan mencari pekerjaan di mana jumlah lowongan pekerjaan tidak sebanding dengan angka pencari kerja (apalagi menurut sebuah data survei, jumlah tertinggi pengangguran adalah para sarjana).

Perlu ada yang diperbaiki dengan kurikulum pendidikan kita. Materi dan metode pengajaran harus disesuaikan dengan kemajuan zaman. Sehingga menghasilkan lulusan yang mempunyai daya tawar dalam bursa kerja. Banyaknya angka pengangguran itu juga menyiratkan jika skill atau ketrampilan kita pada suatu bidang tergolong rendah. Kalau tak, seharusnya kita punya peluang lebih untuk terjaring oleh perusahaan. Syukur-syukur kalau kita berinisiatif untuk membuka usaha sendiri, ikut membantu pemerintah menekan angka pengangguran.

Sebetulnya agama juga sudah memberikan panduan untuk menjalani kehidupan yang baik. Cuma kadang manusianya sering lupa untuk kembali ke situ dan akhirnya mengambil solusi dari jalan yang lain. Tapi selama hal yang dituju itu baik, tak jadi masalah. Dikatakan sebagai hikmah: barang hilangnya orang mukmin, dimanapun dia menemukannya maka ambillah.

Stoicisme sendiri adalah panduan untuk menjalani hidup dengan soliter; melatih jiwa menjadi kuat. Menciptakan barrier dengan dunia luar. Ini metode yang sangat tepat di tengah ritme kehidupan yang sangat cepat. Kita perlu menciptakan ruang sendiri (eco chamber), untuk sekadar menepi sejenak, menyapa diri sendiri, mengendapkan semua persoalan yang ada dan mencoba menyusun penyelesaiannya.

Diperlukan sikap untuk berpikir lebih pelan. Kita harus lebih bersahabat dalam menikmati prosesnya tanpa mengesampingkan hasilnya. Unsur penghayatan inilah yang sudah hilang saat ini, apa saja sekarang dibikin mudah, instan. Berniat memudahkan manusia malah jadinya memanjakan. Akibatnya manusianya malas mikir, kalau sudah malas mikir, hidupnya akan kurang makna dan sangat sering dihinggapi kebosanan. Pelampiasannya adalah dengan konsumsi konten audio-visual. Hal itu tidak menjadi masalah asalkan tahu waktu dan batas. Masalahnya sekarang hal itu menjadi ketergantungan yang sangat parah. Kalau belum mendapat suplai semangat dan energi dari luar hidupnya nglentruk.

Dengan ajaran stoa ini harapannya sifat-sifat buruk itu hilang. Karena inti dari aliran filsafat ini menurut saya adalah pengendalian diri dan pengelolaan pikiran dalam menyikapi berbagai macam persoalan supaya menciptakan ketenangan dan kebahagiaan hidup. Yang dinamakan masalah bagi orang stoa bukan masalah an sich, tapi bagaimana respon sikap kita padanya. Kita diajarkan untuk memandang persoalan dengan jernih. Sesuatu yang di luar kendali kita sebaiknya tidak perlu dikhawatirkan. Fokuskan pada hal yang bisa kita kendalikan.

Beberapa kata kunci dari aliran filsafat ini yang dapat kita pedomani: ketenangan pikiran adalah senjata, self sufficient (cukup dengan diri sendiri), tidak khawatir pada sesuatu yang di luar kendali kita, dan adanya semangat perbaikan terus menerus.

Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas satu prinsip, yakni self sufficient. Yang dimaksud dengan self sufficient bukan berarti menjadi orang yang individualistis. Kita bukan berarti tidak butuh orang lain. Bukan. Betapapun orang lain dibutuhkan tetap kita sendirilah yang bertanggung jawab atas hidup kita. Jadi kita sendirilah yang menjadi subjek penentu.

Juga dalam urusan konsumsi sesuatu. Kita harus tahu batas wajar kebutuhan dan rasa cukup itu sendiri. Dalam konteks ekonomi, kita bukan menjadi maniak konsumerisme. Dalam konteks politik, kebijakan yang kita buat untuk kemaslahatan orang banyak. Dalam konteks hukum, kita tidak akan mengambil yang bukan hak kita. Dan itulah prinsip sufficient: tahu kadar yang pas sesuai ruang dan waktunya.

Berkaitan dengan gaya hidup, orang stoa paham ukuran. Hidupnya sederhana, seperlunya, dan sewajarnya. Epicurus pernah menasehati: jika engkau hidup berdasarkan cara yang bersahaja (natural) kamu tidak akan pernah miskin, tapi jika kamu hidup berdasarkan opini, kamu tidak akan pernah kaya. Betapa sikap itu berkebalikan dengan cita-cita hidup orang banyak saat ini. Apa saja sekarang dilakukan supaya kaya raya, ataupun supaya terlihat kaya. Akibatnya banyak orang yang membeli gengsi. Dibela-belain hutang hanya agar orang lain kagum sama kita. Betapa sangat miris. Suku Kajang Ammatoa bagai menyindir kita dengan filosofi hidup Kamase Mase. Hidup dengan sederhana dan tidak mengambil lebih dari apa yang dibutuhkan untuk bertahan hidup.

Merasa cukup dengan diri sendiri ialah tidak terlalu bergantung pada sesuatu yang di luar dirinya. Kebahagiaannya tidak ditentukan oleh sesuatu yang dari luar. Misalnya ketergantungan pada hiburan-hiburan artifisial yang bertujuan untuk menghilangkan stress. Padahal dengan mendayagunakan akal-budi dalam diri kita, dengan sendirinya kita akan bahagia. Itulah sebabnya ditekankan juga dalam filsafat ini, state of mind (keadaan pikiran) menentukan bahagia tidaknya seseorang. Seseorang yang pandai dalam mengelola pikirannya tidak akan mudah stress. Orang jenis ini akan dengan mudah mengabaikan gunjingan dan cibiran orang yang tidak suka dengan dirinya. Mustahil kita bisa menyenangkan semua orang. Selama yang kita lakukan adalah hal yang baik, go ahead.

Ada yang mengusulkan dalam urusan pergaulan, manusia harus punya minimal dua layer kepribadian dalam dirinya. Layer pertama digunakan untuk mengurusi hubungan dengan dirinya sendiri. Dalam layer ini, mode sikap yang lebih tegas diterapkan. Layer kedua untuk berinteraksi dengan orang lain atau masyarakat. Dalam layer ini, mode sikap yang lebih akomodatif dipraktekkan. Dengan membagi menjadi dua bagian seperti itu, saya bukan menganjurkan anda untuk menjadi bipolar atau schizophrenia. Yang saya maksud adalah menciptakan sebuah sikap yang adaptif-organisonal. Supaya kita mudah dalam menentukan mode pergaulan.

Meskipun kita sudah bersikap dan memposisikan diri dengan baik dalam pergaulan, rasanya setiap hari ada saja masalah yang timbul--tanpa secara langsung kita sendiri yang menciptakannya. Hidup terlalu mahal untuk digunakan untuk mengeluh. Jadilah lebih tegar! Siapkan energi ketangguhan untuk menghadapi kerasnya hidup ini. Stoicisme tampaknya menjadi alternatif solusi untuk hal itu.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya