Hatta, Buku dan Dagang
Langit oranye yang ditelan oleh gelap, mengajak segerombolan burung untuk kembali ke sarang-sarangnya. Di antara kicau-kicau burung yang gemercik, lantunan ayat suci Qur’an membuat sahdu suasana petang di surau milik Inyik Djambek. Seorang lelaki dengan raut muka cerah dengan sudut-sudut siku muka yang tegas kentara itu, ikut berjejal duduk mengucap basmallah berdoa sebelum menjalankan laku kalam ilahi berupa tolabul ilmi.
Adalah Mohammad Hatta. Pria yang gandrung akan ilmu dan pengetahuan, selalu melibatkan petuah suci Qur’an dalam tingkah dan lakunya. Haus pada pengetahuan terpatri dalam batinya. Setelah menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat, Hatta kecil selalu menyempatkan diri mengaji untuk mengasah batin rohaninya.
Di surau Inyik Djambek, Hatta diberikan pengetahuan untuk belajar membaca ayat-ayat Quran, sampai mendalami nahwu sorof agar lebih dalam mengetahui secara terminologinya. Hatta sudah nampak kecerdasannya, sehingga beberapa kali Inyik Djambek melantunkan syukur, kala muridnya itu cepat mudeng.
Bila kita mengingat kembali, serpihan ingatan kita, acap kali kita ketahui, sikapnya yang jujur, rendah hati, dan foto beliau kala sedang berdiri di antara buku-bukunya, terbesit dengan sangat bagaimana Hatta punya peranan penting dalam silang-sengkarut membawa bangsa ini dalam gegap gempita untuk kemerdekaan.
Generasi yang tak sempat menyaksikan Hatta dengan mata telanjang, menelusuri kiprahnya melalui catatan dan potret yang tersebar. Acap kali kita membuat pelbagai prasangka antara lain; Hatta ialah tokoh yang jujur, tegas, mahir dalam berorganisasi dan intelektualismenya yang membuat siapapun segan mendengarkan dan berdialog dengannya.
Hatta yang brilian, tidak dibentuk dengan instan. Kemauan yang seluas lautan untuk merengkuh segala bentuk pengetahuan, sudah terbesit kala beliau masih belia. Lahir 12 Agustus 1902, Hatta hidup dalam keluarga pedagang yang membuatnya begitu bersyukur sehingga dapat mendapatkan privilege, yang berguna bagi dirinya.
Kemampuan enggan membuat Hatta terlena. Dengan kondisi yang beruntung, Hatta mampu memanfaatkannya untuk menimba ilmu dan mehngampiri toko-toko buku untuk bekal rasionalitasnya. Hatta dengan detil direkam dari waktu ke waktu dari coretan ke coretan dan dibukukan menjadi sebuah buku. Antara lain; Untuk Negeriku Jilid 1 sampai 3 (Kompas, 2011) dan usaha LP3ES untuk menerbitkan buku sebanyak dua belas jilid yang menyimpan serpihan ide-ide Hatta di banyak media cetak dan catatan-catatan briliannya mulai dari ide kebangsaan sampai Hattanomics.
Pedagang yang Mempengaruhi Hatta
Hatta memanfaatkan waktunya secara disiplin. Mengenai waktu dan perjalanan keilmuannya itu, ia atur dengan tepat dan teliti guna mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak. Setelah menamatkan Sekolah Rakyat, ia melanjutkan ke MULO kisaran 1916.
Hatta sangat cepat daya tangkapnya dari seluruh pengetahuan yang ditawarkan di sekolah. Ia lebih cepat dengan teman seperguruannya menempuh studi. Syahdan, kemampuan itu, mengantarkan Hatta untuk menempa pendidikan di Tanah Jawa (baca; betawi) untuk bergabung di sekolah dagang. Setelah lulus dari MULO ia menjajakan kakinya ke betawi.
Betawi ialah tempat dimana Hatta, meniti petualangan keilmuannya untuk bergabung di sekolah dagang bernama PHS (Prins Hendrik School). Di situ Hatta menemukan secercah berlian yang amat berguna bernama pengetahuan dan seabrek buku sehingga membuat minus penglihatannya terus bertambah.
Syahdan, kondisi itu setimpal dengan apa yang didapatkannya. Hatta bertemu dengan Mak Etek Ayub seorang pedagang dari Tanah Minang. Mak Eteb Ayub selalu sibuk dan tak pernah terlihat menganggur ataupun termangu berlama-lama. Ia seorang pembaca buku ulung dan pembisnis yang gigih.
Pertemuannya dengan Mak Etek Ayub, membentuk seorang Hatta yang lebih tangguh dan semakin cemerlang dalam pemikiran. Dalam buku Untuk Negeriku (Kompas, 2011), dibeberkan sebanyak sembilan kali, terselip bersandingan dengan Hatta. Mak Etek Ayub memperkenalkan Hatta dengan beberapa buku penting yang membuat berkembang intelektualitasnya, antara lain; N.G Pierson dengan judul Statuishookkunde, H.P Quack dengan judul De Socialistens, dan Belaamy.
Pertemuan dengan Mak Etek Ayub tak luput dengan pendiskusian dan tukar gagasan. Di malam hari namun tak sampai larut, mereka sering meluang waktu untuk sejenak bercerita dan mendiskusikan mengenai buku dan perdagangan. Kepiawaian Mak Etek Ayub mengenai dagang, memantik Hatta secara simultan membangun nalar pikirnya.
Hatta benar-benar bergairah untuk membaca buku lebih banyak, kala pertmuannya dengan Mak Etek Ayub. Perbincangan mengenai filsafat, ideologi bangsa-bangsa lain, sampai pcahnya perang dunia pertama di tanah Eropa, benar-benar membuat Hatta pepat dengan referensi.
Pada tahun 1921 hatta lulus dari sekolah dagangnya itu (PHS). Ia selanjutnya memutuskan untuk dapat menempuh pendidikan ke Rotterdam. Nasib Mak Etek Ayub berbanding terbalik dengan Hatta. Mak Etek dibui lantaran usahanya pailit. Padahal, Hatta sungguh berharap, kala Mak Etek sedang jaya-jayanya itu akan membantunya melanjutkan studi, namun nasib berkata lain.
Syahdan, seorang berpengaruh bernama Doktor Stokvis yang sering bertatap muka dengan Clemencau (bapak kemengan Prancis, dalam Perang Dunia 1) mengusahakan untuk menyabet beasiswa Van Deventer untuk Hatta. Alhasil, Hatta dapat mendapatkannya dan melanjutkan studi ke Nederland.
Di Nederland, Hatta semakin melejit. Ia menjadi anggota Indische Vereninging dan selanjutnya tanpa tedeng aling-aling memukul genderang pergolakan mengubahnya menjadi Indonesia Vereninging (1925). Ia banyak bergumul dengan organ pergerakan memupuk semangat sadar akan bangsa mengenai bangsa Indonesia yang satu. Hatta seorang yang gemilang tercatat dalam sejarah Indonesia, namanya harum mewangi tak akan kadaluarsa untuk diingat.
Artikel Lainnya
-
132319/12/2022
-
127304/01/2021
-
142307/12/2020
-
Pahlawan Perang Covid-19 Dan Tantangan Di Medan Tempur
166806/04/2020 -
10619/08/2024
-
Catatan Redaksi: Bagaimana Terorisme Tumbuh Di Era Digital?
175318/04/2021