Bahan Bakar Mudik

Walau pemerintah telah resmi melarang mudik lebaran 2021 melalui Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan Covid-19 No. 13 tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik pada Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah, namun para perantau yang mengais rezeki di kota-kota besar keukeuh pulang ke kampung halaman. Dalam tulisan ini, tidak dibedakan antara mudik dan pulang ke kampung halaman sebagaimana tahun lalu presiden membedakan kedua istilah itu.
Tahun lalu, ketika pandemi Covid-19 baru masuk Indonesia, mudik juga dilarang. Waktu itu mereka yang rutin mudik tiap tahun relatif lebih taat. Jangankan mudik, keluar rumah saja ngeri. Yang tinggal di kampung juga protektif. Mereka enggan kampungnya didatangi orang-orang kota karena khawatir membawa serta virus.
Kala itu belum banyak yang tahu apa dan bagaimana sebenarnya virus SARS-CoV-2 ini bekerja. Daripada gegabah yang berpotensi membuat kondisi makin buruk, menahan untuk tak mudik sekali saja adalah pilihan paling bijak. Semua pihak maklum akan hal itu.
Tahun ini kondisinya berbeda. Masyarakat merasa telah paham akan seluk beluk virus ini. Bahkan sudah terlanjur “akrab” karena setahun lebih hidup bersama. Sebagian orang berpendapat virus ini tidak semengerikan yang diberitakan. Mereka yang terpapar, sajauh tidak memiliki penyakit penyerta yang parah, besar kemungkinan sembuh kembali dengan sendirinya. Sebagian malah menganggapnya seperti penyakit flu biasa. Cetek.
Sebagian masyarakat juga merasa lebih aman karena vaksinasi telah dan sedang dilakukan. Meski telah berulang kali dijelaskan bahwa vaksin bukan jaminan seseorang kebal sama sekali terhadap virus Covid-19, namun anggapan bahwa vaksinasi adalah “juru selamat” sudah terlanjur mengakar jadi “iman”.
Masyarakat tidak bisa sepenuhnya disalahkan atas kebandelan mereka. Siapa yang siap menghadapi situasi wabah sepanjang tahun? Pemerintah dan masyarakat sama-sama kaget dan tidak siap pada awalnya. Kini, semua kekagetan itu lambat laun sirna dan berubah jadi hal biasa. Akhirnya tidak kaget lagi. Kenormalan baru lama-lama jadi kenormalan saja (tanpa imbuhan baru).
Meski demikian, meski sudah akrab dan merasa normal, pandemi yang harusnya berakhir ini belum juga tamat. Jangan sampai terlena. Segala kenormalan selama setahun ini bukanlah kenormalan sebenarnya. Hari ini statusnya masih “normal darurat”.
Paradoks Kebijakan Pemerintah
Suasana mental masyarakat yang terlanjur akrab dan menganggap Covid-19 hal biasa bukan faktor tunggal yang menyebabkan mereka bandel untuk tetap pulang ke kampung halaman. Faktor lain adalah turunnya tingkat kepuasan dan kepercayaan publik terhadap pemerintah akibat sejumlah kebijakan yang saling tabrakan.
Dalam Rapat Kerja bersama Komisi V DPR RI tanggal 16 Maret 2021, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan tidak akan ada larangan mudik tahun ini. Tapi tak berselang lama, tepatnya pada 7 Mei 2021, pemerintah justru resmi malarang mudik.
Pemerintah boleh jadi berkilah bahwa situasinya dinamis. Sukar diprediksi aman atau tidaknya jika jutaan orang dari kota-kota besar menyebar ke kampung-kampung secara serentak. Tapi, justru karena situasi tak pasti itulah sebaiknya pejabat pemerintah tidak tergesa-gesa mengeluarkan pernyataan. Timbang dulu baik-baik dampak dari pernyataan itu. Jika bukan kebijakan resmi sebaiknya jangan langsung diutarakan. Bukankah presiden Jokowi sendiri yang bilang agar “jangan membuat gaduh!”?
Kecuali banyaknya pernyataan pejabat yang sering kali dianulir kemudian, kebijakan penanganan pandemi ini juga cenderung “berat sebelah” dan paradoksal. Di satu sisi mudik dilarang tapi berwisata diperbolehkan. Meski belakangan pemerintah kembali menjelaskan bahwa objek wisata hanya boleh dikunjungi oleh penduduk lokal dengan protokol kesehatan ketat, tapi hal ini tetap saja dianggap paradoks oleh masyarakat.
Yang terbaru, sejumlah Warga Negara Asing (WNA) masuk ke Indonesia nyaris bersamaan dengan berlakunya larangan mudik. WNA itu termasuk juga mereka yang berasal dari India, negara yang tengah jadi perbincangan karena dihantam gelombang kedua pandemi Covid-19 karena tergesa-gesa “menginjak gas”. Dari ratusan WNA asal India, itu, 49 orang positif Covid-19 dan satu orang di antaranya positif “membawa” varian baru B1617.
Sikap berat sebelah juga nampak dari bedanya perlakuan Satgas Penanganan Covid-19 di berbagai daerah menyikapi kerumunan. Di berbagai tempat, banyak acara hajatan “orang-orang biasa” yang tak diberi izin. Kalau sudah terlanjur digelar, Satgas tak segan membubarkan.
Di tempat lain, kegiatan serupa yang diselenggarakan “orang-orang luar biasa” malah “direstui” presiden sendiri. Ia hadir dan bahkan menjadi saksi nikahnya. Protokol kesehatan memang dijalankan dengan ketat. Tidak ada kerumunan. Jarak aman tetap terjaga dari awal hingga akhir acara. Tapi, justru segala “ketertiban” inilah yang makin menguatkan anggapan “si kaya bisa suka-suka, si miskin jangan banyak ingin” di Indonesia ini. Apakah segenap ketertiban protokol kesehatan itu tanpa biaya?
Sikap “bijak” itu membuat masyarakat bingung. Sebagian jengah dan muak. Dampaknya, tingkat kepuasan masyarakat pada pemerintah merosot. Indokator Politik Indonesia (IPI) mencatat angka 62,9 persen untuk tingkat kepuasan publik terhadap kinerja kerja Presiden Jokowi pada hasil survey yang dilakukan pada 1-3 Februari 2021. Menurut Direktur Eksekutif IPI Burhauddin Muhtadi, angka ini terendah sejak tahun 2016.
Kombinasi antara perasaan “sudah akrab” dengan Covid-19 dan turunnya tingkat kepuasan publik merupakan dua variabel yang jadi pendorong utama kenapa orang-orang tetap nekat mudik meski tahu akan diperintah putar balik.
Satu hal lagi yang jadi bahan bakar kenekatan para pemudik itu. Berdasarkan “contoh-contoh” yang sering kali dipertontonkan oknum pemerintah, mereka yang memaksa mudik itu mungkin punya semacam keyakinan bahwa di Indonesia tidak ada yang tidak mungkin. Termasuk mengakali aturan. Termasuk main mata dengan penegak aturan.
Artikel Lainnya
-
27319/09/2023
-
18307/05/2025
-
69506/09/2022
-
Soal Pesangon UU Cipta Kerja, Apa Masalahnya?
137825/10/2020 -
Refleksi di Hari Disabilitas Internasional 2020
154103/12/2020 -
Ketimpangan Gender dalam Tradisi Nenek Moyang
57009/02/2024