Urgensi Berefleksi di Zaman Digitalisasi
Kita membutuhkan titik terang dari setiap kegelapan pikiran. Kita membutuhkan ruang bebas dari setiap masalah yang menekan. Kita memerlukan sarana eskapis dari masalah-masalah yang menghadang. Kita membutuhkan hiburan untuk menyegarkan kembali pikiran. Semua itu untuk era saat ini, pemenuhannya bisa didapat dengan mudah dengan fungsi smartphone-- benda yang saat ini lebih penting dari apapun. Apakah kebergantungan mencari sarana eskapis dengan smartphone sudah tepat?
Pertayaan di atas jawaban saya rasa kurang tepat. Terserah anda menilainya bagaimana. Mungkin itu sebuah cara yang bersifat sementara. Adapun yang lebih dibutuhkan adalah sikap mindfulness dan kemampuan untuk berefleksi. Kedua sikap tadi menjadi urgensi untuk zaman digitalisasi-- era di mana terjadi disrupsi informasi. Banyak informasi yang berseliweran di dunia digital; mana yang valid dan yang tidak, sama-sama harus dibuktikan. Banyak headline berita yang ditulis dengan cara-cara yang memancing rasa ingin tahu pembaca. Seperti diawali dengan kata-kata : “heboh”, “gempar”, “seru”,“viral” dan segala kata-kata clikbait lainnya. Hal itu menjadi pemandangan yang semarak sekaligus menggelikan.
Banyak cara dilakukan orang untuk mencari uang, termasuk dengan menyebarkan informasi-informasi yang tidak penting. Informasi yang tidak ada relevansinya dengan kehidupan kita. Tidak akan rugi jikalau kita tidak tahu beritanya. Apalagi sebuah penelitian yang mengatakan rata-rata orang di Indonesia menggunakan smartphone selama delapan jam perhari. Adakah itu kegiatan yang produktif selain untuk bekerja, upgrade diri dengan informasi yang relevan ,dan hiburan sekadarnya? Sebaiknya kita mengurangi frekuensi dari hal-hal yang tidak produktif tersebut.
Kita mulai dari cara yang pertama. Apa itu mindfulness? Yakni memberikan konsentrasi, kesadaran dan perhatian maksimal dalam setiap aktivitas yang kita kerjakan. Selama ini untuk kegiatan yang sifatnya rutin kita sering tidak menghayati dan memberikan kesadaran. Maksud saya semua itu berlangsung dan berlalu begitu saja tanpa ada makna baru yang didapat. Malah yang lebih parah, sebagai contoh misalnya: kita sedang makan tapi pikiran kita menjelajah ke mana-mana. Kita kehilangan fokus. Kita kehilangan kontrol atas pikiran. Akibatnya kita sulit untuk merasakan moment present dan lebih suka membayangkan yang aneh-aneh. Hal ini akan mempengaruhi kadar kebahagiaan kita dalam menjalani kehidupan.
Lalu apa itu refleksi? Kegiatan menenangkan pikiran dan hati untuk mencari apa yang seharusnya dilakukan. Kegiatan refleksi lebih bersifat koreksi. Untuk mendapatkan kebijaksanaan kata Confucius dapat melalui tiga cara: (1) belajar dari pengalaman orang lain, ini bisa dibilang mudah, (2) lewat jalan berpikir sendiri (berefleksi), ini berat, dan yang terakhir (3) lewat jalan mengalami sendiri, dan ini menyakitkan. Terserah anda mau pilih yang mana. Kalau saya tentu tidak ingin mengikuti cara yang ketiga kecuali jika memang itu sudah kehendak-Nya. Kalau sudah ditakdirkan begitu kita mau apa? Cara pertama dan kedua sebenarnya berkaitan secara tidak langsung. Kalau kita hanya belajar dari pengalaman orang lain tapi tidak menyesuaikannya dengan konteks kehidupan yang kita jalani sendiri ya tidak akan nyambung. Belajar juga harus menyesuaikan dengan setting dan konteks yang saat ini kita jalani, jangan taklid buta tanpa menggunakan penalaran.
Orang-orang yang berkelakar dengan nada agak sombong mereka sudah mengalami asam garam dunia, maka pantas-pantas saja kalau mereka bergaya demikian. Sudah jelas sepak terjang dan karyanya. Lha kamu, belum jadi apa-apa sudah gayanya keterlaluan? Jadi hidup itu harus tahu diri, sadar diri, dan tahu ukuran.
Zaman digitalisasi ini harus dikatakan telah mengambil alih hampir seluruh kegiatan manusia. Algoritma-algoritma digital telah merasuk ke chip sistem berpikir kita. Bisa dibilang sebenarnya kita menjadi manusia setengah robot. Sistem berpikir kita yang selalu ingin “mengakali”. Kata mengakali di sini tentunya untuk konteks yang negatif, seperti memanipulasi dan mengeksploitasi dalam takaran yang berlebihan. Bahkan menjurus ke kecurangan dan ketidakadilan. Belum lagi kita menginginkan segalanya menjadi mudah dan cepat. Tapi akibat ritme yang terlalu cepat ini kita jadi kurang menikmati proses. Sikap tergesa-gesa dan ingin melakukan banyak hal dalam satu waktu menjadi pemandangan lumrah. Kelihatannya itu sesuatu yang produktif tapi secara outcome tidak, malah hasilnya tidak akan maksimal dan akan cepat menguras energi.
Strategi marketing melalui pintu 3F (Food, Fashion, & Fun) juga semakin tumbuh subur. Banyak iklan-iklan yang bertebaran dan nyempil di berbagai macam konten berita. Ya memang sudah zamannya seperti itu mau bagaimana lagi? Tapi itu harus disadari akan mempengaruhi emosi dan ritme hidup. Maka tidak aneh jika banyak orang terasing dari dirinya sendiri, banyak orang menderita kesepian dan depresi. Mereka tidak bisa lepas dari sistem digital yang mengungkungnya. Pertanyaannya bisakah kita hidup sejenak saja tanpa adanya smartphone? Tentunya di samping untuk keperluan bekerja, upgrade diri dengan informasi yang relevan, dan hiburan sewajarnya. Melakukan kegiatan-kegiatan lain yang lebih produktif mesti dicoba.
Saatnya kita mulai menghitung lagi, apakah sejauh ini langkah yang kita ambil adalah langkah yang tepat? Langkah yang tidak akan merugikan diri sendiri dan lingkungan? Saatnya kita malu pada diri sendiri, apakah wajah ini wajah asli ataukah topeng yang sudah biasa digunakan untuk menipu? Untuk itu semua, kita perlu berbenah diri dengan cara berefleksi. Setidaknya menurut saya, ada dua manfaat dari refleksi ini.
Pertama, kesehatan mental. Melatih cakrawala berpikir agar jernih dalam memandang sesuatu. Termasuk di dalamnya membaca emosi yang kira rasakan. Identifikasi itu juga akan membuatmu paham bagaimana cara memaket attitude dengan baik. Banyak kisah orang-orang sukses di luar sana yang bisa dibilang tidak cerdas secara intelektual tapi sangat cerdas secara emosional. Sementara orang yang memiliki kecerdasan intelektual yang baik tapi kecerdasan emosionalnya buruk, kariernya tidak akan mengalami peningkatan yang significant.
Kedua, membaca ritme. Memiliki kepekaan membaca ritme kehidupan yang pada ujungnya nanti akan meningkatkan kualitas hidup. Kemampuan melihat kekurangan dari apa yang kita lakukan dalam satu hari adalah metode yang membantu kita menaiki tangga-tangga perbaikan hidup. Kita hidup pasti banyak masalah-masalah yang melingkupi. Jangan khawatir. Masalah-masalah tesebut tidak harus semua terselesaikan. Tidak perlu juga harus selesai dalam satu waktu. Ada jenis masalah yang memang tidak membutuhkan penyelesaian karena itu disiapkan sebagai lawan dialektika manusia sepanjang hidup. Sparing partner bagi manusia agar bisa memproses diri menjadi lebih baik. Satu kunci yang perlu dipahami adalah: kita hidup sudah pasti dikelilingi masalah tapi kita jangan suka cari-cari masalah!
Sebenarnya kita tidak harus anti pada zaman digitalisasi ini. Bagaimanapun juga selain ekses negatif tidak dipungkiri banyak juga manfaatnya. Seperti yang dikatakan oleh Sunan Kalijaga. “Angeli ananging ora keli”. Mengikuti arus tapi tidak hanyut. Sebuah strategi pergaulan yang sangat jitu. Boleh kita mengikuti zaman yang semakin modern, high-tech tapi jangan sampai kita kehilangan pandangan rasional mengenai mana yang baik dan buruk. Perlu diketengahkan juga di sini semakin maju zaman bukan berarti kita melupakan unsur kearifan budaya. Yang tradisional, kebudayaan lama yang baik juga mesti tetap kita lestarikan. Dengan begitu akan terwujud semangat eksplorasi dan progresi.
Artikel Lainnya
-
153628/07/2020
-
157206/04/2020
-
141407/06/2020
-
Menyelamatkan Aset Bangsa dari Tindakan Kekerasan
58927/07/2021 -
Ghosting dan Kekejaman Emosional
103926/11/2021 -
Soal Sampah: Membayangkan Sebuah Bumi Masa Depan
175113/07/2020