Jurnalisme Agama, Otoritas Agama, dan Kebaikan Bersama
Untuk konteks Indonesia, agama menjadi salah satu isu yang sangat kompleks dan paling sensitif di ruang publik. Kenyataan ini menjadi alasan bagi para jurnalis untuk tetap berada di dalam zona nyaman dengan cara menghindari peliputan tema tentang agama apalagi kalau menyangkut konflik horizontal antarumat beragama. Ketekunan, independensi, dan keberanian sangat sulit ditemukan di dalam diri para jurnalis ketika berhadapan dengan isu-isu agama yang lebih sering merugikan pemeluk agama minoritas di republik ini.
Di tengah-tengah kehidupan bersama yang melihat tema tentang keberagaman agama sebagai salah satu momok yang menakutkan, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) hadir dengan ketekunan dan keberanian yang total untuk mendiskursuskan agama di ruang publik. Sampai dengan saat ini, agama menjadi salah satu tema yang menjadi fokus perhatian Sejuk, di samping tema-tema lain seperti gender dan keberagaman etnis dengan menggunakan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM).
Sejuk melaksanakan banyak kegiatan untuk mendukung keberagaman agama di Indonesia di antaranya adalah seminar, workshop, pemberian fellowship, dan penghargaan terhadap jurnalis yang secara konsisten menghasilkan karya-karya jurnalistik yang merawat pluralitas agama di Indonesia.
Melalui beraneka kegiatan dengan tema tentang agama, Sejuk sebenarnya ingin memasyarakatkan salah satu bentuk jurnalisme yang urgen untuk kehidupan beragama di Indonesia, yaitu jurnalisme agama.
Jurnalisme agama berbeda dengan jurnalisme dakwah. Jurnalisme dakwah bertujuan untuk menyebarluaskan pesan dan ajaran agama tertentu sehingga dapat dikenal dan diketahui oleh publik. Sementara itu, jurnalisme agama adalah salah satu bentuk jurnalisme yang mengedepankan praktik-praktik terbaik kerja jurnalistik dalam meliput kehidupan beragama yang plural (Endy M Bayuni, kata pengantar dalam Ahmad Junaidi, editor, 2006:xv). Dari pengertian tersebut, ada beberapa hal yang mesti dijelaskan.
Pertama, jurnalisme dakwah berhubungan dengan perspektif teologis masing-masing agama. Jurnalisme dakwah mengakui adanya keberagaman pandangan teologis. Sebuah agama tidak boleh mengklaim bahwa perspektif teologis yang hidup di dalam agamanya sebagai perspektif yang paling benar dan menyepelekan perspektif teologis yang hidup dan berkembang di dalam agama-agama lain.
Jurnalisme dakwah mesti hadir dengan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap perbedaan yang eksis dan semua perbedaan tersebut sama-sama bergerak menuju satu alamat yang sama yaitu Allah.
Kedua, jurnalisme agama berhubungan dengan dimensi sosial-kemasyarakatan keterlibatan para pemeluk agama di dalam kehidupan bermasyarakat. Secara faktual, ada dua bentuk keterlibatan para pemeluk agama di dalam kehidupan bermasyarakat. Pertama, keterlibatan positif-konstruktif dalam bentuk kerja sama, gotong royong, dan solidaritas sosial lintas agama.
Kerja sama, gotong royong, dan solidaritas sosial bisa terlaksana karena dimotori oleh pihak lain di luar masyarakat umat (misalnya pemerintah) dan juga bisa muncul atas dasar inisiatif mereka masyarakat umat sendiri.
Patut diakui bahwa pada tataran ideal, kerja sama, gotong royong, dan solidaritas sosial lintas agama hanya akan bersifat otentik dan bertahan
lama jika lahir dari kesadaran bersama umat beragama sendiri. Kesadaran seperti ini hanya akan muncul jika masing-masing pemeluk agama tidak melihat perbedaan sebagai penghambat untuk membangun kesatuan dan keharmonisan.
Kesadaran seperti ini hanya akan muncul jika setiap pemeluk agama mampu menjadikan kebaikan bersama sebagai tujuan yang mesti dicapai dan kreativitas untuk mengolah perbedaan sebagai sebuah kekayaan bersama menjadi sebuah jalan menuju tujuan yang satu dan sama yaitu kebaikan bersama.
Kedua, keterlibatan negatif-desktruktif yang hadir dalam bentuk pengalienasian dan persekusi terhadap kelompok-kelompok yang rentan, yaitu penganut agama minoritas. Hadir persepsi negatif terhadap keberbedaaan atau keberlainan dan timbul gosip-gosip miring yang kemudian menyulut api konflik horizontal. Tidak heran kalau terjadi kekerasan atas nama agama, pembakaran rumah ibadat sekelompok pemeluk agama tertentu, dan pelecehan terhadap barang-barang kudus milik sekelompok pemeluk agama tertentu.
Dalam kegiatan lintas agama di Pekanbaru, seorang pemeluk agama Baha’i yang tergolong kaum minoritas di Pekanbaru memberi kesaksian bahwa mereka selalu menjadi bahan gosip masyarakat. Ada yang mengatakan bahwa Baha’i hanyalah sebuah aliran dari agama tertentu atau bahkan ada yang mengatakan bahwa Baha’i adalah sebuah kesesatan.
Sesungguhnya, anggapan seperti itu salah sebab Baha’i adalah sebuah agama seperti agama-agama lainnya karena memiliki Kitab Suci, utusan Tuhan yaitu Baha’u’lah, rumah ibadah, pusat agama, hukum-hukum serta tata administrasi (pengaturan tentang ibadah, perkawinan, dan pemakaman seperti lazimnya yang dilakukan oleh para pemeluk agama yang lain) (Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia, Khotbah-Khotbah ‘Abdul’L-Baha di Paris, 2008).
Membumikan jurnalisme agama menjadi kebutuhan urgen di Indonesia. Tanpa menutup mata terhadap berbagai bentuk kerja sama lintas agama, kita juga mesti mengakui bahwa di banyak daerah di Indonesia masih terjadi miskonsepsi dan kesalahan pengelolaan fakta pluralitas sehingga fakta tersebut menjadi senjata yang mematikan kehidupan bersama masyarakat Indonesia.
Konflik antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas tetap terjadi, klaim kebenaran yang hanya dimiliki oleh kelompok tertentu dan menganggap kafir kelompok lain masih mewarnai kehidupan masyarakat, fenomena politisasi agama dalam rangka memperoleh kekuasaan terus dipraktikkan, kekerasan atas nama agama, fenomena penutupan rumah ibadat sampai dengan penggusuran rumah ibadat dan pembakaran benda-benda yang dianggap kudus oleh pemeluk agama tertentu terus terjadi.
Jurnalisme agama di Indonesia mesti hadir untuk menunjukkan keberpihakan pada korban, merawat keberagaman agar tetap awet, menyuarakan kelompok yang terpinggirkan (minoritas), menjunjung tinggi prinsip keadilan, dan cover all sides (meliput semua pihak) ketika terjadi konflik antarumat beragama.
Jurnalisme agama hanya boleh tunduk dan taat pada prinsip-prinsip kerja jurnalistik, bukan pada kekuasaan ataupun pada suara kelompok agama mayoritas. Keyakinan pribadi seorang jurnalis agama tidak boleh menjadi tembok penghalang baginya untuk menulis keyakinan pemeluk agama lain dengan penuh penghargaan apalagi kalau kehidupan pemeluk agama lain dilecehkan oleh pemeluk agama yang sekeyaninan dengan seorang jurnalis yang bersangkutan.
Pada prinsipnya, urusan jurnalisme agama mesti selalu berorientasi pada penciptaan keadilan dan kebaikan bersama yang harmonis daripada sekadar berkutat pada urusan kecemasan dan ketakutan terhadap otoritas agama tertentu, yaitu kecemasan dan ketakutan akan berbagai penilaian moral yang datang dari otoritas agama yaitu baik-buruk, penurut-penentang, atau penaat-pembangkang.
Sekalipun seorang jurnalis agama dicap sebagai penentang atau pembangkang oleh kelompok agamanya sendiri, namun masyarakat umum yang lebih rasional, inklusif, dan progresif akan tetap mempertahankan, menghargainya, dan mengenangnya kalau kerja-kerja jurnalistik yang dihasilkannya menjadi jalan menuju perwujudan kepentingan, kebaikan, keadilan, dan keharmonisan hidup semua pemeluk agama di Indonesia.
Ukuran keberhasilan seorang jurnalis agama tidak ditakar sejauh mana dia mendapat penilaian moral yang baik atau pujian dari otoritas agama tertentu karena ketundukkan yang total kepada otoritas agama yang bersangkutan, tetapi diukur sejauh mana jurnalisme agama yang diusahakannya bermanfaat bagi kebaikan banyak pemeluk agama.
Seorang jurnalis agama tidak datang dari otoritas agama tertentu dan tidak mengabdi secara eksklusif hanya untuk kepentingan otoritas agama tertentu, tetapi mewakili dan mengabdi semata-mata untuk kebaikan seluruh pemeluk agama di Indonesia.
Artikel Lainnya
-
57804/05/2023
-
45321/08/2024
-
135307/05/2021
-
“Lockdown” Pariuk Nasi Akan Ambruk
507722/03/2020 -
Kritik Terhadap Kapitalisme Baru dalam Paradigma Kritik Ideologi
49829/01/2023 -
Belenggu Penghalang Emansipasi Perempuan Indonesia
84221/04/2021