Apakah Strategic Planning Menghambat Agilitas Birokrasi Di Era Vuca?

Birokrasi Indonesia menghadapi tantangan besar untuk melakukan perubahan. Terutama di era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, dan Ambiguous), di mana kondisi dunia sangat dinamis, bergejolak, tidak pasti, kompleks, cepat berubah, dan ambigu (Baran & Woznyj, 2021; Bennett & Lemoine, 2014; Pandit, 2021), birokrasi dituntut untuk dapat lebih responsif, adaptif, kolaboratif, dan agile dalam menghadapi gejolak perubahan dan ketidakpastian yang terjadi (Hanif Ramadhan et al., 2022; Ismawaty, 2022).
Permasalahannya adalah birokasi hingga saat ini masih memiliki karakteristik yang kaku, rutin, dan prosedural (Agus, 2019; Andhika, 2017; Nurhidayat et al., 2016; Palls, 2020). Meskipun pada awalnya sistem birokrasi yang berpedoman pada regulasi, prosedur, hierarki, dan kontrol mampu menciptakan kestabilan pemerintahan, tetapi dengan adanya perubahan yang cepat dan sukar diprediksi seperti sekarang ini, justru sistem yang diterapkan tersebut dapat menghambat fleksibilitas birokrasi dalam merespons perubahan yang terjadi (Purwanto, 2019).
Maka dari itu, birokrasi yang agile merupakan suatu keharusan untuk diwujudkan. Karena apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka birokrasi akan ketinggalan zaman dan tidak bisa mengimplementasikan fungsinya untuk memberikan pelayanan terbaik sesuai kebutuhan masyarakat, yang mana kebutuhan tersebut pun juga terus mengalami perkembangan atau perubahan (Asisten et al., 2016; Meyliano & Putra, 2018; Sawir, 2020).
Strategic Planning VS Organizational Agility
Pada tataran pembahasan birokrasi yang agile, muncul diskusi menarik tentang hubungan strategic planning dengan organisasi yang agile. Strategic planning dimengerti sebagai strategi yang digunakan oleh organisasi untuk memenuhi misi dan mandat di tahun-tahun mendatang (Bryson, 1995). Sementara itu, organisasi yang agile dicirikan sebagai jaringan tim yang beroperasi dalam siklus pembelajaran dan pengambilan keputusan yang cepat berdasarkan data baru dan menggabungkan kecepatan dan kemampuan beradaptasi dengan stabilitas dan efisiensi (Brosseau et al., 2019). Satu pertanyaan utama dari diskusi tersebut adalah apakah strategic planning menghambat terwujudnya birokrasi yang agile? (Journals & Ogolla, 2017; Leybourn, 2019; Prange & Hennig, 2019).
Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan membandingkan dua pendapat yang berseberangan. Pendapat pertama menyampaikan bahwa strategic planning, yang biasanya berupa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Strategis (Renstra), diperlukan untuk mengetahui kebutuhan birokrasi dan dapat menjadi pedoman pengoperasian birokrasi untuk beberapa waktu ke depan (Nurmandi & Purnomo, 2014; Purwanto, 2019). Pihak dari pendapat tersebut menyakini bahwa masa depan sebagian besar dapat diprediksi (Fiore, 2018). Sementara itu, pendapat lainnya menyampaikan bahwa adanya strategic planning berpotensi besar menimbulkan decision making delay, yaitu adanya selisih waktu antara proses pembuatan suatu kebijakan dengan pelaksanaannya yang menyebabkan kebijakan yang telah dibuat tersebut tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang muncul di masyarakat, karena hilangnya momentum atau adanya perubahan keadaan di lapangan (Purwanto, 2019).
Selain berpeluang memunculkan decision making delay, terdapat beberapa permasalahan lain yang dapat diidentifikasi dari diterapkannya strategic planning di era VUCA. Pertama, keinginan yang tidak akurat dan tidak sesuai dengan kapasitas. Artinya, banyak keinginan dimuat dalam strategi yang dibuat, biasanya berasal dari persepsi rasionalitas yang dianggap memuaskan, tetapi ketika pelaksanaannya, muncul beragam permasalahan seperti sumber daya cenderung terbatas, kerumitan di lapangan, dan adanya konflik. Hal tersebut menyebabkan program atau kegiatan yang telah disusun tidak dapat dilaksanakan.
Kedua, pemaksaan untuk menghabiskan dana yang telah ditentukan. Artinya, ketidakmampuan pelaksana untuk mewujudkan semua kegiatan yang direncanakan, membuat adanya sisa dana yang biasanya akan diupayakan untuk dihabiskan. Semangat yang dibawa adalah “habiskan anggaran”, bukan berkaitan dengan kualitas dan dampak yang dapat diberikan (Hale, 2019).
Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa strategic planning di era VUCA lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya bagi birokrasi maupun masyarakat. Strategic planning, pada praktiknya terutama di Indonesia, terbukti tidak efektif untuk menjalankan pemerintahan, terutama merespons perubahan yang sangat cepat. Hal tersebut tercermin dari peringkat government effectiveness index tahun 2020, yang menempatkan Indonesia di peringkat empat, dan regulatory quality index tahun 2020, yang menempatkan Indonesia di peringkat lima di ASEAN (World Bank, 2021).
Apa yang Perlu Diubah dan Ditingkatkan?
Di era VUCA, birokrasi yang dapat bekerja secara lebih fleksibel, proaktif, adaptif, dan kolaboratif terhadap ketidakpastian, sangat diperlukan untuk menciptakan kebijakan dan memberikan layanan publik yang lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan, tidak hanya, pada sistem perumusan kebijakan, tetapi juga pada kepemimpinan, sumber daya manusia (SDM), dan sistem tata kelola, karena kesemuanya tersebut merupakan aspek yang saling berkaitan dan dibutuhkan (Purwanto, 2019).
Dari sistem perumusan strategi dan kebijakan, birokrasi tetap perlu menetapkan roadmap sebagai landasan pengoperasian. Akan tetapi, strategi/kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan dalam roadmap hendaknya tidak perlu kaku, fleksibel, dan dapat adaptif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Implikasinya, apabila di tengah pelaksanaan program/kegiatan yang telah direncanakan terjadi kondisi yang tidak diinginkan/gejolak, maka strategi/kebijakan yang dibuat dapat dengan mudah dan tanpa ruwet disesuaikan untuk merespons gejolak yang terjadi.
Dari segi kepemimpinan, pemimpin perlu membuka diri dan merima setiap perubahan yang terjadi dengan menetapkan tujuan dan strategi yang telah dimodifikasi. Pemimpin tidak lagi menjadi barier, melainkan menjadi pendorong organisasi untuk dapat beradaptasi.
Dari segi SDM, perlu adanya pelatihan-pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas sesuai dengan perkembangan zaman dan membentuk pola pikir birokrat untuk dapat tetap bertumbuh di tengah gejolak yang terjadi.
Terakhir, dari segi sistem tata kelola, pemerintah perlu memperkuat pola kolaborasi dan mendorong partisipasi aktif masyarakat. Kolaborasi dan partisipasi masyarakat menjadi modal penting untuk membantu pemerintah melaksanakan kebijakan-kebijakan baru dalam rangka mengatasi gejolak yang terjadi di era VUCA.
Artikel Lainnya
-
170308/10/2020
-
46031/08/2024
-
16819/03/2025
-
Tolak Tambang: Keharusan, Bukan Pilihan!
127812/01/2020 -
46602/09/2023
-
73513/04/2023