Antara Beras Miskin, Beras Kaya, dan Pengkhiatan Pancasila

Sembako bakal dipajaki. Jasa penyelenggaraan pendidikan juga. Siapa yang tidak kaget mendengar berita ini? Jangankan rakyat papa, bendahara negara pun kaget dibuatnya.
Meski sama-sama kaget, tapi penyebabnya beda. Rakyat kaget karena bahan pokok yang tanpa dibebani pajak pun sudah susah didapat, apalagi nanti jika sudah kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Lain halnya dengan Bu Menteri. Ia kaget lantaran Draf Revisi Kelima Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) bocor ke publik.
Karena sudah bocor, akhirnya jadi geger. Publik bereaksi. Sebagian besar menentang. Pemerintah memberi klarifikasi bahwa itu baru rencana dan tidak untuk diberlakukan dalam waktu dekat ini. Katanya, pemerintah saat ini masih fokus membenahi ekonomi yang porak poranda dihajar pandemi.
Belakangan, Direktorat Jenderal Pajak memberi penjelasan mengapa mereka berencana memajaki beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, gula konsumsi, hingga jasa penyelenggaraan pendidikan. Niatnya supaya adil. Yang kaya, yang mampu membeli beras dan daging premium bebas pajak atas segala kemewahannya sama seperti yang miskin yang makan beras dan daging kelas sekian. Padahal, sang kaya mampu bayar pajak.
Sampai pada titik ini, boleh jadi terdengar adil. Namun, bila kalimatnya dilanjutkan, "Sang miskin, untuk setiap sendok nasi kelas sekian yang dimakannya, harus pula membayar pajak sama seperti sang kaya dengan nasi premiumnya". Apakah ini terdengar adil?
Jika adil dipahami sebagai sama rata, skema seperti ini adil. Miskin atau kaya sama saja di mata negara. Sama-sama harus bayar pajak atas beras dan daging yang dimakannya. Tapi, buat saya adil bukanlah sama rata, melainkan proporsional. Adil adalah soal takaran. Apakah adil bila uang saku siswa Sekolah Dasar kelas III disamaratakan dengan uang saku siswa Sekolah Menengah Atas kelas XII?
Saya setuju orang kaya dibebani banyak pajak. Di negeri ini, dan di banyak belahan dunia lain, yang membuat seseorang kaya bukan semata-mata karena ia giat kerja atau gila usaha. Kalau pun ada, orang semacam itu jumlahnya tidaklah banyak. Sistem adalah yang terutama membuat orang kaya makin kaya (dan berhak suka-suka). Sementara yang miskin tetap (bahkan makin) miskin (dan jangan banyak ingin). Oleh karenanya, membebani para crazy rich dengan sederet beban pajak adalah sebanding dengan keuntungan yang mereka peroleh dari sistem ekonomi kapital (yang terus membesarkannya) yang kini berlaku di dunia, termasuk Indonesia.
Kaya dan mewah tentu tidak dilarang. Tiap hari makan nasi berbahan beras premium kelas wahid dan makan daging sapi Wagyu yang harganya bisa sampai Rp800 ribu per kilo gram sungguh bukan suatu perbuatan tercela. Membebankan pajak untuk segenap kemewahan itu juga bukan suatu yang tidak patut. Malah wajar dan boleh jadi harus. Lagi pula, sang kaya tentu mampu dan tidak akan jatuh miskin hanya karena membayar pajak sembako.
Namun, tidak demikian dengan sang miskin. Apalagi mereka yang berpenghasilan tak menentu. Sang miskin yang tak pernah bayar pajak karena memang tidak memiliki suatu apa pun sebagai objek pajak, kelak harus membayar pajak untuk satu butir telur yang dibelinya di warung buat sarapan sekeluarga. Teknis bayar PPN memang tidak ribet. Ia sudah termasuk ke dalam harga sebutir telur itu. Ya, hanya harganya saja yang naik.
Pengkhianatan Pancasila
Berdasarkan asas keadilan dalam arti proporsional, skemanya bisa saja begini: sembako yang kelak dikenai PPN adalah sembako tertentu yang hanya di jual di tempat tertentu. Artinya, tidak tiap-tiap sembako dikenai PPN. Hanya sembako top class yang dikenai PPN. Sembako kelas ke sekian masih sama seperti hari ini, bebas pajak.
Tapi hal demikian bukan tanpa persoalan. Ketika segmentasi itu betul-betul berlaku, jurang kaya dan miskin akan makin lebar dan kentara. Nantinya, sebagai pasangan Raskin (beras miskin) akan ada Rasya (beras kaya). Akan ada telur kaya dan telur miskin. Akan ada buah-buahan kaya dan buah-buahan miskin. Kalau sudah begitu, percuma Indonesia punya Pancasila. Atau dalam bahasa lain, Pancasila telah dikhianati secara terang-terangan.
Kenyataan hari ini di Tanah Air, hal demikian sebenarnya sudah terjadi. Bahkan sudah sejak lama. Mungkin juga sejak adanya peradaban manusia. Kaya dan miskin bak dua sisi koin. Tapi, justru karena itulah manusia bermufakat mengelola hidup bersama, agar jurangnya tidak terlalu lebar. Justru karena itulah manusia bernegara dan mempercayakan pengelolaannya kepada pemerintah.
Pancasila sudah sangat terang menyebutkan itu, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Mengapa poin keadilan sosial ini berada di sila kelima? Tidak di sila kedua, ketiga, atau keempat? Sebab sila kelima ini adalah tujuan nan jauh di sana. Boleh jadi utopis. Tapi, justru karena “ngawang-ngawang”, justru karena “tak mungkin”, maka bangsa dan negara Indoensia harus terus berusaha menjadikannya mungkin agar makin dekat dengan pasti. Terus berusaha. Terus berusaha!
Artikel Lainnya
-
140916/06/2020
-
142910/05/2020
-
210509/09/2019
-
Menepis Susutnya Empati Publik Bagi Kelompok Rentan
92822/07/2022 -
Keterikatan Indonesia dalam Belt Road Initiative (BRI): Manfaat atau Malapetaka?
86501/01/2024 -
213803/01/2020