Antara Air dan Janji: Ketika Iklan Produk Lebih Jujur dari Iklan Politik

Marine Inspector di Jakarta
Antara Air dan Janji: Ketika Iklan Produk Lebih Jujur dari Iklan Politik 01/11/2025 10 view Ekonomi Tempo.co

Beberapa waktu terakhir publik kembali memperdebatkan soal Aqua, merek air minum dalam kemasan yang selama puluhan tahun menempel di benak masyarakat lewat slogan “Air Pegunungan yang Murni.” Sebagian menilai klaim itu menyesatkan, karena faktanya air Aqua bukan berasal langsung dari mata air pegunungan, melainkan dari sumber air tanah yang diproses secara industri. Sekilas persoalan ini tampak sederhana: soal kejujuran iklan. Namun di baliknya tersimpan ironi yang jauh lebih besar. Mengapa masyarakat begitu cepat menghakimi Aqua, sementara terhadap janji-janji politik yang jauh lebih besar dan berdampak luas, kita begitu mudah memaafkan?

Tulisan ini lahir dari perbandingan sederhana antara Aqua dan Jokowi. Yang satu menjual air, yang satu menjual harapan. Yang satu iklan komersial, yang satu iklan politik. Namun keduanya sama-sama menyampaikan informasi publik yang dipercaya dan ditelan masyarakat sebagai kebenaran. Baik iklan produk maupun janji politik memiliki kesamaan mendasar: keduanya adalah bentuk komunikasi publik yang bertujuan mempengaruhi. Bedanya hanya pada objek dan ruangnya. Aqua menjual produk fisik, sementara politik menjual imajinasi. Aqua menampilkan citra pegunungan yang sejuk, jernih, dan alami. Jokowi menampilkan citra pemimpin sederhana yang akan membawa bangsa menuju kemakmuran. Keduanya sama-sama membangun kepercayaan publik. Namun jika Aqua menjanjikan fungsi yang bisa diuji secara langsung—airnya bisa diminum, kualitasnya bisa diteliti—maka janji politik menawarkan sesuatu yang jauh lebih abstrak: masa depan. Dan di sinilah perbedaan mendasar antara iklan yang diuji dengan produk dan janji yang diuji dengan waktu.

Aqua mungkin tidak seutuhnya murni dari pegunungan, namun air itu tetap layak diminum. Ia melewati proses yang higienis, memenuhi standar kesehatan, dan secara nyata memberi manfaat sosial dan ekonomi. Industri Aqua menyerap ribuan tenaga kerja, memberikan pemasukan pajak kepada negara, serta menjalankan program CSR yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Artinya, walaupun iklannya membangun citra yang lebih romantis daripada kenyataan, janji Aqua tetap terukur dan nyata. Jika pun ada kekeliruan dalam pesan iklan, masih ada lembaga seperti YLKI yang berhak menegur, menilai, dan mengoreksi. Ada mekanisme etik dan hukum yang mengatur, sehingga perusahaan tidak bisa sembarangan menjual klaim tanpa dasar.

Sebaliknya, janji politik hidup di wilayah yang jauh lebih longgar. Ketika Jokowi berjanji menghadirkan 6.000 unit mobil Esemka, mendatangkan investasi 11 ribu triliun, atau membuat ekonomi meroket, yang dijual bukan fakta, melainkan imajinasi tentang masa depan. Dalam dunia komunikasi politik, ini disebut “iklan imajinatif,” sebuah strategi yang menjual keyakinan, bukan hasil. Masalahnya, ketika janji-janji itu tak terwujud, tidak ada lembaga etik yang berwenang menegur atau memberi sanksi. Publik mungkin kecewa, tapi tak punya ruang hukum untuk menuntut. Tidak ada “YLKI politik” yang bisa memanggil presiden atau partai untuk mempertanggungjawabkan janji yang gagal ditepati. Padahal jika diukur dari dampak, kebohongan politik jauh lebih besar pengaruhnya terhadap nasib rakyat daripada iklan air minum yang berlebihan.

Anehnya, publik justru lebih keras terhadap Aqua. Kita marah karena merasa tertipu iklan, padahal produk itu nyata, berguna, dan aman dikonsumsi. Namun terhadap janji politik yang tak kunjung terbukti, kita begitu mudah memaklumi—seolah-olah kegagalan adalah bagian wajar dari kekuasaan. Inilah ironi sosial kita. Kita berani mengkritik korporasi, tetapi enggan menegur kekuasaan. Padahal keduanya sama-sama pelaku komunikasi publik yang menyebarkan informasi untuk mempengaruhi masyarakat. Bedanya, perusahaan tunduk pada regulasi, sementara kekuasaan sering berlindung di balik narasi.

Jika negara diibaratkan sebagai pasar gagasan, maka rakyat adalah konsumen utama. Rakyat membeli janji dengan suara dan harapan, sebagaimana konsumen membeli produk berdasarkan iklan. Maka rakyat juga berhak mendapatkan perlindungan yang sama seperti konsumen: hak atas informasi yang benar dan tidak menyesatkan, hak atas janji yang realistis dan dapat diverifikasi, serta hak atas pertanggungjawaban moral ketika janji gagal ditepati. Namun hingga kini, belum ada lembaga etik publik yang menegur pemimpin politik karena janji yang terbukti palsu atau tak masuk akal. Rakyat hanya bisa mengeluh di media sosial, atau menunggu pemilu berikutnya untuk “menghukum” lewat suara. Padahal, kerugian akibat kebohongan politik bisa jauh lebih besar daripada kesalahan label sebuah produk.

Jika ditimbang secara jujur, perbedaan tanggung jawab moral terlihat jelas. Aqua menjanjikan produk yang nyata dan bisa diuji kualitasnya. Jokowi menjanjikan masa depan yang sulit diukur dan diverifikasi. Aqua bisa disanksi jika menyesatkan publik, sementara Jokowi dan partai politik tak memiliki sanksi etik yang sepadan ketika janji-janji mereka gagal. Dari sisi dampak, iklan produk hanya memengaruhi keputusan pembelian, sementara iklan politik menentukan arah kebijakan dan kehidupan berbangsa. Artinya, beban moral kejujuran seharusnya justru lebih besar di tangan politisi.

Dalam etika komunikasi, kata bukan hanya alat bicara, melainkan alat membentuk realitas. Ketika seorang pemimpin berbicara, kata-katanya menjadi kredo moral bagi rakyat yang percaya. Maka janji politik yang tak ditepati bukan sekadar kegagalan administratif, tetapi pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Ketika dusta politik dianggap wajar, yang rusak bukan hanya kredibilitas seseorang, tapi juga moral bangsa. Kita akhirnya hidup dalam kebiasaan baru: berbohong dengan alasan “politik memang begitu.” Padahal kejujuran adalah dasar tertinggi dalam setiap bentuk komunikasi publik, apa pun skalanya.

Pertanyaan pun muncul: jika YLKI bisa menegur perusahaan karena klaim iklan yang menyesatkan, mengapa rakyat tidak bisa menegur pemimpin karena janji yang gagal? Padahal secara hakikat, keduanya sama-sama informasi publik yang dipercaya masyarakat. Jika Aqua dianggap menipu karena airnya bukan murni dari pegunungan, maka janji politik yang tak murni dari niat jujur juga seharusnya bisa dianggap menipu. Jika YLKI bisa meminta klarifikasi, maka rakyat pun berhak meminta kejelasan: mengapa janji yang diucapkan di panggung kampanye tidak pernah menjadi kenyataan di panggung kekuasaan. Karena rakyat—suka atau tidak—tetap menjadi pihak yang menelan informasi itu sebagai kebenaran.

Kita hidup di zaman ketika air yang bisa diminum dipersoalkan karena dianggap tidak murni, tetapi janji yang tak bisa diminum tetap dielu-elukan karena dibungkus citra politik. Kita menuntut kejujuran dari iklan produk, tetapi membiarkan dusta politik menjadi budaya. Padahal ukuran moral tidak ditentukan oleh siapa yang berbicara, melainkan oleh seberapa benar kata itu diucapkan. Jika Aqua yang memberi manfaat nyata bisa diserang karena citra “air pegunungan,” maka janji politik yang gagal total seharusnya tidak bebas dari pertanggungjawaban moral. Sebab baik iklan maupun janji sama-sama bentuk komunikasi publik yang mempengaruhi keputusan masyarakat. Dan dalam kehidupan bernegara, rakyat bukan sekadar penonton. Rakyat adalah pelanggan politik yang berhak atas kebenaran, bukan sekadar harapan.
- 𝘶𝘮𝘢𝘳𝘴𝘰𝘳𝘪𝘨𝘪𝘯 -

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya