Kerja sebagai Mode Eksistensial Manusia

Pembelajar
Kerja sebagai Mode Eksistensial Manusia 10/06/2023 435 view Lainnya Pixabay

Seperti yang kita ketahui bersama, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, manusia butuh bekerja. Tidak peduli apakah itu pekerjaan bergengsi, pekerjaan kantoran atau pekerjaan serabutan, yang penting bisa menghasilkan uang. Mungkin hanya orang dari keturunan keluarga yang sangat kaya raya atau orang yang dapat warisan yang banyak, yang tidak perlu bekerja. Tapi itu pun kalau ia tidak punya managemen keuangan yang baik maka uangnya akan cepat habis. Jadi meskipun kita dari keluarga yang kaya raya dan dapat begitu banyak warisan, tetap diperlukan sikap mau turun tangan (kerja) untuk mengatur itu semua. Mendistribusikan dana ini untuk bisnis ini dan dana itu untuk bisnis itu. Jelas sudah bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa kerja.

Selain karena faktor ekonomi, bekerja juga merupakan bentuk pemenuhan kebutuhan yang lebih dalam (batin). Dalam analisis teori kebutuhannya Maslow, pada lapis bawah, bekerja berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar-- seperti sandang, pangan, dan papan. Adanya rasa aman dan jaminan kesehatan agar bisa menikmati hari tua dengan nyaman. Namun kalau kita teliti lebih lanjut, ia juga masuk dalam dimensi yang lebih tinggi menyangkut adanya pemenuhan ihwal aktualisasi diri, yakni sebuah kegiatan yang bertujuan untuk mengoptimalkan seluruh potensi dan keterampilan yang ada dalam diri manusia.

Maka manusia perlu menghidupkan hari-harinya dengan kerja guna pemenuhan kebutuhan jiwa terdalamnya.

Dalam perspektif lain, bekerja juga bisa menjadi jalan bagi manusia untuk menemukan makna dalam hidupnya (selain lewat agama atau kepercayaan). Kita ketahui bersama masalah menemukan makna hidup adalah hal yang sangat krusial, lebih-lebih untuk era massifnya penyebaran informasi seperti sekarang ini. Di berbagai belahan dunia terjadi yang namanya alienasi, depressi, cemas yang berlebih dan gangguan mental lainnya. Maka dengan bekerja manusia dapat menangkal penyakit-penyakit mental tersebut.

Setidaknya pikiran dan tubuhnya digunakan untuk hal positif. Pikiran kalau dibiarkan kosong tanpa simulasi dengan kegiatan yang melibatkan gerak akan menyebabkan penyakit mental.

Bekerja, meskipun kadang membuat kita stress tidak dipungkiri juga menjadi salah satu faktor yang membuat manusia bahagia. Sebab apa? Sudah menjadi fitrah manusia untuk mendayagunakan kemampuan yang ada dalam dirinya. Kalau potensi dalam dirinya tidak bisa termanifestasikan maka hidupnya akan tersiksa. Itu menjadi sebuah tragedi yang sangat ironis, bagaimana bisa potensi besar tapi tidak berkembang karena kemalasan? Padahal manusia adalah khalifah Tuhan di bumi ini, di mana ia diamanati untuk melakukan penyelenggaran kehidupan dengan baik.

Pengorganisasian dan manajemennya harus tepat dan seimbang. Kalau pengorganisasiannya tidak tepat dan manajemennya pincang maka tunggulah bencana itu akan datang menimpanya. Misalnya, bencana kebodohan dan kemiskinan. Oleh sebab itu manusia harus selalu melakukan upgrade, check and balance dalam setiap melakukan pekerjaannya.

Telah banyak menjadi contoh di mana karena kesombongannya manusia malah menghancurkan dirinya sendiri. Tersebab karena apa-apa dinilai dari sudut pandangnya saja padahal ada berbagai macam perspektif dalam menilai sesuatu. Bagai katak dalam tempurung. Dia hanya mengakui pendapatnya saja tanpa mau mendengarkan atau mengambil pelajaran dari orang lain. Ini bukanlah sikap yang tepat. Yang kita butuhkan adalah sikap yang moderat. Dengan bekal kerendahhatian dan etos untuk terus mau belajar akan menjadikan kita menjadi seorang murid. Artinya orang yang berkehendak akan munculnya pengetahuan.

Kembali lagi ke masalah kerja. Ada sebuah kisah dari seorang pensiunan baru, di mana hidupnya mengalami perubahan drastis. Hari-hari pertama ia mengalami shock. Bahkan ada yang sampai sakit. Karena apa? Orang yang sudah biasa bekerja tiba-tiba disuruh berhenti pasti akan mengalami goncangan jiwa. Orang yang sudah terbiasa melakukan kegiatan A tapi sekarang sudah tidak bisa melakukannya, pasti ada kekosongan dalam jiwanya. Sama seperti sopir kontainer yang melaju dengan kencang tiba-tiba mengerem mendadak pasti isi di dalam kontainer akan berantakan.

Serupa itu analogi yang terjadi pada jiwa manusia. Tapi kabar baiknya adalah manusia selalu punya cara untuk menyesuaikan diri dengan perubahan (bagi yang memang mau berubah). Saya bilang “bagi” karena itu sudah default manusia untuk selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan, kalau tidak begitu, ras manusia sudah dari zaman dulu punah.

Bahkan saat pensiun sekalipun manusia tidak bisa lepas dari yang namanya kerja. Yang saya maksud adalah dengan melakukan aktivitas lainnya, semisal berkebun, merawat binatang atau melukis. Kalau tidak begitu mental manusia akan tersuruk. Karena kerja adalah sebuah gerak. Hidup ini sendiri adalah gerak, dinamika, aliran. Kalau ada orang yang tidak bekerja sama artinya ia menjadi orang mati. Kalau ada orang yang tidak bekerja maka ia menjadi orang statis, mematikan aliran gerak dalam hidupnya. Dan barang siapa dengan sengaja membuntu aliran suatu saat pasti akan jebol juga. Jadi, manusia juga tidak akan tahan jika tidak melakukan apa-apa.

Dalam sebuah hadis Nabi dijelaskan bahwa jika dunia ini ibarat sebuah kebun maka ada lima hal yang menjadi penghiasnya yaitu; lmunya ulama, adilnya pemimpin, ibadahnya hamba, jujurnya para pedagang dan disiplinnya para pekerja (etos professional).

Demikianlah bekerja dengan sungguh-sungguh adalah cerminan muslim yang baik. Tulisan ini semoga menjadi pemantik kesadaran bagi saudaraku yang sedang putus harapan karena beban hidup yang sedemikian beratnya. Yakinlah, tetap bekerja dengan sungguh-sungguh. Tetap berusaha, terus melangkah, yakin di depan sana ada jalan keluar dari masalahmu.

Demikianlah, bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan material tapi juga kebutuhan spiritual dalam diri manusia. Kebutuhan yang paling dalam dari jiwa manusia adalah menyapa keterasingan jiwanya sendiri. Memompa gairah hidup dan menyalakan api dalam dirinya supaya tahan menghadapi kerasnya hidup ini. Rene Descartes, filsuf Perancis, punya ungkapan terkenal: “Aku berpikir maka aku ada”, maka tidak berlebihan jika ada ungkapan lain-- jika kita sudah bekerja dengan kerasnya, “Aku bekerja maka aku ada”.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya