Amnesti dan Abolisi Jelang HUT RI ke-80: Menimbang Penegakan Hukum dan Keadilan

Junior Lawyer
Amnesti dan Abolisi Jelang HUT RI ke-80: Menimbang Penegakan Hukum dan Keadilan 24/08/2025 173 view Hukum suara.com

Menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke-80, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan pemberian amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, yang disetujui DPR pada 31 Juli 2025, menuai kritik tajam dari berbagai pihak karena dianggap melemahkan penegakan hukum, terkhusunya pemberantasan korupsi.

Melalui Supres Nomor 42/PRES/07/2025, pesiden Prabowo mengusulkan pemberian amnesti kepada kepada 1.116 terpidana, termasuk Hasto Kristiyanto yang dihukum 3,5 tahun penjara karena terlibat dalam kasus suap kepada Anggota KPU Wahyu Setiawan untuk meloloskan Harun Masiku menjadi Anggota DPR melalui mekanisme pergantian antarwaktu. Sementara itu, Supres Nomor R43/PRES/07/2025, abolisi diberikan kepada Tom Lembong yang sebelumnya divonis hukuman 4,5 tahun penjara dalam kasus impor gula tahun 2015–2016 dan sedang menempu upaya hukum banding. Sesuai Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 dan UU Darurat No. 11 Tahun 1954, amnesti membebaskan Hasto dari hukumannya. Sedangkan, abolisi, membebaskan Tom Lembong dari segala tuntutan hukum.

Pemerintah menyebut pemberian amnesti dan abolisi merupakan upaya perdamaian nasional dan rekonsiliasi politik pasca Pemilu 2024. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan, "Sekaligus mempertimbangkan untuk membangun bangsa ini secara bersama-sama dengan seluruh elemen politik, kekuatan politik yang ada di Indonesia”. Meski begitu, alasan ini tidak serta-merta diterima oleh publik, sebaliknya kebijakan tersebut menuai keritik keras dari berbagai pihak.

Timbulnya keritikan keras karena kebijakan tersebut dinilai dapat melemahkan supermasi hukum. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), menganggap tuntutan dan pengampunan hukuman semacam ini dapat menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum, khususnya dalam kasus korupsi yang seharusnya diproses melalui mekanisme peradilan yang independen. “Pemberian abolisi dan amnesti dalam perkara yang sarat muatan politik, seperti kasus yang menimpa Tom Lembong, dan dugaan tindak pidana korupsi, seperti kasus Hasto Kristiyanto, menimbulkan kekhawatiran serius,” kata Direktur Eksekutif PSHK Rizky Argama.

Kritik serupa disampaikan oleh organisasi Indonesia Corruption Watch (ICW), yang menilai kebijakan presiden Prabowo tergolong prematur, berbahaya bagi masa depan pemberantasan korupsi dan tatanan hukum Indonesia. Peneliti ICW, Yassar Aulia mengatakan kebijakan seperti ini dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh para koruptor dikemudian hari. Menurut dia, penerapan amnesti dan abolisi dalam perkara korupsi tergolong sangat jarang dipraktekan di Indonesia, bahkan belum pernah terjadi sebelumnya.

Merujuk pada informasi yang dihimpun Tempo, sejak presiden Sukarno hingga presiden Joko Widodo, praktek pemberian amnesti dan abolisi pada umumnya diberikan kepada narapidana yang terlibat dalam kasus pemberontakan atau gerakan yang mengakibatkan terganggunya stabilitas politik negara dan keamanan nasional. Berikut ini praktik pemberian amnesti dan abolisi dalam sejarah Indonesia: Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 449 Tahun 1961 memberikan amnesti dan abolisi umum kepada Pimpinan dan Anggota PRRI-Permesta dan Pemberontakan Aceh.

Presiden Soeharto, melalui Keppres 1977, memberikan amnesti dan abolisi kepada para pengikut gerakan Fretelin di Timor Timur, baik di dalam maupun luar negeri.

Presiden BJ Habibie memberikan amnesti kepada 18 tahanan politik kasus demo di Timor Timur yang dulunya ditangkap karena telah menghina Presiden Soeharto.

Presiden Gus Dur, memberikan amnesti kepada Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) serta aktivis HAM, Budiman Sudjatmiko, yang dipenjara saat Orde Baru atas tuduhan menjadi dalang kerusuhan peristiwa 27 Juli 1996.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), memberikan amnesti kepada seluruh pihak yang terlibat dalam aktivitas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai bagian dari proses perdamaian di Aceh. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2005.

Presiden Jokowi memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi, seorang dosen Universitas Syiah Kuala Aceh yang dijerat dengan UU ITE karena mengkritik hasil penerimaan CPNS di universitas tersebut pada 2018. Walaupun belum ada praktik pemberian amnesti dan abolisi dalam kasus korupsi, sebagian pihak mendukung kebijakan yang dikeluarkan presiden Prabowo.

Gibran Center Sulsel mendukung keputusan yang diambil presiden Prabowo yang memberikan amnesti dan abolisi kepada kedua tokoh nasional tersebut. Mereka menilai langkah tersebut sebagai bentuk implementasi mekanisme konstitusional sekaligus solusi sosiologis demi menjaga harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekretaris Gibran Center Sulsel, Illank Radjab menyatakan, “Negara memang diberikan ruang untuk mengambil kebijakan luar biasa demi merawat keadilan dan stabilitas nasional”.

Senada dengan Gibran Center Sulsel, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) menyebut keputusan presiden Prabowo tersbut membawa perdamaian nasional di tengah dinamika yang terjadi belakangan ini. Wakil Ketua Umum PKN, Gerry Habel Hukubun menilai keputusan presiden Prabowo tersebut memiliki dampak positif pada tren politik yang terjadi sekarang. Selain itu, keputusan ini juga memicu perdebatan sengit di media sosial.

Perdebatan terus bergulir di media sosial X, menunjukan polarisasi yang signifikan. Akun X @nakal_33, dalam mengomentari postingan media pemberitaan @NarasiNewsroom, menyatakan, “Korupsi diganjar abolisi. Suap dibersihkan amnesti. Yang miskin dikejar bansos, yang nyolong negara malah dipeluk negara. Hukum tinggal formalitas, keadilan cuma opsi. Selamat datang di republik dagelan, di mana narasi lebih penting dari Nurani”. Masih pada postingan yang sama, akun X @negtivisme turut memberikan komentar. “tapi untuk koruptor ini, jangan ada ampun deh”. Namun, pengguna media sosial X lainnya meberikan dukungan terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, sebagai upaya mendorong perdamaian nasional.

Sebagian pengguna media sosial X menilai kebijakan pemberian amnesti dan abolisi kepada kedua tokoh politik tersebut merupakan langkah strategis dalam penegakan hukum. Akun @AniAspara45265, dalam menanggapi postingan pakar hukum tata negara, Prof. Mahfud MD yang mendukung kebijakan presiden Prabowo, menyatakan, “ALHAMDULILLAH. INDAH BANGET LANGKAH ‘PS08’. AMNESTI DAN ABOLISI”. Pada postingan yang sama, akun X @yohanes_endy ikut memberikan komentar. “Puji Tuhan, Alhamdulilah,sudah saatnya pak prabowo di angkat jadi pahlawan”. Meski mendapat dukungan dari Mahfud MD, pakar hukum lain justru berbeda pendapat.

Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, menilai bahwa pemberian abolisi dan amnesti dalam kasus korupsi seharusnya tidak dilakukan melalui jalur politik, melainkan jalur hukum formal. "Kasus ini kan kasus hukum, bukan politik," ujarnya.

Kebijakan ini juga dinilai dapat mengoyak komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah, Adi Prayitno, menyebut alasan pemberian abolisi dan amnesti tersebut sebagai upaya untuk menjaga kondusivitas politik semata. Namun, pihak Istana Kepresidenan menjelaskan lebih lanjut bahwa kebijakan tersebut diambil untuk menjunjung prinsip persatuan dan gotong royong, dengan tujuan untuk mempersatukan seluruh elemen bangsa. Wakil Menteri Sekretaris Negara, Juri Ardiantoro, menyatakan bahwa pemberian amnesti dan abolisi dilakukan dalam rangka mempererat hubungan antar warga negara, khususnya menjelang peringatan kemerdekaan.

Pemberian amnesti dan abolisi kepada Hasto dan Tom Lembong oleh presiden Prabowo menjelang HUT RI ke-80, merupakan upaya ambisius pemerintah dalam merajut persatuan nasional dan rekonsiliasi politik pasca Pemilu 2024. Namun, kebijakan ini juga memicu polarisasi tajam, di mana sebagian orang menganggap kebijakan yang dikeluarkan presiden Prabowo merupakan cerminan kehadiran negara dalam penegakan hukum yang berkeadilan, sementara yang lainya menunjukan kekhawatiran mengenai impilkasi hukum dari kebijakan tersebut terhadap pemberantasan korupsi dan supermasi hukum.

Oleh karena itu, untuk menjaga kepercayaan publik dan integritas sistem hukum, pemerintah harus memberikan penjelasan yang jelas, terbuka, dan berbasis fakta mengenai alasan dibalik kebijakan ini, termasuk bagaimana amnesti dan abolisi diterapkan selaras dengan prinsip keadilan. Lebih jauh lagi, diperlukan pembentukan UU baru yang mengatur secara ketat syarat dan prosedur mengenai pemberian amnesti dan abolisi, terkhususnya dalam kasus korupsi. Regulasi ini juga dapat memastikan hak prerogatif presiden tidak disalahgunakan. Dengan demikian, kebijakan serupa di masa depan dapat diimplementasikan secara adil dan tidak memicu kontroversi yang merugikan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya