Adab atau Feodal? Menguak Budaya Pesantren dan Teladan Kritis KH Hasyim Asy’ari

Di tengah dinamika masyarakat modern Indonesia, pondok pesantren sering menjadi sorotan. Lembaga pendidikan Islam tradisional ini, yang telah menjadi pilar pembentukan karakter bangsa sejak era kolonial, kini kerap dituduh sebagai benteng feodalisme. Kritik ini muncul dari struktur hierarkis yang ketat antara kyai dan santri, di mana pengabdian santri sering dianggap sebagai eksploitasi berbalut agama. Namun, apakah benar demikian? Atau justru ini adalah manifestasi adab akhlak yang murni, seperti yang diajarkan dalam tradisi Islam? Artikel ini akan menguak budaya pesantren melalui lensa feodalisme versus adab, dengan menjadikan KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan Pondok Pesantren Tebuireng—sebagai teladan kritis. Berdasarkan analisis data historis dan kontemporer, kita akan melihat bagaimana hierarki pesantren bisa menjadi alat pendidikan mulia, bukan penindasan.
Feodalisme, sebagai konsep, merujuk pada sistem sosial-ekonomi di mana kekuasaan terkonsentrasi pada elite (seperti tuan tanah) yang mengontrol bawahan melalui ikatan ketergantungan. Di Eropa Abad Pertengahan, vassal atau serf terikat pada lord melalui kerja paksa dan kesetiaan, tanpa banyak ruang untuk kritik atau mobilitas sosial. Dalam konteks pesantren, istilah ini digunakan secara metaforis untuk mengkritik budaya "ngabdi" santri kepada kyai. Santri, sebagai siswa asrama, sering diwajibkan melakukan tugas-tugas seperti membersihkan rumah kyai, mengurus kebun, atau menjadi asisten pribadi, semua dengan dalih mencari "berkah" atau pengabdian spiritual. Kritikus melihat ini sebagai eksploitasi, di mana santri seperti "kuli" yang bekerja tanpa upah, sementara kyai menikmati posisi tak tergugat. Terutama di pesantren tradisional berbasis NU di Jawa, budaya ini dianggap sebagai warisan feodalisme pra-Islam yang bercampur dengan tradisi Jawa, seperti konsep patron-klien di kerajaan kuno.
Kasus-kasus negatif memperkuat tuduhan ini. Beberapa tahun terakhir, media sosial ramai dengan berita kekerasan di pesantren, seperti perundungan antar-santri senior-junior atau bahkan pelecehan yang tidak terungkap karena hierarki membuat santri enggan melapor. Contohnya, dalam diskusi online, netizen sering menggeneralisasi bahwa struktur pesantren menghambat transparansi, di mana kyai dianggap "suci" dan kebal kritik. Ini mirip dengan feodalisme, di mana bawahan takut menentang tuan karena risiko sosial atau ekonomi. Di pesantren, santri yang keluar atau mengkritik bisa dianggap "kurang berkah" atau bahkan dikucilkan dari komunitas. Namun, data menunjukkan bahwa tidak semua pesantren seperti itu. Pesantren modern, seperti yang berbasis Muhammadiyah atau Salafi, cenderung lebih egaliter, tanpa pengagungan berlebih pada kyai. Kritik feodalisme lebih sering ditujukan pada pesantren NU, di mana tradisi "cium tangan" atau "cium kaki" kyai dilihat sebagai simbol ketidaksetaraan.
Meski demikian, pembela pesantren menolak label feodalisme dengan tegas. Mereka berargumen bahwa hierarki ini bukan paksaan, melainkan sukarela dan bertujuan pendidikan. Santri memilih masuk pesantren untuk belajar ilmu agama, dan pengabdian adalah bagian dari proses membangun karakter—seperti kesabaran dan kerendahan hati. Ini berbeda dari feodalisme, di mana ikatan bersifat paksaan ekonomi; di pesantren, santri bisa keluar kapan saja tanpa hutang atau ancaman hukum. Fenomena berdiri menghormati kyai, misalnya, bukan tanda feodal, tapi sopan santun yang membentuk akhlak. Kritik netizen sering kali berasal dari ketidakpahaman, di mana mereka membandingkan pesantren dengan sekolah sekuler yang lebih horizontal, tanpa memahami konteks spiritual Islam.
Inilah yang membawa kita ke konsep adab akhlak, yang menjadi pembeda utama antara feodalisme dan budaya pesantren sejati. Adab, dalam tradisi Islam, adalah etika perilaku yang mencakup penghormatan kepada guru (ta'zim) sebagai pewaris ilmu Nabi Muhammad SAW. Hadis seperti "Barangsiapa yang belajar ilmu, maka hormatilah guru-gurunya" menjadi dasar. Di pesantren, adab ini diterapkan melalui pengabdian, tapi bukan taat buta—melainkan timbal balik. Kyai bertanggung jawab melindungi dan mendidik santri, sementara santri menghormati sebagai bentuk ikhlas. Adab beragam: ada yang kritis, di mana santri boleh bertanya dan berbeda pendapat, serta yang diam untuk fokus introspeksi. Ini bukan hierarki kaku seperti feodalisme, tapi alat pembentukan akhlak mulia.
Penyalahgunaan adab inilah yang memunculkan tuduhan feodal. Ketika penghormatan menjadi pengkultusan, di mana kyai tak boleh dikritik meskipun salah, maka sistem berubah jadi otoriter. Di pesantren NU, guru sebenarnya mengajarkan hormat tanpa tuntutan, tapi budaya Jawa kadang membuatnya tampak seperti kasta. Data dari diskusi akademik menunjukkan bahwa adab akarnya dari Islam klasik, bukan feodalisme lokal. Hormat guru adalah keharusan, tapi tidak berlebihan hingga menutup kritik. Inilah yang membedakan: feodalisme lahir dari ketakutan dan paksaan, sementara adab dari cinta dan ilmu.
Untuk mengilustrasikan adab yang kritis, mari kita lihat teladan KH Hasyim Asy’ari (1871–1947). Sebagai kyai legendaris, beliau bukan hanya pendiri NU pada 1926, tapi juga penulis kitab Adab al-Alim wa al-Muta'allim yang menjadi panduan etika guru-murid di pesantren. Kitab ini membahas 10 adab diri pelajar—seperti membersihkan hati dari penyakit ruhani dan niat ikhlas belajar—serta 12 etika murid terhadap guru, termasuk memilih guru berilmu dan menghormati tanpa berlebih. Pemikiran beliau condong tasawuf, fokus pada pembentukan akhlak melalui introspeksi, bukan pengabdian buta.
KH Hasyim sendiri adalah santri yang taat pada guru-gurunya, seperti Syaikhona Kholil Bangkalan, tapi tidak ragu kritis dan inovatif. Saat mendirikan NU, beliau mengadaptasi pesantren dengan tantangan kolonial Belanda, menggabungkan ilmu agama dengan perlawanan nasionalis. Ini menunjukkan adab bukan taat buta: santri harus utamakan hikmah, akal sehat, dan Al-Qur'an di atas guru. Beliau ajarkan pemahaman hadis untuk akhlak mulia, bukan pengagungan pribadi. Di Tebuireng, santri diajari tindakan baik secara timbal balik—kyai melindungi, santri menghormati—sehingga menghindari feodalisme.
Relevansi pemikiran KH Hasyim hari ini sangat besar. Di era digital, tuduhan feodalisme bisa ditepis jika pesantren mengadopsi adab kritis seperti beliau: pertahankan hormat guru, tapi tambah ruang kritik dan transparansi. Santri harus didorong memahami dalil sendiri, bukan taklid buta. Ini bisa mencegah kasus negatif, seperti kekerasan, dengan mekanisme pelaporan yang adil.
Kesimpulannya, budaya pesantren bukan inheren feodal, tapi bisa jadi jika adab akhlak disalahgunakan. Teladan KH Hasyim Asy’ari membuktikan bahwa hierarki bisa jadi alat pendidikan kritis, membangun akhlak santri yang mandiri. Untuk masa depan, pesantren perlu reformasi: integrasikan adab klasik dengan nilai modern seperti kesetaraan dan akuntabilitas. Dengan begitu, pesantren tetap relevan sebagai pusat pembentukan bangsa, bukan sasaran kritik.
Artikel Lainnya
-
125331/05/2020
-
241805/08/2020
-
205127/03/2021
-
Menyoal Langgengnya Praktik Kekerasan di Tubuh Kepolisian
107218/09/2022 -
Keterikatan Indonesia dalam Belt Road Initiative (BRI): Manfaat atau Malapetaka?
92301/01/2024 -
Birokrasi Indonesia saat Pandemi Bebaskah dari Patologi?
139613/04/2022