30 Menit yang Berharga Bersama Bapak Hotma Sitompul

Penikmat udara bersih
30 Menit yang Berharga Bersama Bapak Hotma Sitompul 17/04/2025 1521 view Hukum Hotma Sitompul/stimewa

Keheningan tak kunjung pecah, dari malam tenggelam hingga fajar dipanggil pulang, perasaan campur aduk saat ku tahu akan diwawancarai langsung oleh seorang hebat, dia yang dikenal bukan hanya karena kepiawaian menangani perkara, tapi karena kebaikannya yang mengudara hingga ke telinga para malaikat.

12 Juni 2024, setelah jam makan siang, Tuhan dengan rahmatNya yang tak ternilai memberikan 30 menit waktunya yang berharga, mempertemukanku dengan Soko Guru Advokat Indonesia, Bapak Hotma Sitompul.

Aku yang di malam sebelumnya, dalam rangka persiapan diri, sibuk menghapal teori, mengulang-ulang asas, membuka catatan lama mengenai sejarah berdirinya bantuan hukum.

Memaksa semua yang pernah ku pelajari agar masuk ke dalam hipokampus di bagian kecil otakku, seraya membujuk Tuhan agar berkenan membiarkan apa yang ku hapal di malam itu dapat hinggap selamanya, atau setidaknya sesampai aku menunaikan pertemuan dengan Bapak Hotma Sitompul.

Ketika pagi datang, dengan cuaca yang cukup memberi harapan, aku yang mengendarai sepeda motor memulai perjalanan dari Cibubur ke kantor Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron di Sunter Jakarta Utara. Kurang lebih aku akan menempuh satu jam perjalanan, karena berangkat cukup pagi, sehingga akan ada macet di beberapa titik.

Sepanjang jalan, tiada waktu tanpa repetisi, mengulang-ulang apa yang telah dihapal, menerka-nerka pertanyaan sembari menjawab dengan penuh ekspresi hingga tangan kiri ikut bermain, padahal tak satu orangpun yang bertanya.

Ternyata kurang dari satu jam cukup menghantarkan ku sampai ke kantor, apa yang ku hapal, termasuk detail penting telah hinggap di bagian kecil otakku, sehingga apa yang ku harapkan adalah jangan sampai hapalan itu meloncat keluar dari kepalaku dan membuat persiapan menjadi buyar.

Sehingga yang ku lakukan setiba di kantor adalah duduk di kursi tunggu, tepat dekat aquarium besar berisi ikan arwana, dan berdoa tiada henti agar Tuhan kembali mencurahkan kebaikannya dan mengatur segala yang perlu supaya wawancara berjalan dengan lancar.

Aku bertemu dengan satu orang yang akan ikut wawancara, dia bernama Dogan yang ternyata rumahnya lebih jauh dari kesulitanku. Dia tinggal di Depok, berangkat sekitar jam lima subuh, menggunakan kendaraan umum, dan wajahnya masih segar! Sungguh pejuang betul laki-laki ini, kataku dalam hati.

Setelah kami berkenalan, bertanya tentang marga kedua orang tua, dan membahas singkat mengenai asal bona pasogit, dia memulai satu pertanyaan, “Bung, hari ini kita diwawancarai langsung oleh Bapak Hotma Sitompul, gugup gak?”

Yang ku jawab, “Hey bung, seandainya aku bisa mengeluarkan isi kepala ku dan meletakkannya di depan Bung, di sini di atas meja ini, di sebuah piring, itu akan membebaskan lidah ku dari usaha untuk mengatakan apa yang bisa ku pikirkan, karena Bung akan melihat detail isi kepalaku secara rinci, bahwa apa yang ku hapal dari tengah malam sudah mulai hilang, dan itu membuatku lebih gugup bahkan setelah mendengar pertanyaan Bung".

Dan setelah menjawab itu, aku melanjutkan percakapan dan mengatakan dengan pelan,“Bung, lebih baik kita mulai saling bertanya tentang apa yang kita pelajari selama ini, dan hal yang berkaitan dengan wawancara ini, karena aku yakin itulah yang akan ditanyakan nanti, bukan soal gugup atau tidak.”

Yang dia jawab dengan nada yang lebih pelan,“Boleh Bung, tapi tentang materi dan jawaban kita saat wawancara nanti, lebih baik kita simpan baik-baik tanpa mengeluarkan isi kepala. Karena aku yakin, jawabanku bisa berubah setelah diskusi dengan Bung, atau dua orang hukum lainnya yang jawaban kita semua pasti tidak sama, dan itu akan membuat ku bingung.”

"Baik bung”, Jawab ku, “Ternyata bung lebih bijak dan hati-hati dari perkiraanku. Maka dari itu Bung, mari kita saling mendoakan saja, supaya Dewi Keadilan yang ada di tempat ini digantikan tugasnya oleh Dewi Fortuna dewi yang tugasnya membawa keberuntungan kepada orang-orang seperti kita, dan biarkanlah Dewi Keadilan pergi ke ruang-ruang persidangan, karena di sana dia lebih dibutuhkan.”

Bertemu Bapak Hotma Sitompul

Bertemu Bapak Hotma Sitompul adalah bagian dari perjalan hidup yang tak pernah ku rencanakan sebelumnya. Beberapa detail yang ku ingat dalam momen itu, ialah saat kaki ku melangkah masuk ke ruang kerja yang begitu indah dan megah. Aku melihat Bapak duduk dengan elegannya di salah satu sudut ruangan, stelan jas menyatu dengan ketampanannya dilengkapi dasi dengan corak keemasan.

Rambut hitamnya disisir klimis, dengan lis putih yang sangat ikonik di bagian kiri rambutnya. Saya bersumpah demi kebaikan Tuhan hari ini, bahwa saya seperti melihat seorang malaikat, dan berharap bisa hidup lebih lama di sana untuk melihat lebih banyak detail yang indah.

Singkat kata, aku dipersilahkan duduk, di antara lima orang hebat lainnya yang merupakan pengurus LBH Mawar Saron. Dengan lembut, aku bertatap muka dengan Bapak Hotma Sitompul, dengan harapan pikiranku tak buyar pada pertanyaan pertama.

Aku telah mempersiapkan diri layaknya M. Ali yang siap sehabis-habisnya bertarung di ring tinju. Bersiap pula seperti prajurit yang dikirim ke medan pertempuran, apapun akan ku lakukan, karena lebih baik bagi prajurit mati di medan pertempuran dari pada lari dari kenyataan.

Kini keyakinanku sudah berada di puncaknya yang paling tinggi. Segala teori, postulat dan apapun yang berkaitan dengan bantuan hukum, semua sudah siap dikeluarkan, jawaban akan memancar seperti mercusuar yang menerangi lautan.“Ayo Bapak yang baik, pertanyaan hukum apa yang hendak engkau tanyakan? Akan ku jawab sebaik mungkin. Kataku dalam hati.

Dengan nada yang halus, senyumnya yang khas, dan dengan kharismanya yang mengalahkan siapapun yang ada ditempat itu, Bapak Hotma Sitompul memulai satu pertanyaan,“Nak, apa ayat Alkitab yang menjadi pegangan hidupmu?”

Sungguh pertanyaannya melampaui pengetahuanku tentang hukum, siapa sangka pertanyaan pertama adalah ayat Alkitab yang menjadi pegangan hidup. Namun ku jawab dengan hormat dan rendah hati, bahwa ada beberapa ayat yang menjadi pegangan hidup ku, yang satu di antaranya adalah Matius 6 ayat 26 – 29.

Setelah menguraikan isi ayat itu, Bapak Hotma Sitompul mulai membekali aku dengan kisahnya, yang sejak ia muda, di setiap pagi sebelum memulai hari, adalah kewajibannya untuk berserah dan berpegang teguh pada kebaikan Tuhan. Apa yang selalu dilakukan Bapak adalah menuliskan satu ayat setiap hari di atas kertas kecil dan mengantonginya.

Dengan begitu, di suatu istirahat atau di sela-sela kegiatan, beliau bisa membaca ayat Alkitab yang ditulisnya itu, sehingga bisa membacanya berulang-ulang. Sungguh pelajaran yang sangat berharga.

Aku berpikir, di tengah pertarungan Advokat untuk mendapatkan keadilan yang penuh hiruk pikuk, ayat Alkitab ternyata dapat menjadi senjata yang ampuh untuk menenangkan diri. Karena dengan ketenanganlah kita dapat melihat semua yang terjadi dengan baik. Dan dengan pengelihatan yang baiklah muncul pertimbangan dan keputusan-keputusan yang baik.

Di pertemuan itu, salah satu pesan Bapak yang masih membekas hingga kini adalah, sudah kewajiban advokat, khusunya yang masih muda untuk menaruh hati pada orang miskin, buta hukum dan teraniaya.

Dan yang tak kalah membekas ialah ketika beliau bilang,“Nak, kamu harus takut pada Tuhan, karena dengan merasa takut kepadaNya terletak kebijaksanaan. Dan jika kamu bijaksana, kamu tidak akan melakukan kesalahan apapun”.

Apa yang kupelajari dalam 30 menit selama bertemu Bapak Hotma Sitompul, melebihi pelajaran yang ku dapat selama hidup. Perkataanya melampaui apa yang ku pikirkan tentang kebajikan dalam hidup.

Dan sebelum aku pamit pulang, setelah 30 menit yang berharga, pesan yang tersirat dalam pikiranku setelah terakhir melihat Bapak, adalah keteguhan diri agar bersedia terpakai habis membantu orang miskin yang membutuhkan bantuan hukum.

Tentu banyak kisah dan cinta yang hendak ditulis selama 30 menit berarti, tapi biarlah waktu dan kebaikan Tuhan yang menentukan kapan.

Bapak Hotma Sitompul kini dipanggil pulang oleh Pemilik Kehidupan, purna tugasnya ia kerjakan dengan baik. Ia telah mengakhiri pertandingannya dengan baik, dia telah mencapai garis akhir dan telah memelihara iman. Syukur kepada Tuhan, telah mencipta orang seindah Bapak Hotma Sitompul.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya