Ironi Pilkada: Trend Endorse dari Presiden jadi Pertanda Lemahnya Ketokohan Calon Pemimpin Daerah

Ironi Pilkada: Trend Endorse dari Presiden jadi Pertanda Lemahnya Ketokohan Calon Pemimpin Daerah 24/11/2024 124 view Politik pexels.com

Tentu kita sepakat bahwa politik merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Entah dengan cara yang baik atau bahkan menyimpang sekalipun, tak jadi persoalan. Ironisnya, strategi nir etika kian kentara tercermin dari praktik-praktik politik yang terjadi belakangan ini. Berbagai strategi dirancang dengan tanpa memperhatikan etika dan norma demi mendominasi dan meraup dukungan masyarakat.

Menjelang Pilkada misalnya, trend endorse dari Presiden justru kian terbuka. Terbaru adalah viralnya video dukungan salah satu pasangan calon Gubernur Jawa Tengah dari Pak Prabowo yang saat ini resmi menjadi Presiden. Nahas saja, seorang kepala negara dipaksa ikut turun gunung untuk memenangkan salah satu kandidat paslon.

Dalam beberapa kasus, dukungan presiden tentu dapat membawa keuntungan sebagai langkah strategis untuk memastikan bahwa pemimpin daerah yang terpilih mendukung kebijakan pemerintah pusat yang sedang berjalan. Sehingga tak dapat disangkal dukungan endorse dari Presiden menjadi langkah awal demi terwujudnya program-program yang sudah dicanangkan hingga ke daerah-daerah.

Akan tetapi endorse yang dilakukan oleh presiden bisa menjadi indikasi bahwa calon pemimpin lokal yang diusung tidak memiliki kompetensi yang cukup untuk memenangkan pemilihan. Sehingga membutuhkan bantuan pemerintah pusat untuk mendongkrak citra politiknya.

Menyayangkan Obral Dukungan dari Presiden

Tidak ada larangan tertulis terhadap presiden untuk mendukung paslon dalam Pilkada, namun sudah semestinya pemerintah pusat dapat menjaga jarak dari kepentingan politik praktis. Hal ini untuk menghindari kesan bahwa pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk memengaruhi atau mendominasi proses politik di tingkat daerah, yang dapat berakibat pada rusaknya prinsip keadilan dan kebebasan dalam Pilkada.

Jika hal ini dibiarkan bukan tidak mungkin akan muncul pergolakan politik di masyarakat yang tak kondusif. Pilih kasih dukungan Presiden akan membuat masyarakat mudah untuk menghakimi paslon yang tidak didukung tanpa alasan yang objektif dan rasional, sehingga akan memecah persatuan dan mempengaruhi keharmonisan sosial di tingkat lokal. Terlebih ketika masyarakat mulai memandang pilihan politik seperti "pro-pemerintah" vs "anti-pemerintah", tentu akan membuka jalan bagi polarisasi politik yang bisa mengarah pada perpecahan sosial.

Endorse Presiden Penanda Kandidat Kurang Kompeten

Bantuan pemerintah pusat atau dalam hal ini adalah Presiden dalam mempromosikan salah satu kandidat Cagub/Cabup di berbagai daerah berimbas pada terbukanya sisi kelemahan paslon yang diusung. Terbukti dari hasil survei yang berhasil dipublikasikan, beberapa pasangan calon yang diendorse memiliki elektabilitas yang masih cukup rendah.

Dengan demikian tak heran jika opsi endorse Presiden menjadi jalan pintas yang digunakan untuk mempengaruhi pilihan masyarakat. Padahal endorse yang diberikan justru membuktikan adanya ketidakberdayaan pasangan calon untuk menonjolkan sisi ketokohan atau karismanya dalam mempengaruhi pilihan masyarakat. Ketokohan ini bukan hanya berasal dari rekam jejak politik atau pengalaman saja, tetapi juga dari kemampuan dalam membangun hubungan emosional dengan masyarakat.

Keterlibatan Presiden dalam Kampanye Pilkada Bukan Opsi Yang Bijaksana

Pada akhirnya Pilkada merupakan pesta demokrasi di tingkat lokal. Oleh sebab itu proses demokratis dalam Pilkada sudah sewajarnya memungkinkan masyarakat daerah untuk memilih pemimpin mereka tanpa intervensi dari kekuasaan pemerintah pusat. Sebagai bagian dari negara yang menganut prinsip desentralisasi, daerah memiliki kewenangan untuk mengatur urusan dalam di wilayahnya, termasuk dalam memilih pemimpin lokal. Intervensi dari pemerintah pusat dalam proses ini dapat mengurangi otonomi daerah dan mengganggu prinsip desentralisasi yang ada dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Keterlibatan Presiden dalam kampanye Pilkada juga akan turut melemahkan prinsip otonomi yang dimiliki masyarakat daerah, di mana pemilihan kepala daerah merupakan cerminan keinginan dan aspirasi rakyat lokal, bukan keputusan yang dipengaruhi oleh politik pusat. Sehingga kurang bijaksana apabila Presiden ikut cawe-cawe dalam kontestasi politik lokal dalam Pilkada.

Keterlibatan Presiden dalam kampanye Pilkada juga akan berdampak pada goyahnya persepsi tentang keadilan dalam proses demokrasi di tingkat daerah. Yang membuat persepsi masyarakat akan mengarah pada ketidakpercayaan atas hasil pemilihan karena merasa sudah dipengaruhi oleh kekuatan politik pusat. Hingga pada akhirnya akan mengurangi minat partisipasi masyarakat dan meningkatkan rasa apatis terhadap demokrasi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya