Identitas Ke-PNS-an: Sebuah Keistimewaan
“Panjenengan nyambut damel teng pundi mas?”, tutur seorang tetangga menanyai anak muda di sebuah warung di kala siang itu, atau bisa diartikan “Anda bekerja di mana mas?". Pemuda itu menjawab dengan tenang, “Saya usaha sampingan di bidang kuliner”. “Oalah, merintis usaha ya?” jawab tetangga tersebut dengan mimik muka datar tak se-excited waktu dia bertanya.
Tidak tau persis sebenarnya tetangga tersebut mengharapkan jawaban yang seperti apa dari pemuda yang ditanyainya. Namun, sepertinya jika jawabannya adalah bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), tetangga tersebut sedikit berbangga. Paling tidak tetangganya ada yang jadi PNS dan dia memiliki pengharapan agar anaknya kelak menjadi seperti anak muda yang ia tanyai. Barangkali jawaban anak muda tersebut yang bekerja sampingan di bidang kuliner cukup mengecewakannya.
Esensi dari pekerjaan sebenarnya adalah sebagai fitrah manusia dalam hidup dan menghidupi kehidupannya. Namun demikian esensi itu nampaknya sudah mulai dilupakan sebagai bagian penting dari pekerjaan, paling tidak yang penulis jumpai dalam percakapan tersebut. Pekerjaan menjadi satu alat untuk mengukur stratifikasi sosial seseorang. Mereka dinilai atas dasar pekerjaannya, titik. Tanpa menggali bagaimana prospek pekerjaan tersebut (gaji), dan lain sebagainya, sungguh pragmatis. Yang penting jika PNS maka secara sah mereka memiliki stratifikasi lebih tinggi dibanding non PNS.
Pandangan terhadap pekerjaan sesungguhnya merupakan konstruksi budaya masyarakat yang mendorong pemaknaan terhadapnya. Masyarakat kita masih menganggap bahwa pekerjaan sebagai PNS memiliki stratifikasi sosial yang lebih tinggi dibanding non-PNS. Tidak jelas apa maksudnya namun demikian adanya.
Identitas seseorang ini dipandang dari pekerjaannya, PNS atau non-PNS. Mereka yang PNS setidaknya memiliki pandangan dan citra positif di masyarakat. Bebas dari gunjingan tetangga dan memiliki privilege ketika hendak mencalonkan diri sebagai ketua RT (Rukun Tetangga), dan satu lagi, ketika hendak mengajukan pinjaman ke kas RT (Rukun Tetangga) lebih dipermudah dengan anggapan mereka yang PNS ketika mengajukan pinjaman akan membayar tepat waktu.
Identitas sendiri menurut Berger dan Luckmann (2018), dijelaskan bahwa identitas merupakan suatu unsur kunci dari kenyataan subjektif dan sebagaimana semua kenyataan subjektif, berhubungan secara dialektik dengan masyarakat. Proses-proses sosial dan interaksi sosial yang terjadi, kemudian membentuk dan mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial. Oleh karenanya identitas berhubungan erat dengan dinamika yang terjadi di masyarakat.
Sebuah kebanggan sendiri menyandang label seorang PNS atau bahkan memiliki anak PNS. Identitas Ke-PNS-an itu melekat dalam budaya masyarakat Indonesia dan dipandang sebagai orang yang lebih kajen dari mereka yang bukan PNS. Privilege seorang PNS di mata masyarakat yang positif inilah yang juga barangkali mendorong jumlah pendaftar PNS dari tahun ke tahun yang mengalami peningkatan signifikan.
Di tahun 2017, jumlah pendaftar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) adalah 2.433.656 juta pelamar (Kabar24bisnis.com/ 24 September 2017). Di tahun 2018 jumlahnya 4,43 Juta orang (Liputan6.com/ 17 Oktober 2018). Di tahun 2019 jumlahnya 5.056.585 pelamar (Liputan6.com/ 8 Desember 2019). Nampak terlihat bahwa jumlah pelamar CPNS mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dan hal itu membuktikan bahwa ketertarikan kepada PNS semakin mengalami intensifikasi dan ekstensifikasi. Selanjutnya di tahun 2020 penerimaan CPNS ditiadakan (Kompas.com/ 7 Juli 2020). Penurunan angka pelamar CPNS mengalami penurunan di tahun 2021 , dan hal ini dikarenakan imbas PPKM (Peraturan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) (CNNIndonesia, 24 Juli 2021).
Dari data terkait jumlah CPNS di atas nampak terlihat bahwa ketertarikan menjadi PNS semakin meningkat dari tahun ke tahun. Citra masyarakat yang positif terhadap PNS juga sekaligus mendorong banyaknya angka pendaftar CPNS dari tahun ke tahun. Namun, semakin banyaknya pendaftar itu artinya semakin ketat pula seleksi menjadi PNS. Dan itu artinya ada satu hal yang terjustifikasi, bahwa seseorang yang lolos PNS semakin menjadi orang yang tergolong “istimewa” karena mampu mengalahkan pesaingnya yang tiap tahun semakin meningkat. Dan kemudian efeknya juga semakin memantapkan posisi PNS dalam stratifikasi sosial yang mapan, memandang PNS lebih baik daripada non-PNS.
Dan seperti yang dikatakan Berger dan Luckman bahwa identitas adalah unsur kunci kenyataan subyektif dan sebagaimana semua kenyataan subjektif, berhubungan secara dialektik dengan masyarakat. Proses-proses sosial dan interaksi sosial yang terjadi, kemudian membentuk dan mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial. Maka kemapanan identitas dalam stratifikasi sosial menjadi PNS akan semakin kokoh dengan pola yang terjadi, yakni peningkatannya dari tahun ke tahun.
Pada akhirnya identitas sebagai hasil dari konstruksi sosial masyarakat, dalam hal ini adalah bekerja sebagai PNS, selama beberapa tahun ini masih mapan. Pola peningkatan pendaftar menjustifikasi bahwa menjadi PNS adalah suatu hal yang diperebutkan oleh banyak orang. Entah apapun motif menjadi PNS tapi setidaknya yang saya ketahui, PNS masih menjadi pekerjaan elegan dan sarat akan pengakuan ketimbang non-PNS. Dan banyak orang merebutkannya.
Akhirnya pemuda yang ditanyai pekerjaan oleh tetangganya di warung tadi perlu berbesar hati menerima sinisnya pandangan tetangga serta dakwaan akan statusnya yang bukan PNS. Sebab PNS masih menjadi satu hal yang diminati dan peminatnya semakin bertambah dari tahun ke tahun, dan konstruksi masyarakat akan pandangan positif terhadap PNS yang mapan.
Pembuktian perlu dilakukan bahwa yang bukan PNS tidak bisa langsung dicap under estimate, ini memerlukan effort dalam mengubah pandangan masyarakat terkait non-PNS yang dinilai subordinat dengan PNS. Tapi percayalah bahwa pembuktian yang elegan itu tidak perlu melalui kata-kata yang keras dan lantang. Cukup tunjukan bahwa non-PNS seperti mas yang tadi di warung bisa setara dan bahkan lebih dari PNS dalam strata sosialnya. Paling tidak gajinya harus lebih tinggi dari PNS di wilayah rumahnya. Agar gunjingan dan dakwaan tetangga tidak menghantui pikiran dan hatinya.
Artikel Lainnya
-
34114/11/2023
-
71714/08/2022
-
280417/01/2020
-
Wisuda Sebelum Sarjana, Apa Urgensinya?
64405/07/2023 -
330502/01/2020
-
Mahasiswa dan Organisasi Ekstra Kampus: Ke Mana Semangat Kolektif Itu Pergi?
30218/01/2025
