White-Collar Crime di Tubuh DPR
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memang tiada habisnya melemparkan hal-hal berbau kontroversial di depan mata publik Indonesia. Mereka baru saja mengesahkan Revisi UU KPK yang rupanya melemahkan KPK dari dalam tubuhnya. Imbas dari itu semua adalah pengunduran diri oleh para staf lembaga antirasuah itu (CNN Indonesia, 26/09/2020).
Alhasil, KPK menjadi tak bertaji lagi. Ibarat macan ompong, KPK menjadi lembaga yang akan selalu menciut ketika berhadapan dengan kasus-kasus korupsi berskala besar yang menyeret orang-orang besar.
Tidak berhenti sampai di situ. Gelagat buruk para wakil rakyat di Senayan memuncak pada disahkannya RUU Ciptaker. Gelombang penolakan di berbagai daerah muncul serentak untuk segera membatalkan RUU tersebut.
Dari dua masalah ini, muncul pertanyaan dalam benak; bukankah yang sedang dipertontonkan ini adalah sebentuk kejahatan?
Dalam analisis kriminologi, ada kategori kejahatan yang disebut white-collar crime (kejahatan kerah putih). Edwin H. Sutherland mendefinisikan white-collar crime sebagai kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang terhormat dan memiliki status sosial yang tinggi dalam jabatannya itu (John Braithwaite, 1985:3). Vilhelm Aubert menambahkan catatan kecil bahwa kejahatan model ini juga dilakukan oleh mereka yang berpenghasilan tinggi (Aubert, 1952:265).
Maka, kejahatan kategori ini dikerjakan oleh mereka yang kita sebut sebagai kaum berdasi, berjas, kaum elit. Para pengusaha, pemimpin tinggi, mereka yang ada dalam posisi strategis suatu lembaga, masuk dalam kelas ini.
Konsep white-collar crime yang dikembangkan oleh Sutherland ini hendak menentang pemikiran banyak orang bahwa kejahatan hanya dilakukan oleh mereka yang miskin atau mereka yang berasal dari kelompok kelas bawah. Justru, dalam faktanya, kejahatan tidak ada hubungannya dengan kemiskinan dan dalam struktur sosial masyarakat. Bukankah jahat juga bila melihat seorang pria berjas membawa pergi sebuah koper berisi uang jutaan rupiah hasil korupsinya? Setiap orang dari kalangan manapun bisa berbuat kejahatan.
Itu artinya, dapat kita katakan bahwa kejahatan bisa muncul dari mereka yang memiliki kekayaan, yang punya penghasilan tinggi, yang punya posisi bagus dalam suatu lembaga, dan yang punya kekuatan ekonominya baik. Singkatnya, mereka yang dari kelas atas.
Kejahatan kerah putih sendiri memunculkan fakta ketidakadilan. Disebut demikian karena imbasnya bisa dilihat pada yang merasakan kebijakan itu. Misalnya kebijakan “A” yang diambil akan cenderung menguntungkan pihak-pihak elit. Sedang di sisi lain, masyarakat kecil akan kehujanan ampas dari kebijakan tersebut.
Ketidakadilan muncul kala elit kenyang dengan isi, dan masyarakat hanya bisa puas dengan sisa-sisanya dari kebijakan itu.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) termasuk dalam kelompok ini bila mereka berbuat jahat. Alasannya adalah kejahatan ini dilakukan secara teroganisir dan tersistematis, oleh sebuah lembaga negara yang berisi sekelompok elit yang memikul kepentingan pihaknya, dan tentunya menguntungkan pihak-pihak tertentu sekaligus merugikan banyak pihak.
Hemat penulis, white-collar crime dalam tubuh DPR hari-hari ini bisa kita ditebak. Semua bermula dari penarikan Partai Gerindra untuk masuk dalam kelompok koalisi pemerintah. Dengan bergabungnya Partai Gerindra dalam barisan kelompok koalisi, artinya parlemen tidak lagi memiliki suara oposisi yang melengking, Hilangnya suara oposisi yang kuat dan berimbang menjadikan Senayan sebagai hamba pemerintah yang bisa disetir kemana saja.
Hal ini memungkinkan pemerintah untuk membuat lobi-lobi tanpa harus menimbulkan banyak hambatan dan debat panjang di Senayan. Suara perlawanan semakin menciut dan hilang dari gemuruh arus utama. Dengan begitu, segala macam ide yang dibuat oleh pemerintah dapat berjalan dengan mulus.
Ini adalah kejahatan. Imbas dari kejahatan model ini adalah revisi UU KPK dan pengesahan RUU Cipta Kerja. Ada beberapa alasan yang sekiranya bisa diangkat di sini. Pertama, pengesahan RUU KPK justru sangat merugikan KPK. Alih-alih ingin membantu KPK, UU KPK yang baru direvisi ini malah merugikan KPK secara sistematis, yakni soal bagaimana pelaku diperlakukan secara hukum.
Kedua, seperti yang kita ketahui bersama, pengesahan Omnibus Law terkesan terburu-buru di tengah pandemic covid-19. Ada indikasi pemaksaan untuk segera mengsahkan RUU tersebut (misalnya mengadakan rapat di malam hari dan mengadakan rapat secara tertutup) dan minim partisipasi publik. Juga, ada kecurigaan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Padahal situasi pembahasan sedang diliputi virus corona. DPR lebih memilih membicarakan RUU ketimbang mencari solusi jitu dan langkah tanggap dalam membendung masifnya penyebaran virus corona.
Kecurigaan muncul: kepentingan apa dan kepentingan siapa yang sedang dipikul oleh warga terpilih di Senayan? Bukankah ini juga white-collar crime karena menafikan kepentingan mereka yang seharusnya, yakni rakyat (“r” kecil)?. Sangat kentara kalau mereka sedang memikul kepentingan Rakyat (“R” besar). Penanggungjawab dari semua ini tentunya adalah pemerintah. Dalam hal ini, Joko Widodo selaku kepala rumah tangga Indonesia perlu mengkaji ulang segala kebijakan yang telah diambil. Terlebih produk-produk hukum yang lahir di periode keduanya.
Artikel Lainnya
-
156231/05/2020
-
228928/02/2020
-
128630/11/2020
-
Apakah Paradigma Dikotomi Pilihan yang Terbaik untuk Indonesia?
115315/03/2022 -
Ketika Penjahat Berteriak “Tangkap Pencuri”
18204/03/2025 -
Demokrasi dan Logika Elite Politik Lokal
175717/03/2020
