Apakah Paradigma Dikotomi Pilihan yang Terbaik untuk Indonesia?
Maraknya kasus KKN yang terjadi di Indonesia dianggap sangat mencengangkan oleh masyarakat. Seperti yang tertulis di indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency International Indonesia pada Selasa 25 Januari 2022, Indonesia berada peringkat 96 dari 180 negara. Meski mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, dapat dikatakan bahwa poin yang diraih Indonesia masih jauh dari rata rata IPK (Indeks Persepsi Korupsi) global dan dianggap masih jauh dari harapan. Menurut Indonesia Corrruption Watch (ICW) walaupun terjadi peningkatan IPK, Indonesia belum mampu menjawab pertanyaan mengenai masalah utama yang mengakari maraknya kasus KKN yang terjadi dalam negeri ini.
Lantas apakah ada yang salah dengan sistem birokrasi yang digunakan saat ini sampai maraknya kasus korupsi dan kecurangan seperti ini? Seperti yang kita ketahui, saat ini Indonesia menggunakan sistem birokrasi paradigma dikotomi yang berarti bahwa birokrasi harus dipisahkan dari politik. Politik ditugaskan untuk membuat suatu kebijakan dan kebijakan tersebut harus dijalankan dengan baik oleh birokrasi. Selama ini birokrasi di Indonesia dinilai terlalu tunduk kepada politik walaupun Indonesia menggunakan sistem birokrasi paradigma dikotomi. Tidak jarang pelaksanaan fungsi administrasi sengaja dimanipulasi oleh suatu aktor politik untuk mendukung atau mempertahankan status atau kekuasaan mereka. Tidak sedikit pula para aktor tersebut membuat kebijakan yang hanya menguntungkan pihak tertentu dan merugikan masyarakat yang seharusnya menjadi fokus utama saat membuat suatu kebijakan.
Dengan minimnya pengawasan, KKN di ranah politik maupun di lingkungan birokrasi mudah terjadi. Karena diberlakukan pemisahan antara birokrasi dan politik, para aktor lebih mudah untuk mencari celah dalam melakukan kecurangan. Dan tentu saja yang akan dirugikan adalah masyarakat sendiri. Pemborosan sumber dan menghilangnya modal akan memperlambat perkembangan negara ini. Tidak hanya masyarakat yang dirugikan, tetapi juga pemerintah akan kehilangan kepercayaan masyarakat karena hadirnya aktor yang tidak bertanggung jawab atas perkerjaannya. Masyarakat enggan berurusan dengan birokrasi karena citranya yang negatif baik dari sisi pelayanan publik maupun dari sisi kecenderungannya yang lebih memusatkan kepada kekuasaan dan lain sebagainya.
Jika kita melihat ke belakang, semakin besar pengaruh politisi dalam urusan birokrasi, maka semakin sulit pula untuk melakukan perbedaan antara siapa yang mengantur siapa atau siapa yang memimpin dan mendominasi. Tidak sedikit pula orang-orang yang masuk ke lingkup birokrasi tanpa kualifikasi yang mumpuni. Tetapi karena adanya koneksi dari suatu pejabat politik yang berkuasa, seseorang bisa dengan mudah mendapatkan jabatan yang penting di lingkup birokrasi. Sangat di sayangkan, dengan hadirnya birokrat seperti ini, pembuat kebijakan akan lebih mudah membuat kebijakan yang hanya menguntungkan kalangan tertentu dan tidak mewadahi kepentingan semua masyarakat.
Seperti yang Mark dan Weber katakan, birokrasi yang sebenarnya adalah di mana birokrasi yang memiliki kekuataan yang seimbang atau setara dengan politik. Di mana dapat dilihat bahwa birokrat mampu memberi kebijakan yang memiliki kualitas tinggi dan bukan hanya sebagai pelaksana. Dengan adanya pandangan seperti ini, seharusnya para birokrat juga harus dilibatkan dalam pembuatan dan evaluasi kebijakan yang kemudian dapat membantu memfokuskan jalannya pelayanan publik.
Dapat dilihat bahwa ketika fungsi politik dan fungsi birokrasi mulai ikut campur dalam urusan masing-masing yang notabenenya adalah bukan hak mereka, maka disitulah keadaan birokrasi sebagai pelayan publik mulai terancam. Oleh karena itu penggunaan sistem birokrasi paradigma sinergi di mana birokrasi dan politik bekerja sama dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan dianggap lebih ideal untuk Indonesia. Dengan perubahan sistem ini, birokrat dapat mendorong masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam jalannya proses birokrasi di Indonesia dan kemudian, muncullah sinergitas antara ranah politik, lingkungan birokrasi dan masyarakat.
Walaupun demikian, perubahan paradigma tidak akan memperoleh hasil yang signifikan tanpa adanya dukungan atau campur tangan dari seluruh masyarakat. Di lain hal, pemerintah juga harus mampu untuk mewujudkan birokrasi yang berpihak kepada masyarakat dan menghasilkan kebijakan yang menguntungkan rakyat dan sesuai dengan kepentingan publik agar para birokrat dapat melindungi hak hak masyarakat yang memang seharusnya dijaga dan dapat menciptakan pemerintah yang amanah.
Artikel Lainnya
-
216926/10/2024
-
234304/11/2024
-
74917/06/2022
-
Cukup Tangguhkah Ekonomi Riau Hadapi Covid-19?
144119/05/2020 -
75612/11/2022
-
Memaknai Hari Bela Negara di Masa Pandemi Covid 19
259216/12/2020