Wajah Ganda Teknologi: Menyikapi Fenomena Deepfake AI di Indonesia

Wajah Ganda Teknologi: Menyikapi Fenomena Deepfake AI di Indonesia 25/06/2025 370 view Hukum siam-legal.com

š“eknologi kecerdasan buatan (AI) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Dari asisten virtual, sistem rekomendasi film dan belanja, hingga kamera ponsel pintar yang bisa mengenali wajah pengguna—AI ada di mana-mana. Salah satu cabang teknologi AI yang belakangan menjadi perhatian luas adalah deepfake, yaitu metode rekayasa digital yang memungkinkan penggantian wajah dan suara seseorang dalam video dengan hasil yang tampak sangat nyata.

Di satu sisi, teknologi ini membuka peluang baru, misalnya dalam dunia hiburan, pendidikan, bahkan pelestarian sejarah digital. Namun di sisi lain, ia juga membawa ancaman serius, terutama jika digunakan untuk menyebarkan informasi palsu atau menjatuhkan reputasi seseorang. Di Indonesia, fenomena deepfake sudah mulai terasa dampaknya, terutama ketika digunakan untuk tujuan politik atau kejahatan digital.

Apa Itu Deepfake dan Bagaimana Cara Kerjanya?

Deepfake adalah gabungan dari kata “deep learning” dan “fake”, yang secara harfiah berarti palsu yang dibuat dengan pembelajaran mendalam. Teknologi ini menggunakan algoritma bernama Generative Adversarial Networks (GANs), yang pada dasarnya adalah dua sistem AI yang dilatih untuk “bertarung”: satu bertugas membuat gambar atau video palsu, sementara yang lain bertugas mendeteksi kepalsuan tersebut. Semakin sering sistem ini dilatih, semakin halus dan sulit dikenali hasil manipulasi yang dihasilkannya.

Deepfake bisa membuat wajah seseorang muncul dalam video dan mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah ia ucapkan. Bahkan, teknologi ini juga mampu meniru gaya bicara, intonasi suara, dan ekspresi wajah seseorang dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi. Inilah mengapa video deepfake sering kali membuat orang terkecoh, bahkan untuk mereka yang sudah terbiasa menilai keaslian informasi digital.

Potensi dan Ancaman Deepfake

Sebenarnya, deepfake tidak selalu buruk. Di dunia perfilman, teknologi ini bisa digunakan untuk menghidupkan kembali aktor yang sudah meninggal, seperti dalam film Star Wars yang menghadirkan kembali tokoh Grand Moff Tarkin. Di bidang pendidikan, deepfake bisa membantu menciptakan simulasi interaktif, misalnya tokoh-tokoh sejarah yang bisa “berbicara” langsung kepada pelajar. Bahkan di ranah disabilitas, teknologi ini dapat membantu orang-orang yang kehilangan kemampuan berbicara dengan menciptakan suara digital mereka sendiri.

Namun, di luar potensi positifnya, ancaman dari penyalahgunaan deepfake jauh lebih nyata. Deepfake dapat digunakan untuk menyebarkan hoaks, merusak reputasi tokoh publik, memanipulasi opini masyarakat, bahkan menjadi senjata politik yang sangat efektif dalam menjelang pemilu. Hal ini menjadi semakin berbahaya ketika masyarakat belum memiliki tingkat literasi digital yang memadai.

Kasus Deepfake Presiden Jokowi: Cermin Ancaman Nyata di Indonesia

Salah satu contoh nyata dari penyalahgunaan deepfake di Indonesia terjadi pada tahun 2023. Sebuah video viral menampilkan Presiden Joko Widodo seolah-olah memberikan dukungan secara eksplisit kepada salah satu calon presiden yang akan maju dalam Pilpres 2024. Dalam video berdurasi sekitar satu menit itu, Presiden tampak duduk di podium resmi, berbicara dengan intonasi dan mimik yang sangat meyakinkan. Bahkan, latar belakang dan pencahayaan video pun terlihat seperti suasana konferensi pers Istana Negara.

Video ini cepat menyebar melalui media sosial seperti TikTok dan Twitter. Banyak warganet yang langsung percaya dan bahkan membagikannya dengan komentar pro dan kontra. Beberapa media online sempat mengutip isi video tersebut, menganggapnya sebagai pernyataan resmi dari Presiden.

Namun tak lama kemudian, pihak Istana memberikan klarifikasi bahwa video tersebut adalah palsu. Tim dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melakukan investigasi digital dan menyatakan bahwa video tersebut merupakan hasil manipulasi deepfake. Analisis frame demi frame serta metadata video memperkuat temuan ini.

Meski klarifikasi sudah dilakukan, dampak psikologis dan sosial dari video tersebut tidak bisa diabaikan. Banyak orang terlanjur membentuk opini, sebagian merasa kecewa, sementara lainnya justru semakin curiga terhadap media dan pemerintah. Kasus ini menjadi bukti bahwa deepfake bukan hanya masalah teknologi, tapi juga menyangkut kepercayaan publik dan stabilitas sosial.

Kelemahan Regulasi dan Pentingnya Literasi Digital

Salah satu persoalan utama dalam menghadapi fenomena deepfake adalah belum adanya regulasi yang secara spesifik mengatur teknologi ini di Indonesia. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memang mencakup penyebaran hoaks, tapi belum mengatur secara khusus soal konten manipulatif berbasis AI.

Pemerintah dan DPR perlu memperbarui regulasi agar mampu mengantisipasi perkembangan teknologi semacam ini. Selain hukum, pendekatan preventif juga penting, yaitu dengan meningkatkan literasi digital masyarakat. Banyak orang masih belum paham bahwa tidak semua yang terlihat di layar bisa dipercaya. Diperlukan upaya edukasi besar-besaran agar masyarakat bisa mengenali ciri-ciri video deepfake—seperti ekspresi wajah yang kaku, gerakan bibir yang tidak sinkron, atau suara yang terdengar seperti hasil edit.

Lembaga pendidikan, media massa, serta tokoh-tokoh publik punya tanggung jawab besar dalam menyampaikan informasi yang benar, sekaligus membantu masyarakat belajar membedakan konten asli dan palsu. Perusahaan media sosial juga bisa dilibatkan dalam menyaring konten deepfake dan memberikan label peringatan jika ditemukan video yang mencurigakan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya