Transformasi SMK: Menuju Pendidikan Menengah Kejuruan Humanis dan Progresif

Guru SMK Negeri 11 Semarang
Transformasi SMK: Menuju Pendidikan Menengah Kejuruan Humanis dan Progresif 21/09/2025 94 view Pendidikan cnbcindonesia.com

Pendidikan kejuruan, khususnya di tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), memiliki posisi strategis dalam pembangunan sumber daya manusia di Indonesia. Di tengah tuntutan era Revolusi Industri 4.0 dan pergeseran pasar tenaga kerja global, SMK diharapkan menjadi pilar yang mampu melahirkan lulusan kompeten, adaptif, dan berdaya saing. Namun, muncul kritik yang menyatakan bahwa SMK hanya menghasilkan tenaga kerja operasional dengan keterampilan terbatas yang memasok kebutuhan industri. Kritik tersebut valid bila pendidikan menengah kejuruan tidak dirancang secara kritis, humanis, dan progresif.

Oleh karena itu, penting untuk menegaskan bahwa pendidikan di SMK harus dipandang sebagai proses pembentukan kompetensi menyeluruh, bukan sekedar penguasaan keterampilan teknis semata. Pendidikan menengah kejuruan harus menyiapkan siswa agar mampu menjadi tenaga kerja profesional, pembelajar sepanjang hayat, bahkan wirausahawan.

Tulisan ini berupaya menguraikan pentingnya pendidikan di SMK sebagai sarana pembentukan kompetensi yang menyeluruh untuk keterserapan di dunia industri, sekaligus menjauhkan paradigma sempit bahwa SMK hanya menyiapkan pekerja operasional. Landasan teoritis akan diambil dari pemikiran tokoh pendidikan seperti Paulo Freire, Ki Hajar Dewantara, dan John Dewey, serta dikaitkan dengan strategi nasional dalam memanfaatkan bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045.

Pendidikan SMK dan Pembentukan Kompetensi

SMK dirancang untuk membekali siswa dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja agar mampu beradaptasi dengan dunia industri maupun dunia usaha. Kompetensi yang dikembangkan tidak hanya hard skills teknis, tetapi juga soft skills, literasi digital, etika kerja, hingga sikap wirausaha. Oleh sebab itu proses pembelajaran di SMK harus bersifat kontekstual.

Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, SMK menjadi jembatan penting antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Kurikulum SMK yang ideal adalah kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum) yang disusun bersama dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Pendekatan ini bertujuan agar siswa tidak hanya mahir dalam keterampilan praktis, tetapi juga memiliki kemampuan problem solving, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi.

Jika kompetensi tersebut terbentuk, lulusan SMK akan memiliki nilai tambah dan mampu bertransformasi menjadi tenaga kerja profesional maupun wirausahawan, bukan sekadar pekerja operasional yang hanya menjalankan rutinitas produksi

Landasan Filosofis: Pendidikan Humanis dan Progresif

1.Paulo Freire: Pendidikan Kritis dan Pembebasan

Paulo Freire (1970) melalui karyanya Pedagogy of the Oppressed mengkritik sistem pendidikan “banking” yang hanya mengisi siswa dengan pengetahuan tanpa membekali mereka kemampuan berpikir kritis. Bagi Freire, pendidikan harus membebaskan dan mendorong siswa untuk berperan sebagai subjek aktif yang mampu memahami, mengkritisi, dan mengubah realitas sosialnya.

Dalam konteks SMK, pemikiran Freire relevan untuk mencegah lulusan menjadi sekedar “alat” bagi industri. Pendidikan menengah kejuruan seharusnya memberikan ruang bagi siswa untuk mengkritisi struktur kerja, memahami hak-hak pekerja, serta mengembangkan kesadaran kritis agar mereka dapat menjadi agen perubahan di tempat kerja maupun masyarakat.

2. Ki Hajar Dewantara: Pendidikan yang Memerdekakan

Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan harus berpusat pada anak dan memerdekakan manusia dari kebodohan maupun penindasan. Semboyannya yang terkenal ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, menegaskan bahwa pendidik tidak hanya mengajar keterampilan teknis, tetapi juga menjadi teladan moral, fasilitator kreativitas, serta pendorong kemandirian siswa.

SMK yang berpijak pada filosofi Ki Hajar akan berfokus pada pengembangan karakter dan kemandirian siswa. Dengan demikian, siswa SMK bukan hanya siap bekerja di industri, tetapi juga siap menciptakan peluang kerja baru melalui kewirausahaan.

3. John Dewey: Learning by Doing

John Dewey (1938) menekankan pentingnya pengalaman nyata dalam pembelajaran. Prinsip learning by doing menggarisbawahi bahwa pendidikan yang efektif harus berbasis pada aktivitas dan praktik langsung. Hal ini sangat relevan dengan pendidikan menengah kejuruan, di mana praktik bengkel, magang, dan proyek riil dengan dunia industri menjadi metode utama pembelajaran.

Dengan pendekatan Dewey, SMK dapat menciptakan ekosistem pembelajaran yang dinamis dan sesuai kebutuhan zaman, sehingga siswa lebih siap menghadapi tantangan nyata di dunia kerja.

Bonus Demografi dan Tantangan Indonesia Emas

Indonesia saat ini memasuki fase bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) jauh lebih besar dibanding usia non-produktif. Fenomena ini diperkirakan mencapai puncaknya pada 2030-an. Jika dikelola dengan baik, bonus demografi dapat menjadi “dividen demografi” yang mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, jika tidak dikelola, bonus ini justru menjadi beban sosial berupa meningkatnya pengangguran.

SMK memiliki peran penting dalam strategi nasional menuju Indonesia Emas 2045. Lulusan SMK yang berkualitas dapat menjadi penggerak utama dalam pembangunan industri, teknologi, dan kewirausahaan. Dengan penguasaan kompetensi yang relevan, generasi muda akan lebih mudah terserap pasar kerja atau menciptakan peluang ekonomi baru. Hal ini sejalan dengan visi pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai modal pembangunan berkelanjutan.

Kekhawatiran SMK sebagai Penghasil Tenaga Kerja dengan Keterampilan Terbatas

Kekhawatiran bahwa SMK hanya menghasilkan tenaga kerja operasional muncul ketika pendidikan menengah kejuruan hanya difokuskan pada keterampilan teknis jangka pendek tanpa memberi ruang pada pengembangan soft skills, literasi, dan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan lulusan mudah tergantikan oleh otomasi maupun perubahan teknologi.

Selain itu, jika kemitraan antara SMK dan industri hanya menempatkan siswa sebagai tenaga magang tanpa pembelajaran bermakna, maka SMK berpotensi melanggengkan eksploitasi tenaga kerja muda. Kondisi ini bertentangan dengan semangat pendidikan humanis yang seharusnya membebaskan dan memberdayakan.

Strategi Menghindari Paradigma Pendidikan SMK yang Hanya Menyiapkan Pekerja Operasional

Agar SMK tidak terjebak dalam paradigma pendidikan yang hanya menyiapkan pekerja operasional, beberapa strategi penting perlu ditempuh, Pertama, Penguatan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Kurikulum harus mencakup keterampilan teknis, berpikir kritis, komunikasi, literasi digital, dan kewirausahaan.

Kedua, Teaching Factory (TEFA). Penerapan teaching factory menjadikan sekolah sebagai miniatur industri yang dikelola secara profesional. Siswa t idak hanya belajar praktik teknis, tetapi juga manajemen produksi, pemasaran, pelayanan pelanggan, hingga inovasi produk/jasa. Dengan model ini, siswa belajar end-to-end process sehingga terbentuk kompetensi holistik, bukan sekadar tenaga teknis operasional.

Ketiga, Kemitraan Industri yang Sehat. Kerja sama dengan industri harus bersifat ko-edukatif: siswa belajar, bukan sekadar bekerja. Magang harus dirancang dengan tujuan pendidikan yang jelas.

Keempat, Pengembangan Soft Skills dan Karakter. SMK perlu menanamkan nilai disiplin, tanggung jawab, kepemimpinan, kerja tim, serta etika kerja.

Kelima, Inovasi dan Kewirausahaan. Siswa didorong untuk memiliki mindset wirausaha sehingga mampu menciptakan peluang kerja baru, bukan hanya mencari kerja.

Keenam, Peningkatan Kompetensi Guru. Guru SMK harus diperkuat dengan pelatihan industri reguler agar tetap relevan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan pasar kerja.

Ketujuh, Pendekatan Pembelajaran Mendalam SMK perlu menerapkan pembelajaran mendalam (deep learning) dengan metode berbasis proyek dan refleksi kritis. Dengan cara ini, siswa tidak hanya menguasai keterampilan prosedural, tetapi juga memiliki pemahaman konseptual, kemampuan inovatif, dan kesadaran kontekstual yang dibutuhkan untuk menghadapi dunia kerja yang dinamis.

Pendidikan di SMK harus dipandang sebagai proses pembentukan kompetensi menyeluruh, yang mencakup keterampilan teknis, kemampuan berpikir kritis, karakter, dan sikap wirausaha. Dengan landasan teori dari Paulo Freire, Ki Hajar Dewantara, dan John Dewey, serta integrasi pendekatan pembelajaran mendalam, pendidikan menengah kejuruan dapat diarahkan menjadi pendidikan yang humanis, progresif, dan membebaskan.

Jika SMK mampu menjalankan perannya secara optimal, maka bonus demografi Indonesia tidak akan berubah menjadi beban, melainkan menjadi modal besar menuju Indonesia Emas 2045. Dengan demikian, SMK bukanlah institusi pencetak pekerja operasional semata, melainkan pembentuk generasi inovator, wirausahawan, dan profesional yang siap bersaing di kancah lokal maupun global.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya