Tentang Mudik dan Pulang Kampung

Penulis Buku Cerita Anak 'Si Aropan'
Tentang Mudik dan Pulang Kampung 28/04/2020 2050 view Lainnya Wikipedia.org

Istilah 'mudik' dan 'pulang kampung' menjadi perbincangan hangat di jagat dunia maya. Hal ini bermula dari wawancara Najwa Shihab dengan Presiden Joko Widodo. Presiden Joko Widodo memandang 'mudik' dan 'pulang kampung' sebagai dua hal yang berbeda.

Bagaikan pakar linguistik, banyak warganet berargumen kalau keduanya tidak berbeda alias bermakna sama terutama sesudah merujuk pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dan, tak sedikit pula dari antara mereka yang pada akhirnya menjadikan isu ini sebagai olok-olok, sindiran dan bahan ejekan. Ini yang membuat saya bertanya dalam hati, benarkah mereka peduli dengan bahasa Indonesia? Atau malah hanya ingin mem-bully—tipikal sikap yang sering dipertontonkan di dunia maya sehingga muncul adagium ‘maha benar netizen dengan segala komentarnya.’

Ragam Makna

Memang jika berpedoman pada KBBI, mudik dan pulang kampung memiliki kedekatan makna. Namun perlu diingat bahwa makna sebuah kata atau frasa dapat dilihat setidaknya dari tiga paradigma: leksikal, gramatikal, dan kontekstual atau yang sering juga disebut dengan pragmatis.

Makna leksikal merupakan gambaran nyata mengenai sebuah konsep sebagaimana yang digambarkan oleh kata atau frasa itu dan ia bersifat terlepas dari konteks. Sebagai contoh, kata rumah dalam kalimat 'karena pandemi virus corona kami mulai membiasakan diri untuk belajar di rumah' merupakan makna leksikal yang artinya bangunan untuk tempat tinggal.

Namun, kendati sebuah makna bersinonim dengan kata atau frasa lain, sebagaimana mudik dan pulang kampung yang diyakini para warganet tadi, belum tentu maknanya benar-benar identik.

Lihatlah Tesaurus Bahasa Indonesia milik Eko Endarmo yang dibedah oleh Dick van der Meij. Terdapat cukup banyak kata dalam bahasa Indonesia yang bersinonim. Tapi banyak juga dari kata-kata itu yang tidak selalu dapat saling menggantikan.

Kata 'enak' boleh jadi memiliki sinonim dengan kata 'lezat' dan 'sedap'. Tapi 'lezat' dan 'sedap' cenderung menjadi preferensi dalam, misalnya, bahasa periklanan karena lebih memiliki makna komersil. Demikian pula kata 'wafat' dan 'mati'. Keduanya boleh saja bersinonim tapi kita pasti sepakat bahwa terdapat perbedaan-perbedaan dalam penggunaannya. Misalnya, kalimat 'kakeknya wafat tadi siang' dapat berterima. Namun, kalimat 'ayam kami wafat karena diterkam harimau' terdengar tidak lazim bila dibandingkan dengan 'ayam kami mati karena diterkam harimau.'

Makna kedua adalah gramatikal. Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal melibatkan proses tata bahasa semisal afiksasi (pengimbuhan), reduplikasi (pengulangan) atau komposisi (pemajemukan). Sila lihat kata tinggal. Begitu kata ini diberikan imbuhan dan/atau akhiran, kita bisa menemukan deretan makna yang sangat berbeda seperti pada kata-kata: bertinggal, meninggal, meninggali, meninggalkan, peninggal, peninggalan, tinggalan, tertinggal, dan ketinggalan.

Jika pada aspek leksikal kata 'rumah' memiliki satu makna saja (baca: bangunan tempat tinggal), maka dari segi gramatikal maknanya dapat lebih bervariasi. Sebagai contoh, amatilah penggunaan kata rumah dalam kalimat-kalimat berikut: (1) Jono tinggal di kawasan perumahan mewah; (2) Ketiga sepupuku sedang bermain rumah-rumahan; (3) Kami singgah di rumah makan itu dua bulan lalu. Apakah semuanya bermakna sama? Tentu tidak.

Kata rumah dalam setiap kalimat tadi mempunyai maknanya masing-masing yang tidak serupa satu sama lain. Kalimat pertama bermakna kumpulan rumah, kalimat kedua bermakna menyerupai rumah, dan kalimat ketiga bermakna kedai tempat makan.

Makna pragmatis merujuk kepada makna yang dikaitkan dengan situasi ketika sebuah kata, frasa atau kalimat diujarkan. Kalimat 'Jam berapa sekarang?' tidak selalu bermakna menanyakan soal waktu.

Saat seorang guru bertanya 'Jam berapa sekarang?' kepada salah satu siswanya yang baru masuk kelas setengah jam sesudah bel tanda pelajaran dimulai, dapat bermakna menanyakan alasan keterlambatan, menolak memberi izin masuk dan lain-lain. Artinya pada tingkatan pragamtis, ada pelibatan konteks yang berperan dalam mengonstruksi makna sebuah kata, frasa atau kalimat.

Belum lagi jika kedua istilah ini ditinjau dari sisi historis dan budaya. Akan ada perbedaan-perbedaan lain yang muncul. Jadi, singkatnya, dalam kasus ini, tidak ada yang perlu dipersalahkan.

Para warganet melihat bahwa mudik dan pulang kampung saling bersinonim dari tatanan leksikal. Sementara Presiden Jokowi memandangnya berbeda karena dilihat dari sudut pragmatis. Beliau pun membuat batasan konteks makna yang cukup jelas yaitu mudik pada momen untuk merayakan Idul Fitri. Sementara pulang kampung adalah karena alasan tidak ada pekerjaan lagi di Jabodetabek. Ini penting sebab bahasa dan konteks tidak dapat dipisahkan.

Kritik Konstruktif

Dan, menurut saya, berlarut-larut membahas hal ini sebenarnya sangat tidak produktif di masa sekarang. Kalau pun hendak mengkritik, seharusnya bukan pada aspek linguistiknya. Berilah kritik pada protokoler mudik dan pulang kampung yang beberapa waktu lalu dikeluarkan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).

Seperti yang dilansir dari laman Liputan6.com, dalam protokoler itu, mudik dilarang karena dimaknai sebagai pulang kampung yang sifatnya sementara dan akan kembali lagi ke kota. Masyarakat berpenghasilan tetap, ASN, TNI-POLRI, BUMN, BUMD adalah golongan yang dilarang untuk ini dan wajib mematuhi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Sementara pulang kampung adalah pulang ke kampung halaman dan tidak akan kembali ke kota dengan protokol ketat seperti kewajiban mengisi formulir diri dan tujuan kepulangan, memiliki rekomendasi surat gugus tugas daerah dan izin kepala desa, menjalani pemeriksaan kesehatan dan menjalani isolasi mandiri. PMI (Pekerja Migran Indonesia) dan masyarakat yang terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) adalah golongan yang diperbolehkan untuk pulang kampung.

Di sinilah letak kritik itu seharusnya dialamatkan. Pemerintah harus bisa memberikan kepastian dan jawaban konkrit atas pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa siapkah daerah menyambut kedatangan orang-orang yang pulang kampung? Apakah desa-desa, seperti yang disebut Presiden Jokowi dalam wawancara dengan Najwa Shihab, benar-benar sudah menyiapkan tempat-tempat isolasi beserta tenaga medis selama 14 hari terhitung kedatangan orang-orang yang pulang kampung itu?

Ini belum termasuk pada anggaran untuk keperluan logistik dan penyediaan APD (Alat Perlindungan Diri) yang pastinya memakan biaya tidak sedikit. Kalau semua bisa terorganisir dengan baik, mungkin persoalan pulang kampung ini tidak akan menjadi polemik.

Akan tetapi, jika kalkulasi pemerintah meleset dan protokoler yang ditetapkan tidak berjalan seperti yang diinstruksikan, bisa jadi kepulangan orang-orang itu malah akan menjadi blunder dan memantik persoalan baru. Sebab kedatangan mereka beresiko menyebabkan meluasnya penyebaran virus ke daerah-daerah.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya