Tentang Akses Kursi Roda di Yogyakarta
Sebagai orang tua dari anak penyandang Spinal Muscular Atrophy (SMA), akses kursi roda, adalah hal yang paling utama dan selalu saya cari di manapun, khususnya di sekolah, tempat anak saya bersekolah. Ketika anak saya masih awal sekolah dasar, kelas 1, 2, dan 3, mungkin kondisi tanpa akses kursi roda, masih bisa saya tolerir, karena saat itu saya masih sanggup mengangkat anak saya ke lantai 2 dengan tangan kosong. Akan tetapi, ketika lewat usia 10 tahun, hal tersebut hampir tidak mungkin saya lakukan. Karena itulah, semenjak itu akses kursi roda adalah hal yang mutlak harus ada, di manapun dan ke manapun kami sekeluarga berpergian.
Ketika, tinggal di Inggris, dari tahun 2017-2018, hal ini mungkin tidak menjadi persoalan, karena di sana fasilitas dan angkutan umum, seperti trotoar dan bus kota, pasti memiliki akses kursi roda. Bahkan, hampir di semua kota, pengguna kursi roda biasanya digratiskan atau diberi potongan harga, ketika menaiki angkutan umum. Tambahan pula, semua peralatan yang dibeli dan digunakan oleh kaum difabel dan pengguna kursi roda, biasanya bebas pajak.
Ketika pulang ke Indonesia pada tahun 2018, kami sekeluarga terus terang agak kelimpungan berhadapan dengan situasi minimnya akses dalam berbagai fasilitas dan ruang publik di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, tempat kami tinggal. Saat itu, karena tidak menemukan sekolah yang berkualitas dan layak akses untuk kursi roda, kami terpaksa menyekolahkan anak kami di sebuah sekolah swasta di Yogyakarta, yang sangat mahal, akan tetapi, memiliki akses kursi roda, dan lift untuk membantu mobilitas antar lantai.
Ironisnya, sekolah dengan biaya mahal tersebut, setiap tahunnya selalu dipenuhi siswa pendaftar baru, bahkan terakhir kuota untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama, sudah habis, sehingga mereka tidak menerima pendaftar baru lagi. Terus terang biaya sekolah yang sangat mahal, yang dipatok sekolah tersebut, sangat memberatkan kondisi keuangan keluarga kami. Akan tetapi, karena tak ada pilihan lain, maka kami mau tidak mau harus menyekolahkan anak kami di sana.
Anak kami, sebagai penyandang SMA, ia sangat cerdas dan luar biasa pintar, terakhir, pada kelulusan Sekolah Dasar, ia menempati peringkat pertama, dan menjadi peraih nilai tertinggi. Ia juga memiliki channel sendiri di youtube, yang berisikan animasi tentang ide dan pengalaman hidupnya sehari-hari. Hal inilah yang membuat, saya menolak ketika ada orang-orang yang menyuruh kami menyekolahkan anak kami ke Sekolah Luar Biasa (SLB).
Anak kami senang dan butuh bergaul dengan anak lainnya, yang bukan difabel dan penyandang SMA. Sekolah inklusi sebenarnya jawaban untuk hal ini, akan tetapi, saya sendiri, sempat patah hati ketika datang ke sebuah sekolah yang mengklaim sebagai “inklusi” di Yogyakarta. Ketiadaan akses kursi roda yang layak, membuat sekolah tersebut menolak, ketika kami mengutarakan keinginan untuk mendaftarkan anak kami sekolah di sana. Pertanyaannya, mengapa sekolah ini berani-beraninya mengklaim diri sebagai inklusi, sementara akses kursi roda saja tidak ada?
Selain minimnya akses kursi roda, hal lain yang kami sulit temukan di Yogyakarta, adalah trotoar yang bisa dan layak dilewati oleh kursi roda. Karena hal ini minim, dan hampir tidak ada, maka kami selalu menggunakan layanan taksi online untuk antar jemput anak kami dari rumah ke sekolah. Persoalannya kemudian, tidak semua armada taksi online tersebut, bisa memuat kursi roda anak kami yang tak bisa dilipat. Kalau mau menggunakan bus, akses kursi roda untuk menuju halte dari rumah tidak ada, di dalam bus juga space untuk kursi roda juga sangat minim, bahkan hampir tidak ada.
Pada tahun 2020, kondisi Pandemi Corona, membuat hampir semua sektor ekonomi mengalami krisis. Hal inilah, yang membuat kami pada saat itu berpikir panjang untuk mendaftarkan anak kami ke jenjang SMP. Satu-satunya sekolah yang memiliki akses yang layak untuk kursi roda, hanya sekolah swasta mahal tadi. Akan tetapi, sekolah tersebut mematok biaya pendaftaran yang luar biasa mahal, tambahan lagi kuota yang sudah habis, membuat kami kemudian hanya bisa mendaftarkan anak kami sebagai siswa temporary di sana.
Untungnya, ada sekolah swasta juga, dengan biaya masuk yang sedikit lebih murah, bersedia menerima anak saya pada waktu itu. Pihak sekolah juga kemudian bersedia memindahkan ruang belajar kelas 7 dari lantai 2 ke kantai 1, dan mereka juga menyediakan jalan landau (ramp), untuk jalur kursi roda, sehingga anak saya bisa berkeliling sekolah dengan leluasa. Persoalannya adalah, sekolah ini merupakan sekolah yang “one in a million” di Yogyakarta, bahkan mungkin di Indonesia.
Akhir kata, harapan saya sebenarnya tidak muluk-muluk, pada Pemerintah Indonesia, khususnya Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y). Kursi roda, adalah alat bantu mobilitas untuk kaum difabel, untuk itu akses kursi roda adalah hal yang mutlak harus ada di berbagai fasilitas dan ruang publik. Dengan demikian, hal yang paling utama, yang harus direalisasikan pemerintah, adalah implementasi dari Undang-Undang No. 8 tahun 2016, tentang Penyandang Disabilitas, yang berisikan hak-hak kaum difabel yang harus dipenuhi oleh Negara Indonesia. Kalau ini sudah terwujud, maka salah satu tahapan untuk merealisasikan sila kelima, Pancasila, yaitu “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, sudah kita lewati.
Artikel Lainnya
-
445705/02/2021
-
91212/05/2020
-
105821/10/2021
-
Hak Guna Usaha 190 Tahun: Menjual Hak Rakyat untuk Keuntungan Segelintir Pihak?
221904/10/2024 -
130805/11/2021
-
Hari Ibu dan Usaha Mendobrak Badai Patriarki
168323/12/2019