Sound Horeg dan Republik Kebisingan

Sound horeg bukan sekadar hiburan, melainkan metafora sosial-politik rakyat yang merayakan luka dalam format bunyi. Ia tidak hadir di gedung konser atau kafe urban yang megah, melainkan di lorong kampung, pesta hajatan, pasar malam, panggung sederhana pinggir sawah. Sound horeg semula dianggap hiburan murahan dan gangguan, lantas bertransformasi menjadi simbol kompleks: hasrat merusak yang lahir dari, dilakukan oleh, dan dinikmati untuk rakyat sendiri.
Berbeda dengan (pertunjukan) musik biasa, sound horeg bukan artikulasi estetis lewat lirik atau komposisi, melainkan ledakan intensitas bunyi. Yang utama bukan pesan dan isi, melainkan hantaman bass dan vibrasi speaker yang mengguncang.
Distorsi yang memekakkan telinga justru menjadi katarsis, semacam proses pengalaman tubuh yang menegasikan logika. Dengan demikian, sound horeg bisa jadi bukanlah orkestra “musik”, melainkan pola tindak rakyat dalam rangka “menghancurkan” ruang akustik mereka sendiri.
Demokrasi Kebisingan
Di balik hiruk-pikuk itu, sound horeg adalah demokrasi dalam bentuk paling banal. Semua orang bisa menyewa, menghadirkan panggung, menguasai ruang dengan suara. Tidak ada otoritas estetika atau kurasi kualitas. Hanya satu prinsip: semakin menggelegar, semakin keren.
Jacques Attali dalam bukunya Noise: The Political Economy of Music menegaskan, bunyi—terutama kebisingan—selalu memiliki dimensi politik; ia bukan sekadar gangguan, melainkan tanda perebutan ruang dan kuasa.
Dalam kerangka itu, sound horeg dapat dibaca sebagai bentuk “noise” yang menantang tatanan dominan, di mana rakyat menggunakan dentuman sebagai cara simbolik untuk menegaskan eksistensi mereka di luar regulasi negara dan industri musik.
Di sini, semboyan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” menemukan bentuk baru, namun hasilnya bukan kemaslahatan, melainkan kebisingan. Rakyat mendistribusi kuasa bunyi tanpa kendali, lalu menemukan kepuasan dalam semesta “kehancuran”.
Fenomena ini bisa jadi sekaligus metafora bagaimana rakyat merespons demokrasi hari ini. Demokrasi di mana-mana (ternyata) bukan diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup, melainkan arena unjuk kuasa, perebutan ruang, kebanggaan atas destruksi. Rakyat hanya korban demokrasi yang distortif.
Menariknya, dari perspektif sound horeg, rakyat berperan ganda, sebagai korban sekaligus pelaku perusakan. Mereka menikmati dentuman yang mengganggu tidur tetangga, bangga dengan speaker rakitan yang memekakkan telinga sesiapa, menyulap hajatan menjadi ajang sonic warfare. Demokrasi bunyi berubah menjadi demokrasi luka, ketika kebebasan tidak menghadirkan kebaikan bersama, melainkan kehancuran simbolis-kolektif.
Eskapisme Sosial
Hasrat merusak yang terkandung dalam sound horeg lahir dari frustrasi sosial-ekonomi yang menumpuk. Dalam keseharian, rakyat terbiasa dikekang, ditipu, diperas, diabaikan. Mereka kalah di ranah sosial, ekonomi, politik, dan hukum.
Maka, ketika tersedia ruang untuk merusak, meski via dentuman sound system, mereka menikmatinya sepenuh gairah. Meski sadar tengah merusak ketenangan, standar musik, bahkan kesehatan telinga, tetapi di titik itulah mereka menikmati dan memaknai kuasa, hal yang nyaris tak pernah hadir dalam hidup sehari-hari.
Dus, laku merusak ini dapat dipahami sebagai bentuk eskapisme sosial. Harga kebutuhan pokok terus naik, gaji rendah, tanah tergusur proyek, dan akses pendidikan serta kesehatan terbatas. Dalam situasi semacam itu, dentuman keras menjadi ruang pelarian, cara untuk melupakan penderitaan dan menenggelamkan suara batin yang penuh himpitan.
Celakanya, pelarian ini bukan tanpa ekses. Dinas Kesehatan Gresik, misalnya, mencatat paparan bunyi sound horeg di kabupaten itu kerap menembus 120–135 dB --setara mesin jet-- berisiko menimbulkan gangguan pendengaran permanen, stres, hipertensi, hingga penyakit jantung. Di Rembang, intensitas suara mencapai 95–120 dB, memicu 37 kasus konflik antar warga, mulai dari perdebatan hingga bentrokan fisik
Simbol Politik
Ditilik lebih jauh, sound horeg dapat dibaca sebagai simbol politik. Semacam budaya tanding (counter culture). Ia adalah suara rakyat yang tak terwadahi, suara yang tidak dipedulikan negara. Saat negara sibuk mengatur regulasi pajak dan hak cipta musik, konser dan penyiaran, rakyat memilih jalur liar: memproduksi bunyi sendiri secara serampangan. Ia menjadi gerakan politik semu, bukan tuntutan eksplisit, melainkan pernyataan. “Kami ada, kami berisik, kami merusak, kalian harus mendengar.”
Ironisnya, pernyataan politik ini berhenti di tingkat bunyi. Ia tidak bertransformasi menjadi agenda atau wacana, melainkan berputar pada ekstasi sesaat. Inilah yang membuatnya paradoks: mengeksploitasi eksistensi penderitaan sekaligus menampilkan ketiadaan agenda. Hasrat kolektif yang mendukung sound horeg membuatnya terus bertahan dan monoton, yang melulu bunyi.
Begitu dentuman berhenti, ada rasa kehilangan; begitu pesta bubar, ada kehampaan. Mereka memanggil sound horeg lagi dan lagi, terjerat adiksi destruktif.
Alhasil, sound horeg tidak bisa direduksi hanya sebagai hiburan murahan. Ia adalah cermin panggung belakang rakyat, metafora dari politik Indonesia yang keras, gaduh, tapi miskin substansi, nihil kontribusi. Ironi terbesar ada di sini: rakyat merayakan luka dengan dentuman yang mereka ciptakan bersama. Negara entah di mana.
Artikel Lainnya
-
150623/05/2020
-
108621/01/2024
-
63719/08/2022
-
Kondom dan Kepanikan Moral Masyarakat
152604/01/2020 -
Legal atau Ilegal, Aborsi Tetap Fatal
117425/10/2021 -
Kepentingan Negara-Negara Eropa Setujui Palestina Menjadi Anggota PBB
15413/07/2024