Mengapa Perempuan Selalu Menjadi Korban Kekerasan?

Derajat perempuan Indonesia telah diperjuangkan oleh Raden Adjeng Kartini (R.A. Kartini), dengan harapan tidak ada perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Sebagai pelopor kebangkitan perempuan di Nusantara, R.A. Kartini berpendapat bahwa perempuan juga dapat melakukan apa yang dikerjakan oleh laki-laki sehingga perempuan tidak layak diremehkan dan direndahkan. Namun, seiring berjalannya waktu keberadaan perempuan menjadi dilemahkan dan tercoreng derajatnya oleh maraknya kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan sebagai korban. Hal tersebut membuat publik bertanya-tanya terutama perempuan “Apakah perempuan berharga?” dan “Dimanakah tempat aman bagi perempuan?”.
Pertanyaan tersebut semakin menguatkan bahwa keamanan terhadap keberadaan perempuan layak dipertanyakan. Mengingat, selama ini kekerasan seksual sering terjadi di ruang publik, misalnya yang baru-baru ini terjadi pada transportasi umum KRL (Kereta Rel Listrik) di mana seorang laki-laki melakukan mastrubasi di dalam gerbong kereta ketika ada seorang perempuan yang sedang tertidur lelap di sampingnya. Dengan demikian, siapa yang akan disalahkan, apakah perempuan yang tidak hati-hati karena tidur di tempat umum? atau laki-laki yang tidak mengenal tempat dalam melakukan mastrubasi?
Di manapun berada, perempuan menjadi pihak yang dilemahkan karena dianggap tidak memiliki daya untuk melawan sehingga yang harus selalu berhati-hati adalah perempuan. Namun, tanpa mengingat bahwa yang seharusnya dilakukan adalah menciptkan lingkungan yang aman bagi perempuan dan pemberian sanksi tegas bagi pelaku. Rumah adalah tempat yang paling nyaman di antara tempat lainnya, di dalamnya terdapat kehangatan, cinta dan perlindungan dari keluarga.
Di samping itu, bagi sebagian orang rumah merupakan tempat yang menakutkan. Hal tersebut disebabkan adanya kekerasan seksual yang menimpa perempuan sering kali terjadi di dalam lingkungan keluarga, padahal keluarga adalah orang yang paling terdekat dari kita dan orang yang akan memberikan seluruh kekuatan yang dimiliki untuk melindungi anggota keluarganya. Tak jarang pelaku kekerasan seksual tersebut adalah ayah, saudara, paman dan kakek korban. Bahkan, sebagian telah melakukan aksinya hingga bertahun-tahun lamanya.
Keberadaan laki-laki yang mengetahui tentang kesetaraan dan isu terhadap perempuan dapat dihitung dengan jari karena, hanya segelintir dari mereka yang mengetahui hal tersebut. Sebagai pihak yang dominan terhadap pelaku kekerasan seksual dan memiliki power yang lebih dari pada perempuan, tentunya laki-laki seharusnya mengetahui isu-isu tersebut karena laki-laki lah yang cenderung memberikan tekanan dan penilaian yang salah kepada perempuan. Jika banyak laki-laki yang sadar mengenai kesetaraan gender dan isu perempuan diharapkan mereka tidak hanya sadar tetapi, mampu mengingatkan laki-laki sesamanya ketika mendapati kekerasan seksual di depan mata.
Namun, pada faktanya tak jarang laki-laki hanya diam mematung ketika di depan mata sedang terjadi kekerasan seksual. Laki-laki berperan dominan sebagai pelaku dan laki-laki pula yang berperan penting menghentikan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Mengapa demikian, karena ketika mayoritas dari pihak yang dominan tersebut mampu menciptakan perubahan baru, dalam hal ini mampu melawan pelaku kejahatan seksual maka keberadaan pelaku menjadi sempit sebab tidak ada lagi ruang bagi mereka untuk melakukan kejahatan seksual.
Meskipun demikian, apakah perempuan hanya diam saja?. Tentunya, sebagai pihak yang selalu merasa khawatir terhadap keamanan dan keselamatan dirinya di manapun berada tidak lantas membuat perempuan hanya diam. Bersatunya perempuan dalam menyuarakan anti kekerasan seksual di Indonesia harus diupayakan dan bersama-sama melawan ketika terjadi kekerasan seksual di ruang publik atau di ruang tertutup. Untuk keselamatan ketika bepergian sendirian, hendaknya perempuan wajib membawa alat perlindungan diri seperti papper spray atau lada yang dilarutkan dalam air serta alat kejut listrik dengan daya rendah. Lalu, apa yang menyebabkan perempuan selalu menjadi korban kekerasan seksual?.
Pertama, budaya patriarki yang masih kuat. Dalam budaya patriarki, perempuan dianggap memiliki kekuatan rendah dan lemah. Sementara itu, laki-laki dianggap lebih super power sehingga kuasa lebih ada di pihak laki-laki. Bahkan, dalam pernikahan juga dapat terjadi kekerasan seksual yang mana orang beranggapan bahwa setiap perempuan yang telah menikah kapan pun suami menginginkan untuk berhubungan seksual maka wajib mengikuti keinginan suaminya.
Dengan kata lain, hak perempuan yang sudah menikah layaknya daun jatuh ke air yang mengalir maka ia akan mengikuti kemanapun aliran air tersebut membawanya. Sama halnya seperti hilangnya hak perempuan yang sudah menikah, seolah-olah hidup dan seluruh keputusannya ada di tangan laki-laki. Pada dasarnya, manusia memiliki hak atas tubuhnya sendiri tidak terkecuali kepada perempuan sehingga ketika berhubungan seksual harus ada kesepakatan kedua pihak. Namun, ketika salah satu pihak menolak dan berujung pada pemaksaan maka dapat dikatakan sebagai kekerasan seksual pemaksaan perkawinan dalam pernikahan. Sementara itu, perempuan dengan rentang usia 20-30 tahun sering menjadi sasaran korban kekerasan seksual, mereka beranggapan bahwa power yang dimiliki laki-laki dapat melindunginya di mana pun berada. Padahal faktanya, tidak semua laki-laki memiliki niat dan tujuan yang baik.
Kedua, masih adanya victim blaming. Victim blaming merupakan sikap menyalahkan korban, di mana ketika korban berupaya mendapatkan haknya akibat dari kerugian yang diterima tetapi dianggap sebagai pihak yang menyebabkan adanya tindak kejahatan. Dalam hal ini misalnya, ketika terjadi kekerasan seksual pakaian yang dikenakan perempuan dianggap memicu adanya kejahatan seksual. Sementara itu, pada faktanya korban dengan pakaian tertutup pun tetap menjadi korban kekerasan seksual. Dengan demikian, perempuan selalu menjadi pihak yang disalahkan padahal ia adalah korban, respon buruk dari masyarakat mengakibatkan posisi perempuan semakin lemah.
Ketiga, tidak pedulinya masyarakat. Ketika terjadi kekerasan seksual di ruang publik sering kali orang di sekeliling kita enggan menolong bahkan cenderung diam atau berpura-pura tidak tahu mengenai apa yang sedang terjadi di hadapannya. Selain itu, terkadang orang di sekitar yang menyaksikan kekerasan seksual merasa takut jika pertolongannya malah membahayakan dirinya. Bahkan, mereka yang menyaksikan kejadian tersebut tidak tahu harus berbuat apa.
Namun di sisi lain, ada orang yang sedang menangis ketakutan dan merasa haknya direnggut, yaitu korban. Oleh sebab itu, menolong korban setidaknya menyelamatkan kondisi psikologisnya walaupun apa yang telah terjadi tidak akan pernah dilupakan korban seumur hidupnya. Orang di sekitar yang menyaksikan mungkin takut jika melawan tetapi rasa takut yang dirasakan korban jauh lebih besar dari pada orang yang menyaksikan.
Artikel Lainnya
-
32412/11/2022
-
164821/10/2020
-
115403/03/2020
-
114512/05/2020
-
82515/11/2021
-
Vaksinasi, Pembelajaran Tatap Muka dan Kesiapan Kita
70702/04/2021