Siklus Tiga Kata dalam Konflik Hina Nabi

Abdi Negara
Siklus Tiga Kata dalam Konflik Hina Nabi 01/11/2020 1218 view Opini Mingguan flickr.com

Lagi-lagi terjadi insiden berlatar belakang penghinaan agama. Macron, Presiden Prancis, dianggap menghina Islam karena mendukung sebuah karikatur Nabi Muhammad SAW yang diyakininya sebagai bagian ekosistem demokrasi yang dianut rezimnya.

Tema konflik ini erat kaitannya dengan peristiwa yang sama. Charlie Hebdo, sebuah majalah satir kontroversial di Perancis yang mulanya memuat sebuah karikatur Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah ekspresi pembelaan terhadap kebebasan berpendapat yang absolut. Narasi ini kemudian menjadi konsumsi publik dunia lebih dari satu dasawarsa.

Aroma kontroversi dan reaksi merebak di kalangan Muslim dunia. Dampak konfliknya pun masif. Nyawa jadi harga mahal yang diakibatkan narasi ini. Sekali lagi, Islam jadi objek sekaligus pihak yang disudutkan.

Menengok perkembangannya, saya merasa konflik ini semacam lingkaran setan. Belum ada akhirnya, berulang, dan semakin membara. Sebut saja ini Siklus “Tiga Kata” yaitu, provokasi, aksi, dan reaksi. Menjadikan rezim dan salah satu media massa di Prancis sebagai protagonis dan dengan sukses menempatkan Islam sebagai antagonis.

Skenario ini dimulai dari Charlie Hebdo yang tak hentinya memprovokasi Umat Muslim lewat terbitan karikatur Nabi sejak 2006. Kecaman Muslim dunia sebagai reaksi tak menyurutkan ide dan produksi karikatur ini. Sampai akhirnya tragedi penembakan pada 7 Januari 2015 di kantor Charlie Hebdo di Paris. Menewaskan sedikitnya 12 orang termasuk kartunis ternama Prancis. Pelaku aksi penembakan, Said dan Cherif Kouachi, merupakan aktivis Islam yang masih terkait dengan jaringan Al-Qaeda.

Tak jera, September 2020 lalu, majalah ini mencetak ulang karikatur Nabi yang sama sebagai penanda mulai diadilinya pelaku penembakan. Jelas ini provokasi dan memantik kembali reaksi Muslim dunia.

Setali tiga uang, Oktober 2020 terjadi pemenggalan Samuel Paty. Seorang guru yang menjadikan karikatur Nabi yang sama sebagai materi pembelajaran kebebasan berpendapat kepada siswanya di sekolah. Pelaku aksi pemenggalan, Abdoulakh Anzorov, seorang pria Muslim berusia 18 tahun, lahir di Moskow dan berdarah Chechnya. Hingga klimaksnya, Marcon, menyatakan dua hal yang sangat memprovokasi Muslim dunia. Tetap menyatakan karikatur Nabi sebagai aksi kebebasan berpendapat dan pembunuhan atas pihak-pihak yang ada kaitannya dengan karikatur tersebut dianggap merupakan “Serangan Teroris Islamis”.

Entah kebetulan atau terskenario, rentetan kisah ini selalu berakhir tak manis untuk Islam. Terlepas Umat Muslim seharusnya menjadi pihak yang dizolimi oleh rezim Prancis. Akhir tragis dalam bentuk aksi penembakan dan pembunuhan sukses menjadi simpulan dari setiap sekuel kisah ini. Tanpa sadar, Umat Muslim menjadi pihak yang paling dirugikan dalam konflik ini. Persepsi Islam menjadi agama umat yang anarkis dan tidak toleran menyeruak tak terbendung di ruang publik.

Dalam konflik ini, Islam dipandang mengedepankan penyelesaian konflik dengan metode “kemarahan”. Hal ini tak lepas dari peran kelompok muslim ekstrim yang memiliki sudut pandang bahwa orang-orang seperti Macron dan sejenisnya halal darahnya untuk dikucurkan. Mungkin Saya dan beberapa dari Anda meyakini, Siklus “Tiga Kata” ini tak akan berakhir dengan cara kekerasan. Teringat dengan tulisan Gus Dur tentang “Tuhan Tak Perlu Dibela”. Dengan menyisipkan anekdot “X” sebagai seorang mahasiswa Muslim yang pulang ke tanah air pasca menuntaskan studi di luar negeri. X menemukan realita ekspresi kemarahan orang Muslim dalam setiap khutbah Jum’at, Majalah Islam, dan pidato para mubaligh dan da’i. Sebagai analogi yang sama, inilah kerangka psikologis yang dilihat oleh umat agama lain dan warga dunia terhadap umat Muslim saat ini. Tak heran kemudian muncul dan berkembang konsep Islamofobia. Bagaimana orang tidak takut, wong kelihatannya “marah” terus.

Sebagai bagian dari umat muslim, tentu saya tidak ingin krisis ini berkepanjangan. Siklus ini mau tak mau harus diputus. Ingin sekali melihat permasalahan ini bukan dengan sudut pandang “kemarahan”. Namun dengan cara berpikir berbeda, solutif dan tentu saja happy ending untuk semua pihak apalagi Umat Islam. Melihat narasi yang terjadi paling tidak ada dua penyebab yang dapat dirumuskan, yaitu gagal paham tentang Islam dan pengelolaan konflik yang berorientasi “kemarahan”.

Tak kenal maka ta’aruf. Bisa jadi ini jawabannya. Salah satu indikasi mengapa banyaknya pelecehan yang dilakukan oknum terhadap Islam (Agama, Al-Quran, dan Rasulnya) karena tidak mengenal. Tidak pernah ada hal buruk yang diceritakan dari Nabi Muhammad SAW dalam setiap kisahnya. Ini fakta yang tak terbantahkan dan menjadi brand image tersendiri.

Untuk ending yang berbeda, Umat Islam seharusnya tak perlu defensif ketika Nabi dihina. Konon “menyerang” adalah pertahanan yang terbaik. Menyerang adalah mulai mempromosikan kepada dunia fakta dan brand image Nabi. Tunjukkan sikap dan perilaku Nabi yang telah dicontohkan kepada Umat Muslim. Nabi melarang pengikutnya untuk membalas lebih dari apa yang dilakukan oleh orang yang menghinanya. Kampanye seperti ini lebih efektif daripada bereaksi dengan kemarahan dan berujung aksi anarkisme brutal dengan korban mengenaskan. Cara ini akan lebih mengenalkan Islam dari sisi yang toleran dan mengasihi, bahkan mengasihi bagi penghinanya.

Energi kemarahan yang dilontarkan umat Muslim dalam konflik ini sungguh besar. Saking besarnya, dari aksi turun ke jalan, melakukan boikot produk, sampai dengan melakukan aksi-aksi anarkis atau vandalisme sudah dilakukan. Selain menguras energi sebenarnya ini malah berdampak buruk untuk aspek kehidupan lain. Aksi turun ke jalan misalnya, erat dampaknya dengan pelanggaran ketertiban umum. Tak jarang aksi ini berpotensi menimbulkan anarkisme dan vandalisme. Sementara boikot produk, tidak selalu menjadi cara efektif untuk mengancam sebuah rezim.

Sektor buruh juga akan sangat terdampak dengan aksi ini. Buruh kehilangan pekerjaan dan penghidupan. Akibatnya belum mengena langsung pada rezim yang dikecam. Ekses ini hendaknya jadi pertimbangan saat Umat Muslim akan bereaksi. Alih-alih melawan kedzoliman namun justru mendzolimi sesama manusia.

Konflik ini harus dikelola dengan proporsional sesuai perannya masing-masing. Saya, sebagai warga negara dan penganut muslim tentu akan menuangkan protes saya dengan media yang telah disediakan. Bisa menulis di media, bisa mengutarakan protes via sosial media, atau secara resmi melalui organisasi masyarakat menyalurkan protes kepada pemerintah sebagai wakil negara. Negara tentu akan menyampaikan protes dalam bentuk formal dalam sebuah hubungan diplomatik antar negara. Sehingga dapat dihindari meluasnya dampak konflik tersebut.

Ada alternatif yang berbeda yang patut dicoba untuk hasil yang berbeda. Umat Muslim dapat menunjukkan simpatinya terhadap keluarga korban penembakan Charlie Hebdo dan korban pemenggalan Samuel Paty. Sampaikan permintaan maaf sebagai Umat Muslim dan utarakan kecaman terhadap aksi kekerasan yang terjadi. Tunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi bukan ajaran Islam dan Nabi sama sekali. Memaafkan dan damai adalah kultur asli ajaran Islam dan Nabi. Siapa tahu alternatif inilah yang dapat menjadi akhir kisah manis antara rezim Prancis dan Umat Muslim dunia. Wallahualam Bissawab.

Sumber :
1. Detik.com. 2020. Pemenggalan Guru Prancis Minta Bantuan Murid Untuk Temukan Samuel Paty
2. Detik.com. 2020. Kontroversi Berbuntut Panjang Charlie Hebdo Bikin Karikatur Nabi
3. BBC News. 2015. Paris attacks: Suspects' profiles.
4. Kompas.com. 2017. Kata Gus Dur Tuhan Tidak Perlu Dibela.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya