Menggali Estetika Lukisan Caspar David Friedrich
Tepat 249 tahun yang lalu, seorang seniman romantisisme terkemuka di dunia bernama Caspar David Friedrich lahir pada tanggal 5 September 1774 di daerah Laut Baltik, Greifswald, Pommern Swedia, sebuah kerajaan di bawah Mahkota Swedia dari tahun 1630 sampai 1815 di pesisir Baltik Jerman dan Polandia.
Caspar dibesarkan dalam keluarga pembuat lilin dan sabun, namun karena hasratnya yang besar terhadap seni menjadikan ia sebagai salah satu tokoh utama gerakan Romantisme Jerman yang berpengaruh.
Karya-karya lukisannya terkenal akan pandangannya yang luas, penuh simbolis, gelap, misterius, berlatar lanskap atmosfer dan pemandangan laut yang memproklamirkan ketidakberdayaan manusia terhadap kekuatan alam. Banyak hal yang tergambarkan dengan menetapkan ide sublime sebagai perhatian utama.
Pada usia 13 tahun, Friedrich melihat saudaranya jatuh di danau beku dan tenggelam. Rupanya dari pengalaman tersebut juga telah mempengaruhi cara berkarya Caspar seterusnya. Tahun 1794 ia pergi ke Copenhagen dan belajar di sana sampai tahun 1798 di sebuah akademi bergengsi Copenhagen, salah satu sekolah paling progresif pada saat itu sebelum akhirnya menetap di Dresden.
Caspar sudah lama terpesona oleh pemandangan lanskap, sebagian lagi terinspirasi oleh panorama laut Baltik. Dari sini pula bisa kita lihat melalui karya lukisan minyak pertamanya, “Cross In The Mountains” yang ia buat untuk altar gereja bergaya revolusioner dengan mengubah ikon agama kristen yang paling kuat sebagai bentang alam.
Lukisan tersebut mewujudkan kecintaan seniman secara mendetail dan menunjukkan sisi religiusnya yang mendalam. Cross In The Mountain merupakan upaya pertama Caspar untuk menyampaikan keyakinan spiritualnya melalui kuas dan kanvas. Kelihatannya radikal dan fanatik bagi sebagian orang terutama bagi para kritikus seni karena pada saat itu pegunungan dianggap memiliki komposisi perspektif yang buruk dan karya tersebut dipersembahkan untuk altar gereja, sehingga memicu perdebatan karena tidak cocok dengan tema-tema keagamaan.
Zaman Eropa dimana Friedrich lahir merupakan salah satu turbulensi besar pada masa Revolusi Prancis. Friedrich lahir dan hidup pada masa transisi karena pada waktu itu pula juga terjadi peralihan zaman dari dua gerakan yang berbeda yaitu Neoklasikisme dan Romantisisme.
Friedrich juga menyaksikan sendiri transformasi masyarakat agraris lama yang digantikan oleh masyarakat industri baru. Perubahan tersebut turut mempengaruhi Caspar sehingga lukisan-lukisannya kerap mencerminkan figur-figur yang sedang berhadapan dengan perubahan zaman. Sebagian besar karya-karyanya menciptakan kesan dramatis sebagai cerminan ketenangan yang teduh meskipun gejolak besar sedang terjadi.
Elemen zaman neoklasik juga muncul pada Abad Pencerahan ketika para pemikir menelisik kembali nilai-nilai Yunani dan Roma. Para seniman juga terinspirasi oleh neoklasik semacam ini baik dalam gaya maupun tema, seperti halnya lukisan Jacques-Louis David yang sering dijadikan cover buku-buku filsafat :“The Death Of Socrates”. Lukisan ini merupakan bagian dari gaya neoklasik yang amat populer pada tahun 1780-an, berkisah tentang eksekusi Socrates seperti yang diceritakan oleh Plato dalam Phaedo-nya. Socrates dihukum karena menghasut pikiran pemuda Athena dan memperkenalkan dewa-dewa aneh yang kemudian dijatuhi hukuman mati dengan meminum racun hemlock.
Sebagai reaksi terhadap Abad Pencerahan, Romantisisme muncul ditandai dengan adanya gerakan sastra dan seni yang diwujudkan oleh penyair Lord Byron. Kaum Romantisisme merasa Abad Pencerahan telah menghilangkan keajaiban/misteri dunia, mengubah manusia menjadi mesin dan sengaja mengungkap misteri alam. Demikian pula Caspar sendiri yang merupakan bagian dari gerakan Romantisisme juga menentang gagasan Abad Pencerahan tersebut.
Pertentangan Caspar terhadap Era Neoklasik yang didominasi Perancis diwujudkan melalui karya lukisannya yang berjudul “The Tombs of the Old Heroes“ yang secara bersamaan bersifat anti-Perancis dan anti klasik karena ia menggambarkan makam pahlawan nasional Jerman, Arminius dalam perjuangannya melawan pasukan Romawi. Era yang juga mengalahkan tiga legiun Romawi.
Para pemikir Neoklasik dan Abad Pencerahan melihat alam sebagai sesuatu untuk dimengerti dan ditaklukkan akan tetapi Friedrich mengilhami lanskapnya dengan rasa hormat, ketakutan, dan misteri. Gagasannya yang berlawanan ini tidak hanya bersifat filosofis. Itulah yang menyebabkan gaya melukisanya berbeda dengan seniman Neoklasik.
Pada lukisan Caspar terdapat bangunan tua ciptaan manusia yang sedang berperang dengan alam. Perlahan namun pasti, pepohonan dan tanaman di sekitarnya akan merenggut kembali wilayah kekuasaannya dari tangan manusia. Lukisan lanskap milik Friedrich seharusnya dirasakan bukan sekedar untuk diamati, tentu dengan lebih mendalam, dramatis, dan emosional. Dengan cara ini, Caspar mengingatkan kepada seni Tiongkok di mana lanskap alam memiliki kedudukan paling tinggi sementara sosok manusia semakin menyusut dan sang seniman berupaya menyampaikan esensi terdalam dari alam itu sendiri dengan tidak mempersepsi karya seni sebagai tiruan kenyataan yang akurat tetapi sebagai perlambang kenyataan batin yang tidak berorientasi ke luar namun ke dalam.
Kita bisa melihat bagaimana sosok manusia dalam lukisan Caspar tidak signifikan, mereka kerdil di antara lanskap yang menaunginya. Hubungan antara manusia dan alam menurut Romantisisme Caspar bukanlah salah satu pembuktian ilmiah akan tetapi berangkat dari ketidaktahuan, sublimitas, dan turbulensi spiritual.
Seniman Abad Renaisans dan Neoklasik memiliki kesamaan menempatkan manusia sebagai pusat karya mereka dengan penuh kemenangan, rasional dan indah, namun pada karya Caspar kita harus mencari ada di mana figur manusia tersebut berada.
Selain itu, motif favorit Caspar adalah menempatkan sosok manusia seolah-olah menjauh, diposisikan membelakangi penonton, merenungkan alam dan tenggelam di dalamnya alih-alih menjadi pusat utama. Di sini, objek dan pemandangan tidak lagi menjadi nyata, malah menjadi simbol makna seperti mimpi beserta kemurniannya yang suram.
Pada awalnya, Caspar menikmati buah-buah kesuksesan dan menuai beragam pujian, tetapi dalam dua dekade terakhir kala itu, hidupnya mengalami penurunan secara bertahap, ia mulai sakit-sakitan, menderita kemiskinan, krisis diri, dan hidup dalam keterasingan.
Dalam lukisan terakhirnya kita bisa merasakan sesuatu dari rasa frustrasi Caspar sendiri, bahkan kesadaran terhadap akhir yang akan datang. Sampai saat itu dia benar-benar dilupakan.
Namun pada tahun 1920-an ia telah ditemukan kembali dan menjadi pengaruh penting bagi kaum Ekspresionis dan Surealis untuk menumbuhkan kembali kekuatan mimpinya serta mengilhami visi yang baru. Dan inilah Caspar David Friedrich dengan segala intensitas ekspresi yang telah diharapkan, seorang seniman yang berjuang untuk keindahan yang tidak diketahui tentang misteri alam serta usahanya mencari percikan jiwa manusia yang tak terhitung jumlahnya.
Artikel Lainnya
-
336325/04/2020
-
98113/04/2025
-
143825/10/2020
-
Indonesia Dilema Antara Bangku Kosong Najwa Atau Pemerintah?
138317/10/2020 -
Kedigdayaan Pertanian Menghadapi Ancaman Resesi Ekonomi
119820/08/2020 -
1001 Makna di Balik Omnibus Law
216112/10/2020
