Signifikansi Media Kontra-Oligarki Paska Pemilu 2019 di Indonesia

Kulitinta di Nusa Nipa
Signifikansi Media Kontra-Oligarki Paska Pemilu 2019 di Indonesia 09/12/2019 2219 view Politik pxhere.com

Empat (4) hari sebelum Pemilu serentak 2019, “Sexy Killers” diunggah Rumah Produksi “Watchdoc Documentary” ke Youtube. Film dokumenter yang sudah tembus 27 juta lebih penonton ini bikin oligark di Ibu Pertiwi panas dingin. Sebab, dia dengan amat sangat berani mengungkap jaringan oligarki di balik tambang batu bara di Kalimantan Timur yang sudah merenggut banyak nyawa.

Di Kubu Jokowi-Amin, ada nama-nama seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Fachrul Razi, dan Suadi Marasambessy yang tergabung dalam tim Bravo 5. Juga Harry Tanoesoedibjo, Surya Paloh, Sakti Wahyu Trenggono, Jusuf Kalla, Andi Syamsuddin Arsyad, dan Oesman Sapta Oedang.

Di Kubu Prabowo-Sandi, ada nama-nama seperti Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, Maher Al Gadrie, Hashim Djojohadikusumo, Sudirman Said, Ferry Mursydan Baldan, dan Zulkifli Hasan.

Menariknya, PT Saratoga Investama milik Sandiaga Uno sudah melepas saham sebesar Rp130 Miliar ke PT Toba Bara milik Luhut Pandjaitan. Selain itu, sebagian saham PT Adaro Energy milik Sandiaga Uno dimiliki oleh adik kandung Erick Tohir, Ketua Tim Pemenangan Jokowi-Amin (Youtube Watchdoc Documentary, 2019).

Usai Pemilu 17 April lalu, publik pun bertanya-tanya, siapakah pemenang sesungguhnya dalam pesta demokrasi di Negara demokratis terbesar ketiga di dunia ini? Benarkah kehidupan ekonomi politik di Indonesia telah selangkah lebih maju? Bagaimana memastikan proses demokratisasi di Indonesia berjalan tanpa bergantung terlampau absolut pada kuasa uang?

Pemilu 2019 telah membuktikan dirinya sendiri bahwa siapa pun presidennya, oligark-lah pemenangnya. Seperti komentar Profesor Jeffrey Winters soal Pilpres 2014 lalu, dalam Pilpres 2019 yang baru saja berlalu, kita sesungguhnya tidak punya pilihan. Baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama menjalankan agenda oligarkis.

Migrasi kekuasaan Jokowi dari Solo ke Jakarta mustahil terjadi tanpa dukungan kaum oligark. Jika ingin sintas di kursi kepresidenan, Jokowi, walau ia terlalu “kurus” untuk disebut oligark, mesti melayani kepentingan oligark di sekelilingnya.

Tak diragukan lagi, Prabowo Subianto adalah triliuner yang lahir dari keluarga aristokrat Djojohadikusumo. Mantan menantu Suharto ini dapat sokongan dana penuh dari adik kandungnya Hashim Djojohadikusumo dan Sandiaga Uno. Legitnya cengkeraman oligarki membuat kehidupan ekonomi politik di Indonesia selalu tersandera kepentingan pragmatis para oligark.

Winters mendefinisikan oligark sebagai “pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya.” Dengan kata lain, oligark adalah orang kaya yang bisa pakai kekayaannya untuk mempertahankan kekayaan dan kekuasaan politiknya. Watak politik oligark di Indonesia adalah mempertahankan kekayaannya berdasarkan ideologi bagi-bagi kekuasaan ekonomi politik di antara segelintir elite (Winters, 2011).

Masuknya Prabowo Subianto ke dalam Kabinet “Indonesia Maju” Jokowi – Amin menegaskan tesis Winters bahwa darah politik di Indonesia adalah bagi-bagi kekuasaan. Birokrasi kabinet yang membengkak - seperti ditandai oleh hadirnya posisi wakil menteri - adalah strategi oligarki mempertahankan kekayaan pribadi via meja kekuasaan politik. Stafsus milenial Jokowi hanyalah etalase dalam pasar gelap kekuasaan oligarki. Oleh karena itu, tepat nian Koran Tempo menjuduli salah satu terbitannya paska Pilpres: “Saatnya Berbagi.” Sama seperti pertarungan kekuasaan ekonomi politik terjadi di antara sesama oligark, demikian pun bagi-bagi kekuasaan terjadi di antara sesama oligark. Rakyat Indonesia hanya bisa menjadi penonton pasif menyaksikan drama pembajakan demokrasi oleh oligarki.

Sementara itu, Richard Robison dan Vedi R. Hadiz dalam buku “Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets” meneliti kemunculan kembali oligarki politik dan bisnis dari dalam sistem pemerintahan otoriter Orde Baru. Para oligark atur ulang kembali kekuatannya melalui krisis berturut-turut dan ambil alih lembaga-lembaga politik dan pasar.

Usai krisis moneter pada 1997 dan kejatuhan rezim otoritarianisme Suharto pada 1998, terjadi perebutan kekuasaan dan kekayaan yang luar biasa dalam sistem parlementer dan partai.

Sementara itu, Negara dan bisnis tetap menjaga hubungan harmonis agar kerajaan perusahaan tetap utuh. Menurut mereka, hal paling menonjol dalam politik di Indonesia paska Suharto adalah oligarki dan para pendukungnya sebagai produk Suharto telah mereorganisasi atau menyusun kembali kekuasaan sosial dan politik mereka dalam era demokrasi baru.

Hal ini ditandai dengan munculnya partai dan parlemen untuk memperkuat aliansi predatoris mereka. Hal ini juga menunjukkan bahwa relasi kekuasaan yang lama dapat bertahan dalam institusi kekuasaan yang baru (Robison dan Hadiz, 2004).

Pada Winters, oligarki mengacu pada agensi atau aktor, sedangkan pada Hadiz dan Robison, oligarki mengacu pada relasi kuasa. Winters menekankan oligarki sebagai “politik pertahanan kekayaan antar aktor yang memiliki sumber daya material berlimpah”, sedangkan Hadiz dan Robison menggambarkan oligarki sebagai “sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektif atas konsentrasi kekayaan”.

Winters menekankan individualitas oligarki sebagai mekanisme pertahanan kekayaan (property) dan pendapatan (income) pribadi, sedangkan Hadiz dan Robison menekankan kolektivitas oligarki sebagai bagian dari perkembangan kapitalisme global.

Akan tetapi, keduanya sepakat bahwa oligarki yang telah dibangun sejak rezim Orde Baru Suharto dan yang dapat hidup berdampingan dengan demokrasi elektoral-prosedural hanya dapat dihancurkan dengan revolusi untuk menceraikan relasi intim antara kekayaan dan kekuasaan politik di Indonesia (Ananta, 2014).

Revolusi penghancuran relasi intim antara kekayaan dan kekuasaan politik di Indonesia dapat dimulai dari media kontra-oligarki di era revolusi digital dewasa ini. Ross Tapsell dalam buku “Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital” berpendapat, walaupun revolusi digital menyebabkan semakin meningkatnya kekuasaan konglomerasi digital dan oligarki media di Indonesia, kehadiran media digital juga dapat digunakan oleh warga biasa untuk menangkal, menandingi, atau mengacaukan konten oligarkis media arus utama yang dominan (Tapsell, 2018).

Proposal kepentingan ekonomi politik para oligark dan konglomerat media di tanah air seperti Chairul Tanjung (CT Corp), Harry Tanoesoedibjo (Global Media Com), Eddy Sariatmadja (EMTEK), James Riady (Lippo), Jacob Oetama (Kompas Gramedia), Aburizal Bakrie (Bakrie Group), Dahlan Iskan (Jawa Pos Group), dan Surya Paloh (Media Group) dapat ditandingi dengan proposal para jurnalis, videografer, atau content creator independen dari media kontra-oligarki yang memproduksi konten jurnalistik melawan agenda-agenda oligarki.

Pada titik di mana oligarki kian mantap menancapkan kuku pada setiap pori-pori kekuasaan ekonomi politik di Indonesia, pada titik itulah media kontra-oligarki dapat bersatu mengorganisasi diri untuk menyatakan perlawanan terhadapnya.

Perlawanan terhadap oligarki tak bisa dilakukan secara sporadis, melainkan mesti dilakukan secara rapi dan terorganisasi. Sebab, kita tahu, semenjak aksi pembunuhan massal pada 1965-1966, gerakan Kiri yang konsisten memperjuangkan keadilan sosial macet.

Untuk dapat membangun kembali gerakan Kiri progresif, media kontra-oligarki yang telah menghimpun diri dalam suatu kekuatan organisasi besar harus terus menggembosi kekuasaan oligarki di satu sisi dan menyuarakan kepentingan kelas pekerja di sisi lain. Tentu saja kerja hegemonisasi ruang publik dengan berita dan wacana kepentingan kelas pekerja mesti dibarengi dengan aksi mengorganisasi kelas pekerja dan membentuk partai politik kelas pekerja. Partai politik kelas pekerja dengan didukung oleh media kontra-oligarki akan dapat menginisiasi gerakan ekonomi politik alternatif melawan kekuasaaan oligarki di negeri ini.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya