Agenda Terselubung Membentuk Dewan Pertimbangan Agung

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik dan Advokasi HAM di Lembaga Pusat Riset dan Kajian HAM
Agenda Terselubung Membentuk Dewan Pertimbangan Agung 23/07/2024 106 view Politik Wikipedia

Baru-baru ini ada kabar kalau Badan Legislasi DPR (Baleg) telah mengusulkan revisi Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Dalam usulan tersebut, Baleg tidak hanya menginginkan perubahan nama menjadi Dewan Pertimbangan Agung, tetapi juga memberikan keleluasaan dalam jumlah anggota yang bisa diangkat. Langkah ini menimbulkan berbagai spekulasi di kalangan publik, terutama terkait dugaan adanya agenda terselubung untuk mengakomodasi para pendukung Prabowo dalam pemilihan presiden.

Sejarah telah mencatat bahwa badan penasihat presiden bukanlah institusi baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Sejak era Orde Baru, badan ini memiliki peran penting dalam memberikan nasihat kepada presiden. Namun, perubahan nama dan penambahan anggota yang tak terbatas, sebagaimana diusulkan oleh Baleg, memunculkan pertanyaan mendasar dalam benak saya: Apakah langkah ini benar-benar bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan, atau justru ada agenda politik tertentu di baliknya?

Mungkin saja, Baleg beralasan bahwa perubahan ini diperlukan untuk meningkatkan fleksibilitas dan efektivitas dalam memberikan nasihat kepada presiden. Namun, alasan ini terkesan tidak memadai tanpa disertai argumen dan data yang kuat. Jika kita telaah lebih dalam, ada beberapa hal yang patut kita kritisi.

Pertama, perubahan nama dari Wantimpres menjadi Dewan Pertimbangan Agung seakan ingin memberikan kesan bahwa badan ini memiliki otoritas yang lebih tinggi. Istilah "Agung" mengandung konotasi kekuasaan dan wibawa yang besar. Padahal, secara fungsi, badan ini tetap hanya memberikan nasihat, tanpa memiliki kekuasaan eksekutif yang sebenarnya. Penggunaan istilah yang bombastis ini seolah ingin menutupi tujuan sebenarnya dari revisi ini.

Kedua, usulan untuk menghapus batasan jumlah anggota Dewan Pertimbangan Agung menimbulkan kekhawatiran akan potensi pemborosan anggaran negara. Dalam sistem demokrasi yang sehat, efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran publik harus menjadi prioritas utama. Menambah jumlah anggota tanpa batas hanya akan memperbesar beban anggaran, tanpa ada jaminan peningkatan kualitas nasihat yang diberikan.

Lebih jauh, ada dugaan kuat bahwa langkah ini merupakan strategi politik untuk mengakomodasi para pendukung Prabowo. Seperti yang kita ketahui, politik di Indonesia seringkali diwarnai oleh praktik balas jasa atau "patron-client". Dengan menambah jumlah anggota Dewan Pertimbangan Agung, ada kemungkinan besar bahwa jabatan-jabatan ini akan diisi oleh para pendukung Prabowo sebagai bentuk kompensasi politik.

Kritik ini bukan tanpa dasar. Seorang ahli politik, Miriam Budiardjo, dalam bukunya "Dasar-Dasar Ilmu Politik" menekankan bahwa politik sering kali diwarnai oleh upaya pihak yang berkuasa untuk mempertahankan dukungan dengan cara memberikan imbalan dalam bentuk jabatan atau fasilitas lainnya (Budiardjo, 2008). Hal ini sangat relevan dalam konteks usulan revisi ini, di mana terlihat adanya upaya untuk menciptakan lebih banyak posisi yang bisa diisi oleh para pendukung.

Selain itu, data dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) menunjukkan bahwa anggaran untuk institusi penasihat presiden sudah cukup besar. Menambah jumlah anggota tanpa batas hanya akan memperburuk situasi keuangan negara yang sudah terbebani oleh berbagai pengeluaran besar lainnya. Ini tentu bertentangan dengan prinsip good governance yang menekankan transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pengelolaan anggaran publik.

Di sisi lain, jika kita lihat dari sudut pandang efektivitas, penambahan jumlah anggota justru bisa menimbulkan masalah koordinasi dan fragmentasi nasihat yang diberikan. Jumlah anggota yang terlalu banyak akan menyulitkan presiden dalam mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Sebagaimana diungkapkan oleh Herbert A. Simon dalam teori pengambilan keputusannya, jumlah informasi yang terlalu banyak justru dapat menghambat proses pengambilan keputusan yang efektif (Simon, 1997).

Maka, langkah revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden ini perlu dikaji ulang dengan lebih mendalam. Jangan sampai perubahan yang dilakukan justru menimbulkan masalah baru yang lebih besar. Pemerintah dan DPR harus mendengarkan suara publik dan para ahli untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar bertujuan untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan sekadar untuk memenuhi agenda politik tertentu.

Sebagai warga negara, kita memiliki tanggung jawab untuk terus mengawasi dan mengkritisi setiap kebijakan yang diambil oleh para pemimpin kita. Keterlibatan aktif dalam proses demokrasi adalah kunci untuk memastikan bahwa pemerintah tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kepentingan publik. Revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden adalah salah satu contoh nyata di mana partisipasi publik sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya