Ketika Kursi Bicara, Nurani Bungkam

Penulis Lepas
Ketika Kursi Bicara, Nurani Bungkam 22/03/2025 204 view Lainnya istock.com

Ada sebuah pepatah lama yang semakin terbukti kebenarannya: "Jika ingin melihat pribadi seseorang, berikan ia jabatan." Sebab, jabatan bukan hanya sebuah kedudukan, melainkan cermin yang memantulkan watak asli manusia. Ia bisa menjadi alat bagi seseorang untuk membuktikan kesetiaan terhadap nilai-nilai yang dahulu diperjuangkan, atau justru menjadi pemangsa yang memangsa idealisme sendiri.

Dulu, sebelum mereka duduk di kursi empuk kekuasaan, mereka adalah singa-singa yang meraung lantang di jalanan, menggugat ketidakadilan, dan menantang penguasa. Mikrofon adalah senjata, spanduk adalah tameng, dan orasi adalah peluru tajam yang membidik tirani. Mereka menyuarakan hak-hak rakyat, membela kaum tertindas, dan mengutuk sistem yang dianggap bobrok. "Negeri ini butuh perubahan!" teriak mereka di tengah kerumunan, dengan dada membusung penuh kebanggaan.

Namun, seiring waktu, takdir membawa mereka ke meja yang dulu mereka hujat. Dari seorang aktivis menjadi pejabat, dari orator menjadi penguasa. Mereka yang dulu menuding kini dituding, mereka yang dulu memimpin demonstrasi kini justru menjadi objek demonstrasi. Ternyata, kursi kekuasaan punya keajaiban tersendiri: ia dapat membungkam mereka yang dahulu paling lantang bersuara.

Jabatan dan Ujian Karakter

Para filsuf klasik dan ilmuwan sosial telah lama memperdebatkan bagaimana kekuasaan mengubah seseorang. Lord Acton pernah berkata, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." Kekuasaan, dalam banyak kasus, bukan hanya mengubah, tetapi juga mengungkap siapa seseorang sebenarnya. Apakah mereka benar-benar seorang idealis yang berjuang demi rakyat? Ataukah mereka hanyalah serigala berbulu domba yang selama ini menunggu kesempatan untuk masuk ke lingkaran kekuasaan?

Teori psikologi sosial seperti efek Lucifer yang dikemukakan oleh Philip Zimbardo menjelaskan bagaimana seseorang bisa berubah menjadi pribadi yang bertolak belakang ketika diberi otoritas. Eksperimen Stanford Prison yang dilakukan Zimbardo menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu, individu yang awalnya 'baik' bisa berubah menjadi represif dan lalim ketika diberi kuasa atas orang lain. Fenomena ini menjelaskan mengapa para aktivis yang dulunya kritis bisa berubah menjadi bagian dari sistem yang mereka kutuk.

Wayang Kekuasaan

Kekuasaan bukan hanya mampu mengubah individu, tetapi juga dapat mengontrol kelompok. Lihatlah organisasi masyarakat (ormas) yang dahulu menjadi garda terdepan dalam mengawasi pemerintahan. Kini, ketika beberapa anggotanya telah mendapatkan kursi empuk dalam birokrasi, kritik yang dulu lantang mulai mengecil, hingga akhirnya menghilang. Ormas yang dulu dianggap sebagai pengawal kebenaran, kini menjadi sekadar wayang. Mulut mereka terkatup rapat karena benang kekuasaan telah menjerat lehernya.

Mengapa demikian? Karena sistem telah menjinakkan mereka. Kekhawatiran akan kehilangan posisi lebih besar daripada keberanian untuk menyuarakan kebenaran. Mereka sadar bahwa melawan berarti kehilangan akses, dan kehilangan akses berarti kehilangan segalanya. Maka, lebih baik diam dan menikmati kursi daripada harus terusik oleh idealisme yang semakin usang.

Dilema Loyalitas: Rakyat atau Kursi?

Fenomena ini menciptakan dilema besar: kepada siapa sebenarnya mereka harus setia? Kepada rakyat yang dahulu mereka bela, atau kepada kursi yang kini mereka duduki? Para pemegang jabatan sering kali dihadapkan pada pilihan sulit: menjadi pahlawan bagi rakyat atau menjadi penjaga status quo.

Max Weber, dalam teorinya tentang birokrasi, menjelaskan bahwa sistem pemerintahan modern didesain untuk mempertahankan stabilitas, bukan perubahan radikal. Artinya, siapapun yang masuk dalam sistem akan sulit untuk melakukan perubahan yang signifikan. Bagi mereka yang pernah menjadi aktivis, kenyataan ini seperti tamparan keras. Dulu mereka berpikir bahwa mereka bisa mengubah sistem dari dalam, tetapi kenyataannya, merekalah yang berubah agar bisa bertahan dalam sistem.

Lebih parah lagi, generasi penerus mereka kini berada dalam posisi yang lebih sulit. Para adik-adik aktivis yang dahulu melihat seniornya sebagai panutan kini menghadapi dilema besar: apakah mereka harus meneruskan perjuangan atau diam demi menghormati senior yang kini telah menjadi pejabat? Ketakutan akan konsekuensi menjadi nyata. Demonstrasi bukan lagi ajang perjuangan, tetapi dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas. Para junior yang ingin bersuara kini terbelenggu oleh ketakutan akan dibungkam oleh para seniornya sendiri yang telah terlanjur nyaman dalam kekuasaan. Dengan demikian, orasi yang dulu menggema kini hanya menjadi bisikan di ruang-ruang diskusi kecil, tanpa berani turun ke jalan.

Realitas politik kita hari ini membuktikan bahwa kekuasaan bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga soal ujian karakter. Mereka yang dulu lantang mengkritik, kini menjadi bagian dari sistem yang dulu mereka perangi. Mereka yang dulu menuntut keadilan, kini bungkam karena takut kehilangan jabatan.

Kita, sebagai rakyat, tidak bisa hanya diam dan membiarkan fenomena ini terus berulang. Kita harus terus mengawasi, mengingatkan, dan jika perlu menggugat mereka yang dulu berjanji untuk membela kepentingan rakyat tetapi kini justru menjadi bagian dari masalah. Sebab, kursi boleh berganti, tetapi suara rakyat harus tetap lantang.

Pada akhirnya, pertanyaan terbesar bukanlah apakah kekuasaan merusak manusia, tetapi apakah manusia mampu bertahan dari godaan kekuasaan. Sebab, bagi mereka yang jujur pada dirinya sendiri, kursi hanyalah tempat duduk; tetapi bagi mereka yang tamak, kursi adalah singgasana yang harus dipertahankan, meskipun harus mengorbankan nurani.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya