Bila Air Lenyap Sudah

Kolumnis
Bila Air Lenyap Sudah 20/08/2019 1256 view Ekonomi

Apartemen kami krisis air beberapa pekan lalu. Suhu yang turun hingga 5 derajat agaknya mengganggu pipa-pipa PAM. Walau hanya beberapa hari, itu sudah mengubah pola hidup para penghuni. Jangan harap bisa mandi 2 kali sehari, cukup sekali, itupun untuk 2 hari. Jenis makanan berkuah dihindari.

Sangat tidak nyaman. Bukan cuma perkara makan, minum dan mandi yang terusik, tetapi kebebasan untuk menjalani hidup sebagaimana biasanya juga ikut terenggut. Kami merasa dipaksa untuk menjalani hidup dengan cara yang tidak kami sukai.

Itu baru air yang mampet selama beberapa hari, sudah menjadi persoalan tersendiri. Apa jadinya bila air tak lagi mengaliri kehidupan ribuan manusia selamanya? Transformasi besar. Perubahan bukan hanya menyangkut hal-hal remeh, tetapi cara hidup. Pastinya bukan lagi tidak nyaman yang dirasa, melainkan penderitaan. Dan inilah yang dihadapi oleh masyarakat Kendeng sejak satu dekade lalu.

“[…] kebutuhan hidup Rp. 2 juta, yang Rp. 1,2 juta adalah karunia alam karena air gratis”.

Gunarti seorang warga Sedulur Sikep yang biasa disebut “Samin” berkisah tentang keberkahan air yang disediakan Pegunungan Kendeng. Ini bisa dilihat pada film ‘Samin vs. Semen’ yang dirilis Watchdoc tahun 2015 silam. Hitung-hitungan Gunarti di atas belum termasuk nilai rupiah dari air yang mengaliri sawah-sawah mereka yang mencapai ratusan hektar itu.

Ada ribuan petani yang bergantung  pada keberkahan mata air Pegunungan Kendeng. Tersebar di Kabupaten Pati, Rembang, Grobogan, hingga Lamongan.

Namun sejak 2008 masyarakat cemas lantaran pabrik semen menyerbu Pegunungan Kendeng. Wilayah ini menyimpan potensi batu kapur untuk bahan baku industri semen. Pabrik semen yang konon punya investasi hingga Rp. 5 triliun dan untung per bulan mencapai puluhan miliar rupiah itu mulai berdiri.

Pemerintah betul tentang hitung-hitungan ekonomi tersebut. Tapi masyarakat Kendeng bukan atom-atom pasif yang bisa dibegini dan dibegitukan seenaknya. Mereka sudah berhitung menggunakan kalkulator kearifan lokal yang selama berabad sudah terbukti handal sebagai pedoman hidup, juga dengan mendengar ratap penyesalan dari masyakat terdampak pabrik semen di Tuban.

Kesimpulannya sederhana saja. Pabrik semen merusak sumber mata air. Ini senada pula dengan pendapat pakar bahwa wilayah yang akan dijadikan lokasi pabrik ternyata mampu menyerap air hujan sekitar 40-80 persen (Kompas, 13/1/2018). Alasan untuk menolak sangat kuat.

Ketika mendengar sumber mata air akan rusak, jangan membayangkan itu seperti air PAM mampet yang kami alami kemarin. Karena konteksnya jauh beda. Fungsi air di wilayah Kendeng bukan hanya untuk makan, minum, dan mandi.  Lebih dari itu. Boleh dibilang air adalah ‘pencipta’ masyarakat Kendeng lengkap dengan karakteristik sosial, budaya, ekonomi, dan agama.

Air yang berlimpah telah menstimulus masyarakat untuk bertani. Pekerjaan ini cuma butuh keterampilan dan ketekunan, bukan ijazah. Yang namanya petani, mereka hidup merdeka dan mencicipi tiap butir keringat jeripayahnya. Wa bil khusus masyakat Samin, orientasi mereka terbatas pada pemenuhan kebutuhan sendiri. Kalaupun ada perniagaan, itu tak lebih sebatas upaya pemenuhan kebutuhan keluarga, bukan mencari keuntungan.

Hanya ada dua kabar andaikan Pabrik semen berdiri. Kabar buruk dan kabar buruk sekali. Kabar buruknya, masyarakat Kendeng beralih menjadi buruh pabrik. Tidak ada lagi kemerdekaan, yang ada hanyalah manusia-manusia terbelenggu aturan dan ancaman. Aturan jam masuk, pulang, seragam, etika kerja baru, ancaman PHK, dan sebagian keuntungan hasil keringatnya tercuri pula. Tak kan jauh beda dengan gambaran nasib buruh saat ini.

Kabar buruk sekalinya, mereka menjadi pengangguran atau bekerja di sektor informal perkotaan tanpa jaminan hidup. Seperti yang disimpulkan Muhtar Habibi (2016) di bukunya “Surplus Pekerja di Kapitalis Pinggiran”, ekonom neoklasik berdusta sewaktu mengatakan bahwa pabrik di pedesaan menyerap tenaga kerja. Nyatanya di Indonesia, modernisasi mesin pabrik menyingkirkan tenaga manusia. Masyarakat yang terlanjur tersingkir dari sawah akibat air yang lenyap tak pula terserap menjadi buruh pabrik semen, sedangkan janji pertumbuhan lapangan kerja di perkotaan lebih mirip seperti ilusi. Fungsi mereka kemudian adalah pelengkap statistik keprihatinan pemerintah.

Demikian mengerikan manakala air lenyap di bumi Kendeng. Ketakutan itu yang mendorong ribuan petani menampik rayuan pabrik semen. Maret tahun lalu Mbok Patmi meninggal dunia setelah 3 hari aksi cor kaki di depan istana Jakarta. Desember 2017 sampai sekarang Februari 2018, Bung Joko Prianto masih ditahan dengan prosedur yang bagi pengacara masyarakat Kendeng dinilai aneh.

Lalu 12-15 Februari lalu, sembilan Srikandi Kendeng turun gunung menabuh lesung di depan Istana. Itu adalah gerakan simbolis untuk mengusir Buto Ijo yang merupakan metafora dari pabrik semen. Jika dulu Buto Ijo melahap matahari dan bulan, maka sekarang bumi. Lesung-lesung itu dipukul supaya Presiden berani mengusir Buto Ijo dengan mengumumkan dan melaksanakan hasil KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis).

Akan tetapi, mempertahankan air di Kendeng itu berat. Temuan Hendra Try Ardianto (2016) “Mitos Tambang untuk Kesejateraan” mengungkap bagaimana sistematis dan rapinya perampasan batu kapur Kendeng.

Hal utama yang dilakukan pihak pro pabrik semen adalah membuat citra positif terhadap penciptaan kesejahteraan berlandaskan pabrik semen. Pihak-pihak pendukung memberikan anggapan baik menurut versinya dan saling menguatkan. Pabrik semen baik untuk pengentasan kemiskinan muncul dari lisan pemerintah, masuk di-akal dan nalar ilmiah keluar dari laporan peneliti universitas besar, afdhol dari ceramah tokoh agama, dan menguntungkan dari sosialisasi pihak pabrik. Klaim-klaim ini lalu disulam manis oleh media untuk menciptakan anggapan bahwa pabrik semen Kendeng itu baik bagi kesejahteraan. Saat itu berhasil tercipta, masyakat yang memperjuangkan air untuk tetap mengalir di kaki Gunung Kendeng, secara otomatis dalam posisi tersudut.

Walau posisinya sulit, tapi setiap perjuangan mempertahankan hak atas air punya kisahnya sendiri-sendiri. Kami beberapa hari lalu protes kepada seorang mahasiswa Ph.D India, tangan kanan landlord apartemen. Tukang ledeng segera dikirim hari itu juga. Utak-atik utak-atik beberapa menit, pak tukang menyerah. Tukang berikutnya dijanjikan datang. Dua hari menunggu tanpa kejelasan, tiba-tiba air PAM normal kembali. Semacam ada keajaiban.

Entah hal sama juga akan terjadi di Kendeng. Namun yang pasti, protes harus dilakukan sebagai syarat adanya keajaiban.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya