Teknologi Digital Versus Kaum Biarawan-Biarawati

Berbicara mengenai digital, tentu akan berkaitan dengan teknologi modern zaman ini. Digital pada dasarnya memiliki arti sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu. Adapun beberapa teknologi yang memiliki sistem digital, antara lain: laptop, komputer, smartphone, televisi, dll.
Teknologi digital ini dapat digunakan oleh siapapun untuk berkomunikasi, mencari informasi, berbagi informasi, dan kegiatan-kegiatan lain yang diinginkan. Alat-alat ini dapat terhubung langsung dengan internet dan digunakan oleh siapa saja yang memilikinya, bahkan ada juga tempat-tempat tertentu yang menyewakan komputer dan internet bagi yang membutuhkan. Tak jarang juga para religius/biarawan-biarawati turut menggunakan teknologi digital ini dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam praktik penggunaan teknologi digital ini, saya melihat ada dampak positif dan negatif bagi kehidupan para religius, khususnya di Indonesia. Dampak positifnya tentu saja untuk menggali informasi lebih dalam mengenai topik-topik tertentu, berkomunikasi jarak jauh, memperkaya pengetahuan dan mengetahui masalah aktual terkini.
Di sisi lain penggunaan teknologi modern ini membawa dampak negatif yang berbahaya bagi kehidupan kaum religius di Indonesia. Dampak negatif ini dapat terlihat dari kehidupan sehari-hari para religius yang sering saya jumpai di komunitas, lingkungan, maupun di dunia maya.
Adapun dampak negatif tersebut terbagi dalam beberapa dimensi kehidupan manusia, di antaranya yaitu pada dimensi ekonomi. Dipandang dari sisi ekonomi, teknologi digital membuat para religius menjadi “boros” dalam pengeluaran uang untuk memenuhi kebutuhan diri akan teknologi digital ini. Para religius secara tidak langsung hanyut dalam arus zaman dan berkeinginan untuk terlihat sama seperti orang-orang di luar biara, yakni memiliki smartphone yang bermerek bagus, mahal, dan terbaru serta lengkap dengan aplikasi dan jaringan internet yang memadai. Mereka juga dapat membeli barang/makanan secara online dan praktis.
Adanya fasilitas yang lengkap dan mahal ini membuat mereka semakin percaya diri untuk bergaul dengan orang-orang sekitar dan merasa lebih gaul dibandingkan dengan religius lainnya. Dengan demikian para religius membutuhkan dana lebih untuk memenuhi kebutuhan pribadi akan teknologi. Di sini para religius juga telah “mengabaikan” penghayatan kaul kemiskinan yang telah diikrarkan.
Dimensi sosial. Dipandang dari sisi sosial, teknologi digital dapat mengubah pola relasi kaum religius dari relasi verbal ke arah relasi non-verbal. Hal itu disebabkan oleh penggunaan media sosial dalam bentuk chatting. Para religius lebih nyaman berada di dalam kamar masing-masing dan berhadapan dengan layar smartphone atau komputer untuk berelasi dengan orang-orang di dunia maya dibandingkan bertatap muka secara langsung dengan anggota komunitas. Peristiwa semacam ini dapat dijumpai di dalam biara-biara yang para anggotanya lebih mementingkan kesenangan diri sendiri daripada komunitas. Akibatnya, relasi terhadap anggota komunitas menjadi renggang dan acuh tak acuh.
Dimensi psikologi. Secara psikologi, setiap orang memiliki kebutuhan psikologis yang harus dipenuhi. Kebutuhan psikologis tersebut dapat berupa kebutuhan akan kasih sayang, perhatian, dihargai, terkenal/popularitas, dan lain-lain. Di sini, teknologi digital dapat menjadi pelarian bagi para religius yang masih berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis yang belum terpenuhi.
Kebutuhan akan kasih sayang dan perhatian dapat mereka penuhi melalui perjumpaan dengan orang-orang di dunia maya, kebutuhan akan terkenal/popularitas dapat terpenuhi melalui update status di akun media sosial dan memperoleh banyak like dari teman-teman. Hal ini banyak dijumpai di beberapa akun para religius yang selalu muncul di Instagram dan Facebook. Mereka bukan lagi mewartakan Kerajaan Allah di dunia, melainkan mereka mewartakan diri sendiri agar semakin terkenal sebagai religius yang modern.
Dimensi intelektual. Teknologi digital kerap kali menyajikan data informasi/ pengetahuan berupa berita-berita yang tidak benar atau biasa disebut dengan hoax. Data informasi yang tidak benar ini dapat menyesatkan para religius yang membacanya, sehingga mereka menyerap informasi/pengetahuan yang salah dan menganggap informasi/pengetahuan tersebut benar. Dengan demikian para religius yang kurang selektif terhadap informasi yang tersedia ini pun dapat menyesatkan banyak orang yang menerima pengajaran atau pewartaan yang mereka dilakukan.
Dimensi moral. Beberapa waktu lalu terdapat berita tentang pelecehan seksual seorang religius terhadap anak-anak di salah satu paroki di kota Serang. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa penggunaan teknologi digital dapat menjerumuskan para religius dalam godaan untuk mengakses situs-situs yang tidak sehat, seperti gambar dan video porno. Akses yang begitu cepat dan mudah ini dapat mengakibatkan ketergantungan dan berujung pada keinginan kuat untuk melakukan tindak pidana pelecehan seksual. Tindakan ini tentu sangat merusak moral para religius secara pribadi dan di hadapan masyarakat.
Dimensi spiritual. Penggunaan teknologi digital yang begitu sering, dapat membuat para religius melalaikan waktu-waktu berdoa yang seharusnya menjadi tugas pokok seorang religius. Ada banyak alasan yang digunakan oleh para religius untuk tidak berdoa dan lebih memilih berkutat dengan teknologi digital tersebut, misalnya banyak tugas dan banyak pekerjaan kantor yang berkaitan dengan paroki, sekolah, asrama, dan lain-lain. Padahal di sisi lain, mereka tertarik untuk melakukan aktivitas lain di dunia maya, baik untuk menonton youtube, mendengar musik, dan bermain game. Dimensi spiritual yang seharusnya menjadi hidup dan kesaksian para religius bagi Gereja justru menjadi hal yang kurang diperhatikan dan menjadi batu sandungan bagi Gereja.
Dari berbagai dampak negatif penggunaan teknologi dalam dimensi kehidupan yang saya paparkan ini, dapat diketahui bahwa teknologi digital membawa bahaya bagi para religius yang menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Banyak di antara para religius kurang menyadari dampak negatif yang terjadi dalam kehidupan mereka. Mereka bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan dirinya dan lingkungan sekitarnya. Dari kondisi yang sangat memperihatinkan ini para religius dituntut untuk lebih memperhatikan diri dan lingkungan sekitar dengan lebih peka dan mampu menyesuaikan diri dengan situasi zaman.
Adanya bahaya dari teknologi digital ini dapat membuat para religius menjadi kehilangan arah hidup mereka sebagai pewarta Kerajaan Allah, saksi kehadiran Allah di dunia, dan pribadi yang menjadi teladan beriman bagi anggota Gereja. Mereka menjadi tergantung dengan kenikmatan teknologi digital yang membuat semuanya menjadi mudah dan menyenangkan. Kehidupan para religius yang seperti ini tidak lagi menarik dan diminati oleh banyak orang. Orang akan melihat bahwa hidup religius yang tergantung pada teknologi digital ini tidak ada bedanya dengan hidup kebanyakan orang di luar biara. Banyak orang justru menjadi kecewa menyaksikan hidup para religius yang demikian memburuk dan kacau.
Artikel Lainnya
-
90625/06/2021
-
118903/04/2021
-
120127/01/2020
-
Menimbang Proyek Pemilu Serentak
72120/03/2021 -
Mengulik Secuil Pemikiran Lao Tzu
63026/06/2023 -
Remaja Putri, Gizi Ibu dan Penurunan Angka Stunting
79901/12/2021